Gede Ganesha |FOTO : arsip pribadi|
Singaraja, koranbuleleng.com | Desa Sembiran. Ini salah satu lokasi desa yang dituju dalam perjalanan ke desa, Sabtu, 16 Januari 2021. Di awal tahun ini, Desa sembiran menjadi destinasi kedua, setelah desa Tembok yang sudah saya kunjungi paling awal.
Mulai awal tahun 2021, memang sangat diniatkan untuk bisa berkunjung ke sejumlah desa di Buleleng, tentu selain desa Panji, Kecamatan Sukasada, asal desa Saya.
Desa Sembiran, salah satu desa tua di Buleleng. Desa yang berada di Kecamatan Tejakula ini mempunyai banyak potensi kearifan lokalnya. Entah dari sisi tradisi dan budaya, namun juga kreatifitas warganya.
Ada pemantik lain, yang membuat saya harus bertualang ke desa Sembiran. Ceritanya seperti ini.
Pada satu waktu, saya sempat singgah di rumah teman untuk menitipkan beberapa baju lusuh. Baju itu sebenarnya masih layak pakai, cuma lusuh saja!.
Warna dari baju-baju lusuh ini sebenarnya bisa di daur ulang kembali, agar terlihat lebih keren dan gaul. Saya sendiri sempat bingung, baju lusuh bisa terlihat gaul. Padahal sudah lusuh!
Nah inilah rahasia tersembunyi dari Desa Sembiran. Di desa ini, ada seorang anak muda yang bekerja memproduksi bahan pewarna dengan menggunakan bahan-bahan yang alami, ada di sekitar rumah dan desa itu juga, Desa Sembiran.
Sabtu itu, saya berangkat sama Sohib, Tobing Crysanjaya, anak muda, enerjik dan periang. Dia kini Ketua Koperasi Pangan Bali Utara (Kopabara).
Perjalanan dari Desa Panji menuju Sembiran, memang agak lama. Karena harus singgah dulu ke rumah Tobing, di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan. Biasa, saat singgah terjadi diskusi antara kami berdua, alot tetapi nikmat karena ditemani kopi hitam dan kripik singkong. Menyeruput kopi dan kripik dibawah gelayutan angkasa yang sedang mendung, tentu menambah rasa nikmat.
Setelah 1.5 jam lebih, kopi sudah habis, kripik singkong juga ludes. Kami menuju Sembiran. Tepatnya di Jalan raya Air Sanih- Tejakula, Desa Sembiran. Lokasinya tepat berada dipinggir jalan utama.
Sampailah disini…
Sebuah studio yang apik, Pagi Motley Studio. Inilah studio pewarnaan alami yang di kelola oleh Andika Putra. Andika Putra, sudah berkecimpung dalam dunia ini selama dua puluh tahun lebih. Dia juga lama berkiprah di luar Buleleng.
Pagi Motley Studio mempunyai sekitar empat orang karyawan. Saat kami, datang, kebetulan Andika Putra sedang tidak ada di lokasi. Kami berdua, hanya diterima sang istri.
Studio itu dibagi dalam dua ruangan. Satu ruangan tertutup yang lebih difungsikan etalase penyimpanan produk dan kantor, dan satu ruangan yang lain digunakan untuk ruang produksi.
Di ruang produksi ini, segalanya berproses. Mulai dari proses mengesktrak warna yang dibuat dari bahan- bahan alami dengan sistem maserasi. Sistem maserasi ini adalah pola perendaman dengan menggunakan bahan-bahan organik untuk mengeluarkan kandungan warna pada bahannya. Disitu, ada tempat pencelupan kain dan juga tempat pengeringan.
Pagi Motley memang memfokuskan pada pewarnaan alami, iya warna alami. Semisal memproduksi warna kuning dari daun mangga, warna hijau dari daun ketapang, warna merah dari kayu secang dan warna cokelat dari serabut kelapa.
Pada satu kesempatan, Andika Putra sempat menuturkan hampir semua bahan alami dari daun bisa dijadikan pewarna. Tetapi dia fokus pada daun yang memang digunakan untuk pakan ternak atau pembungkus pangan yang tersisa, agar tidak menganggu kepentingan lain. Dia menuturkan itu saat kami bertemu di Rumah Intaran, Desa Bengkala beberapa waktu lalu.
Singkat kata, perjalanan saya menuju studio Pagi Motley, Desa Sembiran tak mengecewakan. Dua kemeja lusuh yang pernah dititip, ternyata terlihat lebih keren, kece dan gaul karena kena sentuhan pewarnaan baru dari bahan-bahan alami. Motifnyapun jadi berbeda.
Seakan menjadi pakaian yang baru dan tentu dengan warna yang sangat menggoda. Ada kebanggaan sendiri ketika memakai pakaian dengan warna baru yang hasilkan oleh tangan anak Buleleng.
Menurut salah satu pegawai dari Pagi Motley, pewarnaan pakaian bisa banyak proses pencelupan. Biasanya, itu juga bisa tergantung permintaan warna dari klien juga.
Jika harus membuat aksen warna yang pekat dan tebal, maka pencelupan bisa sampai lima kali. Bagi saya, cara-cara seperti ini sangat mungkin bisa jadi alternatif daur ulang pakaian, terutama pakaian yang sudah lusuh dari sisi warna tapi masih layak pakai.
Pakaian lusuh tinggal diberi pewarna yang baru sesuai selera dan motif yang khas sesuai keinginan juga. Jadi hasilnya bisa tampil baru dan terlihat berbeda. Pikir saya jika sudah melalui proses pewarnaan yang baru, maka tidak perlu lagi membeli baju yang baru dengan aksen warna yang sama.
Dari sisi upaya pelestarian alam, proses pewarnaan ini tidak mengorbankan keseimbangan alam tanpa memunculkan sampah atau limbah tekstil berbahaya yang berbahan kimia dan sulit terurai. Namun, proses pewarnaan alami tidak berdampak buruk pada lingkungan.
Selain itu, dengan menggunakan bahan alami dari dedaunan, akan memberikan nilai manfaat yang lebih bagi tanaman. Bukan sekedar untuk pakan ternak, namun daun dari sisa pakan ternak bisa bernilai ekonomi tinggi. Inilah menjadi bagian dari salah satu upaya gerakan konservasi menjaga kelestarian tanaman.
Karya Andika Putra melalui Pagi Motley menjadi inspirasi bagi siapapun. Maka tidak jarang, Andika Putra sering diundang sebagai narasumber dalam berbagai seminar ataupun pelatihan mengenai pewarna alami.
Jika ada yang mau berkunjung ke Pagi Motley di Desa Sembiran, studio ini buka setiap hari dari Senin hingga Jumat. Weekend, sang empu biasanya berada diluar kota dengan ragam kesibukannya. Jadi tak perlu diragukan lagi kapasitas dan hasil karyanya. Sangat layak dijadikan tempat belajar.
Benang merah dariperjalanan ini, bahwa Alam memang telah menyediakan semuanya untuk kebutuhan hidup. Tugas manusia sederhana saja, yakni menjaga alam serta lingkungan tetap seperti sedia kala.
Penulis : Gede Ganesha (Tokoh Pemuda Desa Panji, Ketua BPD Desa Panji juga Pengabdi Demokrasi)