Cerita Tari Caci di Dinding Galeri Paduraksa

Singaraja, koranbuleleng.com | Sebuah lukisan yang di desain secara digital terpajang dengan lukisan-lukisan lain yang masih menggunakan kanvas, dan karya seni lainnya dalam even pameran seni “Mayart20” di galeri Paduraksa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Senin 22 April 2024.

Lukisan itu, memotret sebuah tradisi dari Flores, Nusa Tenggara Timur, yakni Tari Caci. Pelukisnya, Patrisius Risan memajang sekitar empat lukisan disana, di dinding galeri. Masing-masing ukurannya 45 cm x 50 cm yang dicetak dengan kertas Domson. Dia mengklaim karya seninya sebagai bagian dari seni grafis cetak sari.

- Advertisement -

Risan melukiskan visualisasi Tari Caci di Nusa Tenggara Timur yang bisa dipertunjukkan tatkala warga adat menggelar syukuran hasil panen maupun pembangunan rumah adat. Risan merekam setiap adegan Tari Caci di setiap bingkai, mewakili seluruh alur tari secara nyata.

Patrisius Risan di depan karya seni yang dipamerkan dalam Mayart20, FBS Undiksha

Dalam Tari Caci, ada banyak penabuh yang mengiringi dengan menggunakan tebang gendang. Para penabuh mengiringi dua orang yang beradu ketangkasan, saling menyerang dan menangkis. Keduanya membawa senjata yang berbeda, yakni Larik (cambuk) Agang Saman Giling  dan Panggal (penangkis).

Dalam lukisannya, Risan menceritakan tentang kekuatan Paki Reis atau pukulan pembuka ketika tari ini dimainkan. Penabuh dengan genderang yang lantang dari suara Gendang membuat penari yang beradu tangkas itu semakin energik agar bisa memukul dan menangkis dengan tepat. Risan juga menceritakan tentang kekuatan memukul dari masing-masing penari yang sudah dilengkapi dengan senjata. Dibalik tarian ini, ada filosopi tentang keberanian dan sportifitas serta persahabatan yang dipertunjukkan.

“Dalam tarian ini, saling memukul harus bergantian, ketika saya kena pukul, maka saya boleh memukul bapak. Tetapi tidak boleh ada yang marah bila kena pukulan,” tutur Risan.

- Advertisement -

Setelah tarian Caci selesai ditarikan, maka akan ditutup dengan tarian lain yakni Tari Saee atau Danding. Tari ini juga cerminan ekspresi kegembiraan dari masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Risan mengaku bahwa dia terinspirasi untuk memajang karya seni dengan akar budaya dari Indonesia timur di galeri itu, guna menunjukkan khasanah budaya Indonesia yang sangat beragam. Dia juga ingin mengenalkan kepada masyarakat umum dan civitas Undiksha bahwa Tari Caci di NTT ini merupakan sebuah ekspresi budaya dari Indonesia Timur, tempat kelahiran dirinya.

Selain visual Tari Caci yang dipamerkan oleh Patrisius Risan, banyak karya mahasiswa dari fakultas bahasa dan Seni Undiksha disini.  Setidaknya ada 15 mahasiswa yang berkontribusi dari berbagai bidang studi khusus yang dipamerkan, diantaranya Seni Lukis, Seni Patung, Seni Grafis, Kriya keramik, Kriya kayu, Kriya Tekstil, Prasimologi, Photography dan Desain Komunikasi Visual.  

Pihak Panitia, Allyce Win mengatakan pameran ini milik para mahasiswa yang pernah lebih banyak tergiring ke ruang sunyi akibat pandemi covid-19. Banyak perubahan dalam dunia Pendidikan oleh pandemi. Dan bukan hal yang mudah bagi mereka. Karena nyatanya ada banyak bagian kanvas yang terpaksa kosong dalam gambaran kisah perkuliahan mereka, yang seharusnya dapat dilukis bersama untuk menceritakan kebersamaan selama kegiatan akademik berlangsung layaknya sebagai mahasiswa pada umumnya yang menghabiskan waktu kuliah bersama.

Pandemi itu mengakibatkan jarak berjauh-jauhan, bahkan sampai tidak dapat menginjakkan kaki di kampus dalam masa orientasi sampai berlalunya 3 semester. Selama itu internet menjadi jantung kehidupan bagi mahasiswa termasuk mahasiswa yang bergerak dalam bidang kesenian. 

“Kami dalam keberlangsungan aktivitas perkuliahan daring yang tidak jauh dari aktivitas UPLOAD-mengUPLOAD. sehingga atmosfir akademis yang kami dapatkan terasa semu dari awal memasuki dunia perkuliahan.” terang Allyce.

Dari kondisi itu, sejumlah mahasiswa yang terdampak kesunyian pandemi itu, mengangkat sebuah pameran dari anak-anak mahasiswa Pendidikan Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha, angkatan 2020 dengan sebutan “MayaArt”.  

“Ini didasari oleh keberadaan maya kami yang kebersamaannya sebatas layar LCD: obrolan melalui ketikan tuts keyboard, voice call, video call, zoom meeting, scroll media sosial dan kegiatan maya lainnya.” tuturnya.

Karakterisik pameran mengangkat berbagai isu, mulai dari religi, sosial, lingkungan, kekinian hingga hal-hal yang tabu namun mampu menjadi sebuah karya seni.

Disisi lain, Ketua Jurusan Seni dan desain, Fakultas Bahasa dan Seni(FBS) Undiksha, Ketut Supir mengapresiasi hasil karya mata kuliah tugas akhir dari para mahasiswa. Mereka memang diharuskan menunjukkan hasil karyanya selama proses studi berlangsung di Undiksha. (*)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts