Singaraja, koranbuleleng.com | Tarian Joged salah satu warisan seni budaya masyarakat Bali. Walaupun sebagai karya seni budaya, namun masih banyak yang berpandangan negatif tentang tarian ini karena sering kali masih ada pementasan Joged bernafaskan pornoaksi.
Padahal, tidak semua penari Joged seperti itu. Ada banyak penari joged bumbung yang masih menjunjung tinggi pakem jogednya masing-masing tanpa harus mengesampingkan etika. Salah satu contohnya yaitu Sekeha Joged Karya Remaja yang ada di Desa Sari Mekar, Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng.
Sekeha Joged ini didirikan oleh almarhum Nengah Nurana pada tahun 1945. Sekeha ini salah satu kelompok pelopor kesenian Joged di Bali. Di bawah asuhan almarhum almarhum Ketut Jingga, sekeha ini pernah menjalani masa emas. Jingga adalah putra dari Nengah Nurana. Semasa hidupnya, almarhum Jingga sangat anti dengan gerakan Joged yang erotis dan selalu mengingatkan penarinya untuk menghempaskan tangan-tangan nakal para pengibing.
Semasa hidupnya, ia telah banyak menerima penghargaan dari pemerintah diantaranya penghargaan Kabupaten Buleleng Wijaya Kusuma 2005, Penghargaan Sapta Pesona 2008 dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Saat ini Sekeha Joged Karya Remaja sudah dikelola oleh Nyoman Adya Yana dan Ni Luh Made Fitri Yudiastuti.
Ni Luh Made Fitri Yudiastuti selaku penerus Sekeha Joged Karya Remaja mengungkapkan walaupun ada perkembangan dari modernisasi yang memasukan alat-alat modern dalam iringan musik tarian Joged, itu tidak mempengaruhi pakem dan gamelan klasiknya. Dirinya optimis bisa mengubah pemikiran masyarakat akan citra negatif tentang Joged bumbung dengan tetap mempertahankan tarian Joged Bumbung yang sesuai dengan pakem dan ajeg Bali.
“Kami di Sekeha Joged Karya Remaja tetap mengutamakan pakem yang sudah ada, termasuk gamelan klasiknya itulah yang membuat khas sebenarnya,” Jelasnya.
Ni Luh Made Fitri Yudiastuti mengatakan sampai sekarang minat generasi muda tinggi untuk meneruskan kesenian tari Joged bahkan sejak masih duduk di bangku SD.
Salah satu penari Joged dari sekeha Joged Karya Remaja bernama Komang Trisna Wulandari sering dipanggil Gek Wulan. Ia mengaku masih menampilkan tarian joged disertai gerakan-gerakan yang dinamis khas joged dari Buleleng. Ia memiliki paras yang cantik dan menawan berpadu dengan tubuh mungil nan elok membuat banyak orang terpesona setiap melihatnya menarikan tari Joged.
Bahkan sebelum pementasan dimulai sudah banyak penonton yang berkumpul memperlihatkan bahwa antusiasme masyarakat akan joged sangatlah tinggi. Diiringi dengan lantunan musik tradisional rindik dan alat musik lainnya salah satunya suling yang menghipnotis penonton ketika dimainkan.
Ketika menarikan tarian joged, di Desa Bontihing Kecamatan Kubutambahan hari Rabu, 19 Januari 2022, dia tetap melakukannya sesuai dengan pakem yang sudah ada. Kemudian ketika ada pengibing yang berkelakuan tidak wajar atau nakal ia selalu menolak dan menjauhkan hal tersebut darinya dengan cara memberitahu secara langsung.
Ia mengaku selain untuk melestarikan budaya warisan leluhur Bali, tujuannya menari Joged juga ialah untuk mengembalikan citra tari Joged bumbung kembali sesuai pakem yang selama ini dibanggakan oleh masyarakat Bali.
“Saya gak pernah malu untuk menarikan tari joged, walaupun saya menari joged bukan berarti menari joged itu buruk akan tetapi sebaliknya, saya memiliki keinginan untuk melestarikan budaya Bali,” ujarnya.
Made Armawa salah satu pengibing menuturkan kalau ngibing harus disesuaikan dengan lantunan musik gamelan yang mengiringi tarian Joged.
Ia lanjut bercerita kalau di zaman dulu saat dirinya masih muda, jikalau ada pengibing yang nakal, maka akan ditindak secara tegas oleh sekeha yang mendampingi penari joged agar tidak membuat kericuhan berbeda halnya dengan sekarang.
“Kalau saya ngibing itu yang diutamakan adalah kesopanannya, jadi jangan sampai memegang bagian tubuh dari penari” Jelasnya. (*)
Pewarta : Made Wijaya Kusuma
Editor : I Putu Nova A.Putra
