Tiga Warisan Budaya Buleleng Masuk Daftar WBTB

Singaraja, koranbuleleng.com | Tiga warisan budaya Kabupaten Buleleng masuk ke dalam daftar penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2021 yang dilaksanakan pada tanggal 26-30 Oktober 2021 di Hotel Millenium, Jakarta Pusat. Warisan budaya tersebut yaitu Megangsingan, Saba Malunin Desa Pedawa, dan Gambuh Bungkulan. 

Menurut penuturan dari Kepala Dinas Kebudayaan, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, penetapan warisan budaya tak benda dilakukan oleh 14 tim ahli nasional. Buleleng awalnya mengusulkan 5 budaya, namun satu tidak lolos di tingkat provinsi yaitu ukiran Buleleng. 

- Advertisement -

“Jadi hal-hal yang harus ditinjau kembali dari sisi pengkajian ukiran Buleleng, sehingga nanti akan diusulkan kembali di tahun depan. Karena ukiran khas Buleleng memiliki pakem yang sangat berbeda dari Bali Selatan, seperti sangat tidak simetris dan bebas berekspresi, ” Ujar Dody.

Ada empat warisan budaya yang berhasil lolos ke nasional, namun tradisi mecakcakan dari desa Sambirenteng digugurkan oleh kurasi di nasional. Sehingga hanya tiga yang mampu masuk ke dalam sidang penetapan Warisan Budaya Tak Benda. Hakikat dari penetapan ini merupakan pengakuan di tingkat nasional sejajar sertifikatnya dengan Undang-Undang Tentang Hak Kekayaan Intelektual. Sehingga daerah lain tidak bisa mengakui kebudayaan daerah lainnya.

Jika kajiannya bisa lebih diperdalam, maka nanti akan dibawa ke tingkat internasional dan diakui oleh UNESCO. Salah satu kebudayaan Buleleng yang sudah diakui oleh UNESCO adalah Wayang Wong dari desa Tejakula. 

Lebih lanjut, Dody menjelaskan bahwa dengan masuknya tradisi-tradisi tersebut dalam WBTB, pemerintah daerah memiliki tanggungjawab untuk berupaya dalam melestarikan budaya dan tradisi tersebut. 

- Advertisement -

“Upaya yang dilakukan di tahun 2022 ini, kita akan mengadakan kegiatan-kegiatan terkait dengan objek dari WBTB yang ditetapkan” kata Dody.

Permainan Gangsing Buleleng

Gangsing merupakan permainan rakyat Bali sejak era kerajaan. Istilah Buleleng, ‘megangsingan’ (bermain gasing).

Gangsing di Bali biasanya dibuat dari bahan kayu, dengan poros ujungnya dari besi sebagai titik keseimbangan. Kayu diukir dan dibentuk hingga menjadi bagian badan gasing. Tali gasing umumnya dibuat dari nilon, sedangkan tali gasing tradisional dibuat dari kulit pohon. Panjang tali gasing berbeda-beda bergantung pada panjang lengan orang yang memainkan.

Gangsing dinyatakan sebagai permainan tertua di Bali, karena ditemukan diberbagai situs arkeologi yang masih bisa dikenali. Di Bali, wilayah yang banyak memainkannya ada di kawasan Tabanan, Buleleng dan sebagian ada di Karangsem. Gangsing-gangsing diwilayah Buleleng ini benar-benar sebagai gangsing aduan, dan bukan hanya sekedar permainan yang enak untuk dilihat dan dimainkan tentunya.

Gangsing Buleleng dapat ditemukan di Desa Munduk, Kecamatan Banjar , Kabupaten Buleleng. Jaman dulu dimainkan untuk mengisi waktu luang dan melepas lelah setelah seharian bekerja menggarap sawah. Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ini berada di dataran tinggi dan memiliki tanah subur yang sangat cocok untuk pertanian dan perkebunan. Jaman dulu anak-anak para petani datang ke sawah untuk membantu orang tuanya bertani, dan setelah hari menjelang sore para petani berkumpul untuk beristirahat, pada kesempatan inilah para petani melakukan permainan tradisional Adu Gangsing tersebut dengan tujuan mengisi waktu luang dan melepas Lelah. selain itu pula permainan Adu Gangsing tersebut juga mempunyai pesan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan menjaga nilai keseimbangan dalam bermasyarakat.  

Gambuh di Buleleng

Gambuh adalah tarian drama Bali merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.  Kesenian ini muncul sekitar abad ke XV yang lakonnya bersumber pada cerita Panji.  

Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara , seni drama dan tari , seni rupa, seni sastra, dan lainnya. Untuk memainkan tarian gambuh, Gambuh Diiringi dengan gamelan Penggambuhan  yang berlaras pelog Saih Pitu (tujuh nada).  

Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.

Gambuh  Bungkulan di Pura Sari abangan Banjar Ancak Desa Bungkulan diyakini keberadaaan sejak 300 tahun silam. Kesenian Gambuh yang ada di Pura Sari Abangan ini punya keterkaitan tradisi upakara/upacara.

Yang membedakan kekhasan Gambuh yang ada di Pura Sari Abangan Banjar Ancak Desa Bungkulan dengan Gambuh di Bali khususunya Bali Selatan ialah dari struktur pementasaanya. Pengiring Gambuh Bali Selatan menggunakan iringan seruling-seruling besar sementara Gambuh Bungkulan di Pura Sari Abangan, Banjar Ancak, Desa Bungkulan iringannya memakai iringan Gong Kebyar Mepacek khas Bali Utara.

Dari sisi pemain, Gambuh Bungkulan dimainkan penari pria walaupun di dalam lakon terdapat peran seorang Galuh dan Condong. Kesenian ini termasuk tarian bebali yang hanya ditarikan pada saat upacara tertentu maka penari tidak ada yang boleh cuntaka, sedang haid dan lain-lain.

Saba Malunin

Saba Malunin merupakan tradisi di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar. Biasanya tradisi ini berlangsung selama tiga hari yang dimulai pada purnamaing kapat.

Dalam tradisi Saba malunin ini, ada kewajiban dari krama adat untuk membawa balun atau banten lungguh. Banten lungguh itu adalah persembahan dari warga yang sudah bersuami istri dan mempuyai keturunan yang masih muda. Banten ini dipersembahkan di Pura Kemulan Puseh Bingin. makna banten balun ini menunjukkan bahwa desa  Pedawa dalam keadaan tegteg atau mapan.

Dalam arti, desa ini sudah dalam keadaan mapan secara rohani dan jasmani. Persembahan Balun ini tidak boleh sembarangan karena bisa memberi dampak buruk. Maka itu, Balun harus dipersembahkan secara baik supaya mendatangkan kemakmuran.“Persembahan ini dari suami istri  atau krama ngarep sebagai wakil dirinya kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Balun ini diibarakan sebagai badan dari suami istri. Balun berasal dari muasal “Ba” yang berarti Banten dan Lun berarti lungguh. Jika diartikan, banten yang diserahkan oleh orang yang duduk dalam tata ungguh, mereka adalah orang yang sudah melalui proses perkawinan sebagai suami dan istri serta anaknya.Banten lungguh ini juga perlambang sebagai banten tertua di Desa Pedawa.

Perlambang itu digambarkan oleh warga langsung, entah tua dan muda, saat membawa Balun harus berbekal tongkat. Jadi ini adalah banten tertua, yang sangat disakralkan. Perlambang tua itu digambarkan bahwa setiap yang membawa banten ini harus juga membawa tongkat. Bentuk Balun ini pun tidak seperti sarana banten umumnya di Bali, namun bentuknya khas dari Desa Pedawa dan unik.

Isi Banten Balun itu nasi, sayur dari daun delundung, lalu berisi Gerang atau ikan laut yang sudah dikeringkan, daging babi, cabi, bawang merah mentah serta berisi pisang setandan. Semua isi banten itu diikat dalam ulatan bambu yang disebut klatkat dan dibalut daun pisang. Klatkat dan daun pisang ini diikat lagi dengan daun aren muda.

Dalam Tradisi Saba Malunin ini juga ditarikan sekitar 16 tarian sakral khas Desa Pedawa. Tarian ini ditarikan di Pura Desa Adat Pedawa. Diantaranya, Tari Baris, Tari Mepetokan, Nabuin, Meblangan, Abuang abuangan, Rejang Akilukan.Tari-tarian Sakral ini hanya boleh dibawakan saat upacara piodalan di Desa Pedawa semata, tidak boleh dibawakan untuk tarian penyambutan, ataupun untuk konsumsi hiburan.

Upacara Saba Malunin yang diselenggarakan secara khidmat oleh adanya landasan kepercayaan Masyarakat Desa Pedawa yang menjadi sumber dan nilai-nilai budaya yang bersifat positif sangat berguna bagi kelanjutan sistem yang turut mengukuhkan sendi-sendi sosial, dengan demikian upacara dilaksanakan atas dasar adat istiadat dan kepercayaan yang dianut. Upacara Saba Malunin dilaksanakan lima tahun sekali pada sasih kapat (bulan oktober menurut perhitungan kalender Hindu).

Masyarakat Desa Pedawa dengan apa yang telah diuraikan di atas hal ini diwujudkan dalam bentuk-bentuk upacara, Upacara Saba Malunin merupakan upacara yang harus dilakukan untuk menghormati leluhurnya yaitu Ida Bhatara Dewaji, walaupun tidak dalam bentuk fisik pemujaan terhadap leluhur ini adalah sebagai cikal bakal Desa Pedawa yang diwujudkan dalam upacara sebagai lanjutan tradisi masa lampau.  |SY|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts