Selama periode panjang, teknologi dimanfaatkan dalam praktik pendidikan. Guru menyajikan pelajaran dengan bantuan suatu alat. Laboratorium sekolah banyak memanfaatkan teknologi, misalnya cairan pengawet kadal. Karas dengan gerip, alat tulis yang pernah ada sebelum kertas dan pensil, tentu saja teknologi yang sangat tua yang mendukung PBM (proses belajar mengajar).
Sebelum era mesin cetak, materi pelajaran telah ditulis tangan dalam naskah-naskah yang terbatas sehingga guru lebih banyak melakukan ceramah. Siswa menyimak “wejangan” para guru dengan takzim. Teknologi mesin cetak memberi sumbangan besar dalam mengubah budaya belajar dari lisan ke baca-tulis. Metode ceramah kini bersanding dengan metode membaca. Materi dalam buku dibaca dan dilisankan oleh guru.
Sejak teknologi mesin cetak berkembang, materi pelajaran ditulis dalam berbagai buku. Periode ini melahirkan satu jenis buku, yakni “buku pelajaran”. Buku-buku khusus disusun dan dicetak atau diterbitkan untuk kepentingan sekolah. Teknologi percetakan memberi dampak besar bagi persekolahan, seperti tampak pada terbangunnya budaya baca-tulis siswa dan aktivitas perpustakaan masuk ke dalam areal sekolah.
Indikator sosial seorang anak ketika mereka bersekolah adalah bahwa yang bersangkutan telah mengalamai transformasi dari niraksara menjadi insan yang beraksara. Salah satu urusan sekolah adalah menjalankan transformasi dari lisan ke tulis. Hal ini terkait dengan sumbangan besar teknologi mesin cetak dalam dunia pendidikan. Tanpa teknologi ini manusia tidak pernah sampai pada dunia tulisan.
Kahadiran teknologi cetak juga tampak dalam perkembangan selanjutnya. Setelah buku-buku cetakan sekolah memanfaatkan kemajuan teknologi yang masih berbasis cetak-mencetak, seperti mesin stensil. Mesin ini digunakan untuk menggandakan dokumen-dokumen belajar, seperti soal ujian atau diktaat, dengan cara yang sangat unik. Dokumen yang akan digandakan terlebih dulu diketik dengan mesin ketik tangan tanpa menggunakan pita bertinta, agar setiap huruf yang dipukulkan ke bantalan mesin ini dengan baik dapat melobangi kertas stensil. Setelah itu, kertas stensil dimasukkan ke mesin. Mesin ini berisi bantalan tinta (khusus yang kental seperti pasta) dan tuas pemutar yang menggerakkan sekaligus kertas stensil yang berfungsi seperti film yang akan digandakan dan menarik kertas tempat dokumen tercetak. Kelak, mesin foto kopi menggantikannya. Namun demikian, mesin ketik (manual dan listrik) cukup lama digunakan di sekolah sampai komputer berkembang.
Item teknologi yang selanjutnya masuk dunia sekolah adalah OHP (over head projektor). Teknologi ini diciptakan untuk membantu guru dan siswa menyajikan materi secara lebih menarik untuk mengimbangi penggunaan papan tulis yang monoton. Teknologi ini cukup lama bertahan dalam dunia pendidikan. Sumbangannya sangat besar.
Teknologi komputer masuk ke dunia pendidikan, tidak hanya sebagai peralatan teknik yang digunakan untuk mendukung jalannya pendidikan tetapi juga siswa mempelajari komputer. Komputer kelak berkembang dan tetap menjadi elemen pendukung teknologi internet. Namun masih ada jeda yang panjang sebelum internet berkembang karena unit-unit komputer masih terisolasi satu sama lain. Dalam keadaan ini, komputer tetap mendukung pelaksanaan pendidikan, seperti dalam menyimpan dokumen siswa dan materi pelajaran. Sebagai produk teknologi baru, komputer menjadi indikator fasilitas maju suatu sekolah. Promosi-promosi sekolah selalu mencantumkan fasilitas komputer untuk menarik minat siswa.
Sampai era revolusi industri generasi ke-4 ini, teknologi dalam dunia pendidikan adalah elemen luar yang diadopsi. Teknologi digunakan secara terkontrol oleh sekolah. Teknologi digunakan sebagai alat bantu semata agar PBM berjalan dengan efektif. Namun teknologi kini telah memasuki era baru. Teknologi dalam pendidikan sejak era 4.0 adalah teknologi yang disrupsif. Hadir sebagai dirinya sendiri dan menyerap praktik-praktik sosial ke dalamnya, termasuk praktik pendidikan.
Karakter teknologi disrupsif adalah teknologi yang berpotensi menggantikan atau menggeser elemen-elemen pendidikan konvensional, seperti perpustakaan, ruang kelas, buku, kertas ujian, blanko, dan bahkan yang paling mengkhawatirkan adalah guru atau si raja pendidikan.
Ide pengembangan belajar jarak jauh atau distance learning sudah ada sejak lama dan di Indonesia dipraktikkan oleh Universitas Terbuka (UT). Namun demikian, dalam pendidikan konvensional yang formal, sangat sulit dipraktikkan. Sekolah-sekolah organik tetap dibutuhkan oleh masyarakat. Di tengah kemajuan teknologi komputer dan teknologi jaringan sebagai tahap selanjutnya, pendidikan tetap terjadi di ruang-ruang organik. Kelas-kelas virtual atau belajar secara daring ketika itu masih menjadi ide di langit.
Kini karakter disrupsi teknologi internet atau teknologi informasi membayang-bayangi operasi sekolah-sekolah yang berbasis ruang organik. Namun energi sekolah di Indonesia adalah kuatnya energi sosial. Sekolah adalah habitus sosial yang telah menjadi kebutuhan sosialisasi siswa. Siswa bersekolah untuk bersosialisasi di suatu tempat di mana mereka dapat bertemu dengan teman-teman lainnya yang seusia dan di sini mereka hidup dan tumbuh selama enam atau tiga tahun sesuai dengan tingkatan satuan pendidikannya.
Hal inilah yang sangat kuat pada budaya pendidikan sehingga menjadi hambatan jika sekolah melakukan teknologi e-learning atau daring. Demikian pula metode belajar yang blended atau campuran sulit dilaksanakan. Pendidikan bagi siswa adalah sosialisasi yang sangat penting dan mereka membutuhkannya secara sosial. Sekolah bukan hanya urusan tiga ranah yakni pengetahuan, sikap, dan tindakan, tetapi juga urusan ranah sosial.
Karena kuatnya energi sosial pendidikan, wajar jika selama pandemi siswa dan orang tua sangat tidak siap belajar daring. Mereka menginginkan ke sekolah lebih cepat lagi. Ini adalah alasan sosial dan bukan alasan pendidikan. Mereka bisa belajar di mana saja dan dengan cara-cara yang ada namun siswa menginginkan organisasi dan sistem sosial dalam belajar. Dan, hal ini hanya ada di gedung sekolah formal.
Teknologi disrupsi dalam dunia pendidikan mau tak mau dipaksakan atas alasan pandemi. Maka semuanya mau menerima. Kehadiran teknologi ini dalam dunia pendidikan dengan karakter disrupsi, walaupun pendidikan ingin mengingkarinya; telah dilegitimasi oleh pandemi. Pandemi menjadi alasan sekolah harus mengalami disrupsi.
Bulan-bulan awal di masa pandemi, goncangan masih sangat kuat. Namun demikian, ketakutan terhadap ancaman pandemi menjadi alasan siswa mau belajar di rumah. Ancaman pandemi memaksa siapapun agar mau belajar secara daring. Lambat laun, siswa dan orang tua mulai beradaptasi. Selama masa ini muncul berbagai pengalaman baru dan pandangan-pandangan baru yang berangkat dari kesadaran, seperti keluarga menyadari betapa sulitnya mengajari anak-anak mereka belajar di rumah; belajar di rumah serasa tidak ada makna apa-apa; belajar di rumah hanya sambil lalu saja; dan lain-lain. Kini sudah dicoba PTM terbatas yang disambut antusias oleh orang tua. Kelak, pengalaman belajar daring semasa pandemi mungkin akan dilupakan karena menjadi pengalaman buruk. Kembali ide belajar blended (campuran tatap muka dan daring) yang menjadi indikator pendidikan global, akan dimentahkan.
Esai ini berangkat dari sejarah hadirnya teknologi dalam kelas. Pada masa yang panjang, teknologi hanya sebatas pendukung belajar. Namun teknologi internet juga (akan) mendisrupsi pendidikan. Gejala-gejalanya sudah tampak dan praktik-praktinya sudah terlihat pula, seperti matinya perpustakaan buku, munculnya berbagai manajemen sistem pembelajaran, cara-cara baru manusia belajar (seperti lewat Youtube), guru sudah tidak dipercaya sebagai sumber informasi di tengah dunia yang semakin humanis-demokratis. Kini teknologi tidak ubahnya sebagai lawan pendidikan. (*)
Penulis :
Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Universitas Pendidikan Ganesha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)