Singaraja, koranbuleleng.com │ Sejumlah krama Desa Adat Kubutambahan menggelar orasi di Balai Banjar Adat Kaje Kangin, Desa Adat Kubutambahan, Senin 31 Januari 2022. Dalam orasi tersebut, krama menyebut ada mafia tanah.
Selain itu, mereka juga menuntut polisi segera menuntaskan 5 pengaduan ke polisi yang telah dilaporkan sejak tahun 2016 lalu terhadap terlapor Bendesa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Ketut Warkadea
Pantauan di lapangan, krama memasang setidaknya 5 buah spanduk di sekitar bale banjar. Pada spanduk itu, krama mendesak agar polisi segera menindaklanjuti sejumlah laporan yang dilayangkan.
Koordinator Aksi, Gede Suardana mengatakan pihaknya sengaja melakukan orasi agar pengaduan yang disampaikan ke kepolisian bisa segera diselesaikan sehingga tidak menjadi kemelut di desa adat.
Ia pun melihat ada mafia tanah yang bermain sehingga pengaduan disampaikan ke pihak kepolisian. Ia juga menyayangkan perjanjian kontrak tanpa batas waktu yang disetujui Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea.
“Kalau polisi tidak beri keadilan dan pemerintah diam, akhirnya masalah ini akan meledak. Kami tidak mau kehilangan hak kelola tanah desa adat selamanya. Kalau mereka bersikukuh menguasai, kami akan berjuang,” katanya
Selain itu, dalam perjanjian sewa lahan, investor berjanji membangun sarana di bidang pariwisata. Namun hingga saat ini, investor belum juga membangun.
Sementara itu, Ketua Komunitas Penyelamat Aset Desa Adat (Kompada), Ketut Ngurah Mahkota menyebut tanah tersebut sejatinya dikontrak selama 30 tahun. Namun dapat diperpanjang hingga batas waktu yang tak ditentukan. Ia menegaskan krama hanya mengakui sewa kontrak tanah Desa Adat Kubutambahan berlaku hingga tahun 2031 dan 2032.
“Kami tidak mengakui perpanjangan berikutnya. Kami akan terus berjuang melestarikan tanah duwen pura,” kata Mahkota.
Disisi lain, Bendesa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea menyebut apa yang telah dilakukan sejumlah krama agar timbul kegaduhan di internal desa adat. Ia mengaku telah memenuhi panggilan penyidik Polres Buleleng terkait seluruh laporan tersebut. Warkadea mengklaim hingga kini pihaknya tak pernah ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut Warkadea masalah itu seharusnya diselesaikan di internal desa adat. Pihaknya sudah pernah menggelar paruman pada purnama kesanga. Namun pihak Kompada tak pernah menyampaikan masalah tersebut dalam paruman. Bahkan Warkadea menuding, sejumlah nama dalam Kompada, justru telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Mestinya introspeksi diri lah. Kok lagi pasang baliho. Menuduh saya melakukan penggelapan. Semua sertifikat masih utuh kami pegang kok. Aset mana yang digelapkan” kata Warkadea
Terkait tuduhan penyewaan lahan tanpa batas waktu. Hal itu sudah dijelaskan dalam pertemuan tahun 2020 lalu. Perjanjian itu hanya terkait dengan bangunan yang berada di atas lahan. Skema itu disebut build on transfer (BOT).
“Misalnya, kalau di atas tanah tersebut dibangun bandara. Setelah sewa tanah berakhir, apa akan dibongkar bangunnya. Kan nggak. Itu yang disebut nggak ada batas waktu,” pungkasnya. │ET│