Sugi Lanus |FOTO : Hanacaraka Society|
Singaraja, koranbuleleng.com | Dalam dunia lontar Bali nama Sugi Lanus sudah tidak asing lagi terdengar. Alumnus dari Jurusan Sastra Bali Universitas Udayana ini adalah pembaca manuskrip lontar Bali dan Jawa Kuno.
Dari keahlainnya itu, dia mengetahui secara luas, bahwa tradisi Hindu Bali sudah ada sejak lama dan banyak diungkap dalam berbagai manuskrip dan bisa dibuktikan secara keilmuan, dan bukan karena jawaban “Nak Mule Keto”.
Kecintaannya terhadap bacaan-bacaan suci sudah tertanam sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Sugi kecil senang membaca, terutama membaca kitab suci Hindu seperti Bhagawadgita. Dia sudah menemukan jati dirinya sedini mungkin dan sudah menentukan jalan hidup yang ingin dicapai sejak kecil.
“Saya, sejak Kelas 4 SD sudah membaca Bhagawadgita itu sangat bagus. Kelas 5 sudah tahu isinya dan kelas 6 saya sudah tertarik dengan konsep moksha,” tuturnya.
Moksha merupakan sebuah konsep dari Hindu tentang kelepasan dari duniawi dan lepas dari putaran reinkarnasi. Moksha ini merupakan tujuan hidup tertinggi dalam agama Hindu.
Ketertarikannya tentang kita-kitab suci terus berlanjut di jenjang SMP dan SMA. Jebolan dari SMAN 1 Singaraja ini sering bolos mengikuti pelajaran demi untuk membaca buku di perpustakaan. Saat duduk di bangku SMA, ia sudah sangat serius belajar meditasi dan mengajarkan meditasi kepada banyak orang.
Semenjak kuliah, ia bekerja paruh waktu sebagai asisten peneliti dari Princeton University, UCLA, Murdoch University, Leiden University, Osaka University. Diawal menuju jenjang perkuliahan, dia menolak ketika ditawarkan untuk menjadi tentara oleh pamannya, dan juga menolak menjadi seorang duta besar/diplomat seperti yang diinginkan oleh ayahnya. Kefokusan dan ketetapan pendiriannya sangat kuat pada bidang filologi dan filsafat.
Pada 2006, ia mendirikan Hanacaraka Institute yang konsentrasi kerjanya adalah meneliti lontar Bali dan Jawa Kuno, Lombok. Hanacaraka Institute juga memfasilitasi peneliti asing dan lokal untuk meneliti lontar-lontar, subak dan pertanian, masyarakat indigenous dan arsitektur, seni dan kerajinan, pengobatan tradisional dan gaya hidup, serta berbagai aspek kebudayaan Bali lainnya.
Salah satu hasil risetnya itu tersaji di dalam artikel “Puja Tri Sandhyā: Indian Mantras Recomposed and Standardised in Bali” yang terbit di Journal of Hindu Studies, 2014, Vol. 7(2), Oxford Centre for Hindu Studies, Oxford University Press.
Sugi Lanus adalah juga pembicara dalam berbagai pertemuan budaya seperti Kongres Kebudayaan Indonesia V (2003), Ubud Writers and Readers Festival (2004-2017), International Conference on Tagore, Hanoi, Vietnam (2011), Frankfurt Book Fair (2015), dan aktif dalam berbagai diskusi kependetaan Hindu di Bali.
Sebenarnya, kajian-kajiannya tentang lontar-lontar Bali dan buku suci Hindu bertujuan untuk mengkontruksi pikiran bahwa ajaran-ajaran Hindu dapat dikaji secara scientifik dan merubah pola pikir masyarakat tentang doktrin ‘nak mule keto’.
“Saya mempelajari lontar itu karena kontruksi pemikiran. Kita contohlah seperti Jepang. Tulisan mereka dengan leluhurnya itu sama dan itu dikaitkan dari abad kedelapan sampai sekarang hingga menjadi satu kesatuan.” tuturnya.
Menurut Sugi itulah yang menyebabkan mereka bangga menjadi orang Jepang dan menjadi negara maju. Sekarang kenapa Bali atau hindu ribut-ribut soal agama, karena mereka tidak bisa mengakses Hindu abad-17.
“Sehingga kalau ada suatu tradisi, jika ditanya mengapa ada tradisi tersebut, ya jawabannya ‘nak mule keto”. Padahal semua tradisi-tradisi Hindu ada di lontar bahkan bisa dibuktikan secara scientifik.” Katanya.
Sugi Lanus mengatakankemampuan dirinyadalam pemabcaan lontar sebagai benda warisan masa lalu sebagai bagian dari porsi hidupnya. Semua orang memiliki kemampuannya masing-masing.
“Jangan kira saya hebat, dan bisa semuanya. Mungkin saya mampu untuk membaca dan memiliki ingatan yang sangat baik dan orang-orang mengagumi itu, tapi saya tidak bisa bermain musik walaupun saya senang mendengarkan musik. Nah kalau saya yang seperti itu membuat saya sangat kagum. Jadi orang sudah memiliki porsinya masing-masing.” tutupnya.
Pewarta : Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A.Putra