Singaraja, koranbuleleng.com|Kekayaan budaya dan adat istiadat Bali telah lama dikenal sampai ke mancanegara. Tradisi yang diturunkan sejak ratusan tahun lamanya, mampu bertahan hingga di zaman modern ini. Tentunya tidak semudah itu dalam menjaga dan melestarikan budaya yang terancam digerus oleh kemajuan teknologi. Memang, perlu adanya kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan tradisi Bali, tradisi yang kental terhadap nilai-nilai moral.
Pergelaran Wastra Bebalian yang diadakan di Rumah Intaran, Desa Bengkala, Buleleng merupakan salah satu bentuk kepedulian kelompok masyarakat dalam menginventarisasi kain-kain kuno yang ada di Bali. Sosok yang sangat mengambil peran dalam pergelaran ini adalah Tjok Istri Ratna Cora, seorang akademisi dari Institut Seni Indonesia Denpasar sekaligus seorang budayawan yang paham soal Wastra Bali.
Dalam bahasa Indonesia Wastra memiliki makna pakaian. Kain-kain yang dipakai untuk menutupi tubuh oleh masyarakat Bali dan digunakan pula pada upacara yadnya ini memiliki usia berabad-abad. Sebagai bentuk kepedulian terhadap Wastra Bali, Cok Ratna memiliki koleksi Wastra Bali dan juga meneliti tentang wastra-wastra di setiap daerah di Bali.
Cok Ratna menuturkan bahwa masyarakat Bali perlu bergembira karena pada tanggal 7 November 2020, Wastra Bali ditetapkan sebagai Warisan Tak Benda Indonesia. Dahulu, Wastra Bali ini dipakai untuk medium dharma wacana oleh para tetua maupun pandita. Mereka merekam ajaran-ajaran kebenaran atau dharma melalui Wastra tersebut.
“Setiap wastra memiliki arti dan makna yang mendalam sebagai sarana upacara dan upakara. Wastra ini dipakai mereka dari masih di dalam perut sampai mereka meninggal,” ujar Cok Ratna.
Setiap siklus kehidupan manusia, Wastra Bali selalu mengiringinya. Cok Ratna sangat menyayangkan bahwa sekarang masyarakat Bali sudah tidak mempergunakan Wastra Bali tersebut karena sudah digantikan dengan yang lebih murah, seperti dengan kain yang dicetak dengan teknologi kekinian seperti printer.
Menyoal hal tersebut, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali menugaskan Cok Ratna untuk meriset kembali tentang Wastra Bebalian. Hasilnya dibuatkan sebuah buku sebagai bahan edukasi kepada masyarakat, sehingga Wastra Bebalian yang sarat akan makna dan filosofi mulai muncul.
Konsep Wastra Bebalian yang paling umum dijumpai adalah berbentuk vertikal dan horizontal. Itu bukan sekadar sebuah bentuk garis biasa, namun memiliki filosofi yang sangat mendalam. Garis vertikal dan horizontal pada Wastra Bebalian mempunyai makna keharmonisan kehidupan di Bali, yang erat dengan ajaran Tri Hita Karana.
Garis vertikal ke atas pada Wastra tersebut mengartikan hubungan manusia dengan penciptanya, sedangkan vertikal ke bawah mengartikan keharmonisan hubungan manusia dengan alam. Garis horizontal pada Wastra memiliki makna keharmonisan hubungan manusia dengan manusia.
Pementasan Wastra Bali digelar sebagai bentuk tanggungjawab moral warga Bali. Melalui pergelaran ini, Cok Ratna mengungkapan Wastra Bali dapat dibahasakan ulang sehingga ada unsur edukasi dan transfer ilmu kepada generasi-generasi muda. Produk-produk kuno ini disandingkan dengan gaya modern. Di Rumah Intaran, Cok Ratna berkolaborasi untuk menciptakan suatu event, yang tidak dirancang khusus dengan konsep “Tutur Gumi”
“Tutur Gumi adalah mantra yang sangat terdalam dari setiap entitas yang namanya manusia dalam lintasan kehidupan semesta”
Dalam pergelaran, semua yang dihadir berkesempatan untuk memakai koleksi kain dari Cok Ratna. Suasana pergelaran sangat menarik dan memiliki energi yang begitu kuat. Di bawah pohon intaran mereka berkumpul dibuatkan seperti era-era masyarakat zaman kuno. Dek Geh, seorang penari kontemporer dengan lincah dan penuh penghayatan menari mengiringi para model Wastra Bebalian.
Energinya semakin kuat dengan alunan gender dan pewayangan dari Dalang Gusti Made Aryana. Tidak terlewat lantunan puisi dari Sonia Piscayanti dan iringan lagu Sujiwo Tejo yang membuat orang yang menontonnya terkesima dan merinding.
Dan, tidak lengkap rasanya jika pergelaran Wastra Bali, tidak dibarengi dengan peragaan tenun Bali. Penenun asal desa Julah serta pencelup indigo Pagi Mothley turut juga menjadi sorotan.
“Saya ingin memberikan pengalaman rasa kepada si pemakai koleksi kain tenun saya dan teman-teman seniman untuk kita berkolaborasi,” ujar Cok Ratna.
Semua ditampilkan dengan improvisasi, namun karena Taksu Bali-nya sangat terpancar, pergelaran ini seolah-olah seperti kehidupan masyarakat pada zaman dahulu. Masing-masing pemain mengungkapkan semua rasa yang mereka rasakan.
“Saya berharap hal ini tidak berhenti sampai di sini. Generasi muda harus bisa menangkap apa yang didapat, sehingga hal ini bisa berkelanjutan,” tutup Cok Ratna.(*)
Pewarta : Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A.Putra