Lama dinanti-nanti, ternyata pandemi semakin menjadi-jadi. Virus bukannya pergi, malah jadi bermutasi. Bisa dikatakan pula, virus ini masih menjadi ‘ancaman’ yang cukup kuat untuk meruntuhkan program-program dari segala bidang pembangunan negeri. Hampir tidak ada sektor yang terlepas dari dampak yang ditimbulkan oleh wabah virus yang mendunia ini. Berbagai upaya dari pucuk pimpinan hingga akar rumput pun telah dikerahkan untuk menaklukkan virus covid 19 dan mengatasi beragam konflik yang ditimbulkan. Upaya vaksinasi juga masih dalam proses pelaksanaan dan belum tuntas pula disertai beragam permasalahannya. Kasus covid 19 melonjak di berbagai daerah di Indonesia.
Dengan situasi yang ada saat ini, kita dituntut secepat mungkin beradaptasi dengan segala kondisi sehingga budaya inovasi pun lambat laun akan terbentuk. Seluruh masyarakat harus mampu memerangi ‘ketidaknyamanan’ pada situasi new normal dengan segala aturan ketat protokol kesehatan yang ditetapkan.
Virus Covid-19 ini memang telah mendisrupsi segala sektor di Indonesia, khususnya Pendidikan. Banyak sekali problematika yang ditemui mulai dari permasalahan individual atau pebelajar itu sendiri, orang tua, para guru, dan pemerintah. Meskipun demikian, semangat dan kesabaran harus senantiasa dipupuk untuk tetap mampu mencapai tujuan Pendidikan nasional, yakni mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pandemi ini mengajarkan satu hal berharga bahwa seburuk apapun keadaan yang dihadapi, masih ada harapan untuk bangkit asalkan kita masih mau berupaya menggali sisi positifnya. Sama halnya dengan kondisi Pendidikan kita saat ini. Pada satu sisi, kesempatan untuk bertatap muka semakin tipis demi mencegah penularan virus, namun sangat memungkinkan bagi pendidik untuk memantau satu demi satu anak didiknya secara lebih intensif. Guru justru semakin bisa mengamati keaktifan belajar siswanya melalui aktivitas bertanya dan laporan harian atau jurnal yang ditulis oleh siswanya.
Alam dan lingkungan sekitar merupakan tempat belajar yang sangat autentik sehingga peserta didik bisa mengeksplore beragam ide serta kreativitasnya. Semestinya kebahagiaan dalam belajar memiliki peluang besar untuk terbentuk dalam diri pelajar sebab proses belajar tidak terlalu kaku dan mengekang.
Ki Hadjar Dewantara, pada 3 (tiga) konsep dasar pemikirannya, yaitu: Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani telah mengisyaratkan secara empiris bahwa praktik pendidikan tidak boleh mengekang, berjalan timpang, melainkan harus seimbang, dengan tetap menjadikan peserta didik (siswa) sebagai sentral segala aktivitasnya. Posisi guru hanya sebagai mediator dan transformer (penghantar) bagi peserta didiknya untuk berkembang sesuai dengan kemampuannya secara optimum. Landasan pedagogi dalam konstruksi pendidikan yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara bukan hanya mencerdaskan otak, tetapi juga harus membuat orang mempunyai keinginan untuk bermartabat, berbuat lebih bagi masyarakat, bangsa, dan dunia. Dengan kata lain, pendidikan berkontribusi dalam penyadaran peserta didik terhadap realitas dan fenomena sosial agar dapat berpartisipasi secara positif di masyarakat. Jika dilihat dari penerapan proses pembelajaran yang diharapkan oleh Ki Hadjar, melalui tiga semboyannya, siswa idealnya dijadikan subyek aktif dalam proses pembelajaran. Hal itu akan memerdekakan siswa dari proses Pendidikan formal yang terkadang membelenggu, membatasi ruang kreativitas peserta didik. Bagi Ki Hadjar Dewantara, Pedagogik yang berkembang pada masa penjajahan adalah pedagogik penindasan, yang bertujuan untuk memproduksi pekerja murah untuk dieksploitasi dengan menghilangkan identitas kebangsaanya. Pendidikan di Taman Siswa berusaha menanamkan identitas nasional dengan berlandaskan pada budaya leluhur di Indonesia. Pendidikan yang dikonsepsikan oleh Ki Hadjar Dewantara berusaha menanamkan identitas nasional dengan tujuan pendidikan berdasarkan realitas sosialnya.
Dalam konteks pembelajaran di kelas, upaya guru menyajikan materi, mengembangkan materi, memberikan contoh, melakukan evaluasi langsung maupun tertulis, serta menindaklanjuti hasil pembelajarannya, harus menjadikan “peserta didik” sebagai sentralnya (student center).
Berdasarkan pemikiran tersebut, beberapa hal yang patut diperhatikan oleh seorang pendidik adalah sebagai berikut. Merumuskan tujuan pembelajaran dalam formula yang sederhana, tunggal, observable dengan mempertimbangkan “peluang” peserta didik untuk mencapainya secara optimal berdasarkan gambaran awal peserta didik; Mengembangkan materi pembelajaran dengan mempertimbangkan tingkat kematangan psikologis peserta didik, baik sebagai pribadi maupun mahluk sosial (bermasyarakat), serta bersesuaian dengan keluasan dan kedalaman materi yang akan dibelajarkan kepada peserta didik. Hal ini penting dilakukan agar materi pembelajaran mampu benar-benar dipahami oleh peserta didik, mengingat “merekalah yang belajar” bukan pendidik; Memilih dan menetapkan pendekatan, strategi, metode dan teknik yang bersesuaian dengan kondisi lingkungan, ketersediaan perangkat pendukung di sekolah, serta probability peserta didik untuk familiar atau terbiasa dengan metode serta teknik pembelajaran yang akan dikenakan kepada mereka. Pada sisi lain, pendekatan dan strategi pembelajaran yang dipilih hendaknya “mampu memerdekakan” peserta didik dalam belajarnya, sehingga pembelajaran yang bermakna akan benar-benar terwujud di kelas. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya adalah dikembangkannya media dan sumber belajar yang mendukung karakteristik materi, serta metode dan strategi pembelajaran yang telah ditetapkan.
Hal ini patut diperhatikan sebab yang menjadi sentral pembelajaran adalah peserta didik sehingga pengembangan media pembelajaran logikanya merujuk pada karateristik peserta didik itu sendiri serta materi ajar yang akan dibelajarkan. Selain hal-hal tersebut, yang sering menjadi momok seorang guru yakni penilaian. Penilaian dalam pembelajaran, baik item, instrumen, serta kandungan materi yang akan dinilai, hendaknya benar-benar sesuai dengan karateristik materi ajar, serta mampu menilai kemampuan peserta didik dalam segala dimensinya (pengetahuan, sikap, dan keterampilan) mereka selama mengikuti pembelajaran serta manakala pembelajaran itu telah berakhir. Artinya, penilaian pembelajaran harus mencakup “upaya penilaian semua aspek peserta didik” sehingga terbangun keadilan bagi peserta didik sebagai pribadi yang ingin memerdekan dirinya melalui proses pendidikan sebagaimana yang dikedepankan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Dengan demikian, hakikat pendidikan sebagai “humanisasi dan hominisasi” bagi peserta didik akan dapat terwujud secara maksimal dan bermakna. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa, pembelajaran yang baik dan professional akan terjadi manakala pendidik (guru dan calon guru) memahami dengan baik landasan pedagogi (ilmu mendidik) dan praktik pedagogi (bagaimana mendidik) secara baik, sehingga pendidikan akan memunculkan ide-ide dan inovasi pengetahuan pada kedirian peserta didik secara alamiah dan terstruktur dalam “versi kepentingan belajar peserta didik”. Hal ini sejalan dengan pemikiran Langevel dan Ki Hajar Dewantara, yaitu pendidikan yang mendidik dan memanusiakan manusia, serta bermakna bagi pribadi peserta didik dan masyarakat yang memiliki peserta didik sebagai warganya. Hal itu dimaksudkan agar pendidikan itu tidak tercabut dari akar budaya dan nilai dasar peserta didik sebagai mahluk pribadi dan mahluk sosial yang intelek. (*)
Penulis: Gusti Ayu Sukma Trisna, Saat ini aktif menjalankan tugas sebagai dosen di Jurusan PGSD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Pendidikan Ganesha.