Lontar, Benda Pustaka Yang Wajib Diupacarai di Hari Saraswati

Sejumlah staf di UPTD Gedong Kirtya Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng melakukan persembahyangan dan upacara terhadap lontar di Hari Suci Saraswati |FOTO : Luh Sinta Yani|

Singaraja, koranbuleleng.com | Hari Suci Saraswati menjadi momentum umat Hindu dalam merayakan turunnya ilmu pengetahuan ke bumi dan diwariskan untuk Manusia.  Hari Suci Saraswati dirayakan setiap 210 hari tepatnya pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung, tepatnya hari ini, Sabtu 28 Agustus 2021.

- Advertisement -

Pada hari suci ini, semua yang  bersumber dari ilmu pengetahuan dibuatkan persembahan sesajen sebagai wujud rasa bersyukur kehadapan Dewi Saraswati, sebagai dewi Ilmu Pengetahuan. Buku, alat-alat tulis, serta benda-benda pustaka termasuk juga lontar akan diupacarai. Bahkan ada kepercayaan yang beredar di masyarakat bahwa di hari suci ini, masyarakat tidak diperkenankan untuk membaca buku. 

Lontar-lontar yang berada di Gedong Kirtya Buleleng juga turut diupacarai saat hari raya Saraswati. Lontar adalah media yang dipakai masyarakat jaman dahulu untuk menuliskan tentang berbagai macam naskah, seperti weda, kekawin, ilmu usadha dan lainnya. Penulisan naskah di lontar memakai pisau jenis tertentu yang disebut dengan pengutik dan dihitamkan menggunakan arang. Jika diibaratkan, lontar itu sebagai buku tulis, dan pengutik dan arang adalah pensil/pulpennya. 

Menurut penuturan dari Kepala UPTD Gedong Kirtya, Dewa Ayu Putu Susilawati, S.S., M.Hum, mengupacarai lontar-lontar saat Hari Raya Saraswati merupakan suatu hal yang wajib karena lontar juga bagian dari sumber ilmu pengetahuan. Pada masa pandemi, upacara hari Saraswati dirayakan secara sederhana dan tidak menghadirkan banyak orang, namun rangkaian upacaranya tetap sarat akan makna.

Dewa Ayu menjelaskan sampai saat ini terdapat 2.022 koleksi lontar yang sudah diinventarisasi oleh Gedong Kirtya semenjak tahun 1928. Gedung yang terletak di kompleks Sasana Budaya ini dibangun oleh seorang tokoh Belanda yang bernama LJJ Caron yang datang ke Bali bertemu dengan para raja dan tokoh agama untuk membahas tentang kekayaan seni sastra (lontar) yang ada di seluruh Bali.

- Advertisement -

Sejarahnya bermula dari sebuah yayasan yang diberi nama “ Kirtya Lefrink – Van der Tuuk” yang menampung sejarah kebudayan Bali. FA Lefrink yang merupakan Asistan Resident pemerintah Belanda di Bali pada waktu itu sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan banyak tulisan yang dibuat mengenai Bali dan Lombok. Sedangkan Dr. HN Van der Tuuk adalah seorang sejarahwan yang memberikan tanah dan bangunannya untuk digunakan sebagai museum yang sekarang dikenal sebagai Museum Gedong Kirtya.

LJJ Caron (residen/perwakilan pemerintah Belanda di Bali dan Lombok) dan para raja serta tokoh agama bertemu untuk membahas tentang kekayaan seni sastra dan lontar-lontar yang tersebar di seluruh Bali. Rapat rapat untuk membetuk lembaga kebudayaan Bali, dan mengabadikan nama Van der Tuuk sebuah yayasan/lembaga yang mengurusi seni sastra di Bali. Pada tanggal 14 September 1928, kelompok ini secara resmi membuka sebuah perpustakaan pertama di Bali.

Perpustakaan itu bernama Kirtya Lefrink-Van der Tuuk , mengurusi lontar-lontar Bali dan Lombok. Nama Liefrink diambil dari seorang asistan residen pemerintah Belanda di Bali yang juga sangat tertarik dengan kebudayaan Bali dan Lombok. Kata “ kirtya ” diajukan oleh I Gusti Putu Djelantik, Raja Buleleng ketika itu. “Jadi Kirtya itu artinya usaha atau jerih payah, karena pembangunan gedong ini penuh perjuangan” ujar Dewa Ayu.

Ketika itu Gedong Kirtya dicanangkan sebagai tempat inventarisasi lontar-lontar di Bali. Agar tujuan itu dapat dilaksanakan maka raja-raja setempat, para pendeta dan orang-orang perorangan di daerah itu diminta untuk menyerahkan milik mereka untuk sementara waktu kepada Perpustakaan Kirtya.

Di sana sebuah panitia terdiri atas 12 orang memutuskan, naskah-naskah mana yang dianggap cukup berharga untuk disimpan dalam koleksi itu. Kemudian lontar-lontar itu disalin dengan seteliti mungkin oleh sebuah kelompok penyalin yang bekerja untuk perpustakaan Kirtya dengan bentuk huruf yang sama dan di atas bahan yang sama (daun lontar), dan kemudian lontar-lontar (pinjaman) itu dikembalikan kepada pemiliknya. Mantan Bupati Buleleng Almarhum Ketut Wirata Sindhu adalah orang yang telah mengembangkan perpustakaan ini menjadi sebuah museum. Museum ini diberikan khusus untuk sastra yang ditulis pada daun kelapa (lontar) yang berasal dari seluruh Bali

Dewa Ayu memaparkan bahwa Gedong Kirtya ini bukan hanya sekadar perpustakaan lontar namun juga museum yang bisa dijadikan sebagai tempat belajar semua jenjang masyarakat, termasuk juga anak-anak PAUD. Beberapa isi lontar juga divisualisasikan agar masyarakat yang belum paham tentang tulisan lontar, bisa membaca terjemahannya termasuk juga dihadirkan benda-benda yang dipakai untuk membuat tulisan lontar. “Ada tujuh jenis lontar yang menjadi koleksi di Gedong Kirtya, yakni Weda, Agama, Itihasa, Wariga, Babad, Lelampahan, dan Tantri” papar Dewa Ayu.

UPTD Gedong Kirtya Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng selalu berupaya untuk membumikan lontar-lontar tersebut di Bali Utara agar tetap lestari. Mereka melakukan konservasi dan juga sosialisasi kepada masyarakat. Selama ini, pengunjung Gedong Kirtya lebih banyak orang luar negeri dan mereka sangat tertarik terhadap naskah lontar Bali. Untuk merangsang ketertarikan masyarakat lokal terhadap naskah lontar, naskah-naskah tersebut diterjemahkan agar masyarakat paham terhadap isinya. 

Sebagai wujud dalam melahirkan regenerasi pembaca, penulis, dan pencinta lontar Bali, UPTD Gedong Kirtya sering mengadakan lomba-lomba menulis aksara Bali di daun lontar, lomba mesatua Bali (untuk mengimplementasikan lontar Tantri), membaca aksara Bali, dan juga sosialisasi cara merawat naskah lontar yang menjadi warisan secara turun-temurun. “Biasanya peserta sangat antusias dan banyak, terutama dari siswa-siswa yang senang berkompetisi. Ini artinya bahwa banyak yang tertarik terhadap naskah lontar dan secara tidak langsung ada regenerasi yang akan melestarikan naskah-naskah lontar ini” tutup Dewa Ayu

Sementara, Putu Suarsana, S.Pd., pengelola UPTD Gedong Kirtya juga menjelaskan bahwa lontar-lontar tersebut bukan hanya naskah salinan, namun ada beberapa naskah asli yang disumbangkan oleh masyarakat untuk Gedong Kirtya.

Mereka menyumbangkannya agar lontar tersebut dapat dirawat dengan baik, dan mereka biasanya meminta salinan terjemahannya agar dapat dipahami dengan baik. Perawatan naskah-naskah lontar di Gedong Kirtya sudah sesuai dengan SOP yang berlaku agar tidak mengalami kerusakan, yakni melalui pengaturan suhu ruangan, melakukan konservasi dengan memakai minyak sereh, pembersihan debu, dan pemberian kapur barus di setiap peropak.(*)

Pewarta  : Luh Sinta Yani

Editor      : I Putu Nova A. Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts