Komplek pemakaman A.A Panji Tisna |FOTO : Istimewa/anggarasurya|
Kontributor : I Wayan Artika
Banyak karya sastra yang mendapat inspirasi atau mengangkat tema kepariwisataan, dan sebaliknya banyak daya tarik pariwisata yang popularitasnya berutang budi pada karya sastra. Kontribusi sastra dalam pengembangan atau promosi pariwisata, belum merupakan hal lumrah. Demikian pandangan yang diungkapkan Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, M.Lit. dalam tulisan berjudul “Literary Tourism: Kajian Sastra dengan Pendekatan Pariwisata”, dimuat dalam buku Nuansa Bahasa Citra SastraPendalaman dan Pembaruan dalam Kajian Bahasa dan Sastra (2019).
Kondisi tersebut rupanya dialami oleh pariwisata Buleleng. Bahkan, lebih ironis lagi mengingat, Bapak Perintis Pariwisata Buleleng, A.A. Pandji Tisna adalah sastrawan Pujangga Baru dengan karya-karya novel yang tetap dibaca dan diapresiasi hingga saat ini. Fadrik Aziz Firdausi menulis sebagai berikut.
Pada 1930-an, Pandji Tisna sudah dikenal sebagai novelis kesohor angkatan Pujangga Baru. Novel-novelnya yang terkenal dan dibaca banyak orang di antaranya adalah Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935), Sukreni Gadis Bali (1936), dan I Swasta Setahun di Bedahulu (1938). Ia juga menulis puisi dan artikel budaya untuk majalah Djatajoe (Singaraja), Poedjangga Baroe (Batavia), dan Terang Boelan (Surabaya).
Pariwisata Buleleng “berhutang budi” kepada A.A. Pandji Tisna. Nyaris seluruh peninggalannya sebagai seorang sastrawan Indonesia tidak dilindungi pemerintah setempat. Padahal menurut pengalaman sejumlah negara di dunia yang beruntung memiliki sastrawan, seluruh peninggalannya menjadi aset wisata dunia yang tidak ternilai harganya. Seperti kuburan Franz Kafka di Praha, nisan James Joyce di Zurich, Swiss, dan makam Karl Marx di London Utara, Inggris.
Demikian pula halnya dengan rumah-rumah peninggalan para sastrawan. Rumah Goethe dan Schiller di Weimar, Jerman, rumah Hemingway di Havana, Kuba, rumah Franz Kafka di Praha, Cheko, rumah Dostojewsky di Leningrad, Rusia, rumah Ismail Kadare di Gjirokaster, Albania, rumah Sigmund Freud di Wina, Austria, umah Hermann Hesse, di Calw, Jerman, rumah James Joyce di Dublin, Irlandia dan di Zürich, Swiss, rumah Henrik Ibsen di Oslo, Norwegia, rumah Anne Frank di Amsterdam, rumah Multatuli di Amsterdam, rumah Ho Chi Minh di Hanoi, Vietnam.
Seorang penulis perjalanan yang sangat terkenal, Sigit Susanto, memberi perhatian secara khusus kepada pariwisata sastra di Buleleng, seperti misalnya ditulis dalam “Litera-tour ala Panji Tisna” yang diunggah di laman Sastra-Indonesia.com. Ia menyejajarkan potensi pariwisata A.A. Pandji Tisna dengan para penulis kelas dunia, seperti Franz Kafka, James Joyce, Hemingway, Dostojewsky, Henrik Ibsen, dan lain lain.
Sigit Susanto menulis, “Pada akhirnya makan siang atau menginap di pantai Lovina. Pada waktu itu saya hanya sedikit bercerita kepada para turis tentang nama Lovina berasal dari Love Indonesia yang memberi nama sastrawan Panji Tisna. Pada waktu itu saya tak tahu di mana rumah Panji Tisna. Maklum lah memang bahan bacaan ataupun pada saat ujian mencari izin menjadi guide di Dinas Pariwisata Bali, tak pernah saya baca ada informasi diselipkan sastrawan Panji Tisna. Apa saja karyanya dan bagaimana riwayatnya, yang menonjol hanya ia mencetuskan nama Lovina.”
Secara tersamar Sigit Susanto mengritik pariwisata Bali, yang selama ini mengabaikan A.A. Pandji Tisna, yang tidak hanya dalam kapasistas perintis pariwisata tetapi apalagi mempertimbangkan potensi pengembangan pariwisata sastra. Memang kamus pariwisata Bali tidak pernah menulis nama-nama sastrawan (Bali) sebagai tujuan kunjungan wisatawan. Bali tampaknya masih jauh dari pariwisata sastra.
Dengan munculnya kajian-kajian sastra berperspektif pariwisata, yang mana di Bali dipelopori oleh Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, M.Lit., beberapa tahun belakangan ini, setidaknya dapat memberi kontribusi terhadap pariwisata Bali sehingga tidak hanya mengenai budaya dan alam, tetapi juga pariwisata sastra.
Pantai Lovina memiliki kaitan erat dengan sastra. Di pantai inilah A.A. Pandji Tisna tinggal, membangun hotel dan restoran yang diberi nama Tasik Madu, merupakan infrastruktur pariwisata pertama di Buleleng. Di Pantai inilah ia membangun perpustakaan dan menulis beberapa novelnya (Kecuali I Swasta Setahun di Bedahlu, ditulis di Kaldera Gunung Batur). Made Adnyana Ole menulis bahwa A.A. Pandji Tisna selain sebagai sastrawan, juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar dunia pariwisata di Buleleng, Bali, dengan membangun kawasan Lovina.
Memang belum ada program pembangunan pariwisata Bali, Buleleng pada khususnya menggali potensi sastra untuk dikemas menjadi paket baru. Jika kelak pariwisata Buleleng dapat merespons gagasan ini, maka pariwisata pertama kali hadir di Buleleng. Untuk hal ini, terdapat banyak potensi, seperti Gedong Kirtya (yang sesungguhnya pariwisata sastra karena objek yang ditawarkan mengandung muatan sastra Jawa Kuno dan Bali Klasik).
Yang terkait dengan Gedong Kirtya adalah rumah Van der Tuuk, seorang ahli naskah yang bekerja di Buleleng untuk menyalin naskah atau lontar Bali dan Lombok, bersama para penyalin lontar orang Bali, semasa kolonial. Salinan-salinan itulah kini mengisi Gedong Kirtya, Pusdok Bali, dan berbagai perpustakaan naskah di Eropa dan Amerika, perpustakaan beberapa universitas di Indonesia (Universitas Udayana, Universitas Indonesia).
Buleleng juga memiliki cerita rakyat yang sangat populer dan memiliki situs geografis, yakni Jaya Prana dan Layon Sari, di desa Kalianget, perjalanan Nyoman Jaya Prana dari desa Kalianget ke Teluk Trima (petanya telah disusun oleh Hooykaas), dan makamnya di hutan Teluk Trima. Bisa pula menggali potensi teater Bali modern di Desa
Banyuning atau rumah sastrawan Ketut Swidja di Desa Bulian.
Sementara itu, kajian-kajian sastra, dalam hal ini terhadap A.A. Pandji Tisna masih berputar pada disiplin sastra. Studi-studi terhadap A.A. Pandji tisna dibatasi oleh teks. Kajian di luar teks sama sekali belum dilakukan, misalnya bagiamana mengkaji Desa Bingin Banjah, dengan perkebunan kelapa yang menjadi seting novel Sukreni Gadis Bali atau melakukan wisata/ziarah religius ke gereja dan makam A.A. Pandji Tisna dan keluarganya yang terletak di sebuah bukit di selatan Pantai Lovina, Bukit Seraya Nadi.
Tentang gereja dan makam ini, ada satu ulasan dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh A.A.N Anggara Surya berjudul “A Tour to The Tomb of A.A. Panji Tisna” diunggah di laman tatkala.com. Dari judul, artikel ini adalah ulasan pariwisata sastra dengan fokus pada salah peninggalan A.A. Pandji Tisna, yakni makam dan gereja. (*)