Guru Bimbel dan Persoalan Pendidikan Mikro

Perhatian terhadap berbagai persoalan pendidikan makro (lembaga, kebijakan) selamanya menyita perhatian. Padahal persoalan-persoalan mikro dalam bidang ini sering terjadi. Pendidikan mikro adalah praktik pendidikan pada ranah personal, baik di antara siswa, orang tua, dan guru. Praktisnya, persoalan-persoalan mikro sering muncul di dalam ruang kelas.

Esai ini mencoba membicarakan salah satu persoalan mikro yang di dalamnya ditemukan konstelasi siswa, orang tua, dan duru kelas. Variabel persoalan lainnya adalah pelayanan guru dalam mengajar sehari-hari dan harapan-harapan orang tua terhadap pelayanan tersebut kepada anak-anak mereka.

- Advertisement -

Semua orang tua berharap anak-anak mereka mendapat pelayanan yang adil dan humanis. Namun demikian sering terjadi, guru-guru tidak mampu merealisasikan harapan tersebut. Perhatian guru cenderung kepada siswa yang pintar. Sekelompok anak di kelas-kelas adalah siswa unggulan. Selebihnya tentu saja jadi “figuran” semata. Fokus pelayanan guru hanya kepada mereka, siswa anak emas. Maka akan sangat beruntung jika orang tua memiliki anak kesayangan guru di kelasnya.

Kondisi ini bukan rahasia lagi. Siswa di suatu kelas paham. Namun demikian, mereka memilih diam. Pun orang tua yang tidak beruntung sering tidak mempersoalkannya. Biasanya masalah ini muncul pada banyak siswa yang memiliki kemampuan rata-rata di kelas atau bahkan lebih mengkhawatirkan lagi, mereka yang ada di bawahnya. Mereka diberi predikat tidak mampu atau lemah dalam mata pelajaran tertentu, misalnya matematika, bahasa asing, atau sejarah. Bagi orang tua, keadaan ini diterima dengan menyalahkan anak mereka sendiri. Jarang sekali orang tua membalik: ini akibat guru yang tidak becus.

Penerimaan ini umum terjadi. Seharusnya orang tua lebih kritis dan realistis! Mereka menyekolahkan anak-anak karena ingin belajar apapun mata pelajaran yang ditawarkan. Salah satu hasil belajar adalah anak “tahu”, “bisa”, dan ‘mampu”. Namun hal ini tidak selalu terjadi. Pada umumnya sebagain besar anak “gagal”. Pada kasus persoalan mikro ini, orang tua harusnya mengembalikan persoalan ini pada guru atau sekolah. Orang tua dapat meminta perhatian lebih kepada sekolah bahwa ketika sorang anak “gagal” dalam bidang studi tertentu, orang tua harus menyampaikan kepada sekolah satu permohonan agar anak-anak mereka dibantu. Justru ini tugas guru, bikin siswa yang tidak bisa matematika jadi pintar.

Hal ini jarang dilakukan oleh orang tua. Mereka tidak sanggup menyalahkan sekolah dan guru. Anak mereka sendiri yang disalahkan. Lantas orang tua mencari jalan keluar sendiri. Pilihan jatuh pada “bisnis” bimbel (bimbingan belajar) atau les-les privat. Untuk ini orang tua sudah barang tentu mengeluarkan biaya tambahan yang tidak sedikit.

- Advertisement -

Setelah anak-anak mengikuti bimbel, terjadi perubahan yang signifikan. Mereka “mampu” di kelas. Lantas guru mengklaim bahwa peningkatan kemampuan tersebut sebagai buah kerja kerasnya dalam mengajar.

Karena orang tua sanggup dan mau membayar jasa belajar di “sekolah” bimbel maka beberapa guru berkongsi mendirikan usaha ini. Sasaran pertama adalah siswa di sekolah atau di kelas yang diajar. Guru-guru yang mengelola bimbel, melakukan promosi gratis. Siswa pun menyampaikan informasi tersebut kepada orang tuanya. Orang tua menyambut baik. Apalagi anak-anak mereka yang dicap kurang mampu dalam mata pelajaran tertentu. Segera mereka mendaftar dan membayar. Jika seorang anak sekolah di swasta, maka akan ada pembayaran ganda. Sudah bayar mahal di sekolah dan bayar lagi yang tidak kalah mahal di bimbel gurunya.

Ada satu motivasi orang tua memasukkan anak-anak mereka ke bimbel, apalagi jika bimbel itu milik guru anaknya sendiri, yang sehari-hari mengajar di kelasnya. Motivasinya adalah agar anak-anak mereka mendapat perhatian dan sikap adil guru. Agar guru bersikap ramah dan penuh perhatian kepada anaknya di kelas. Jika anak mereka tidak ikut bimbel, maka jangan harap ada perhatian dari guru. Guru hanya fokus kepada sejumlah anak yang dijadikan “anak emas” karena mereka ini pandai di kelasnya.

Idealnya dan secara manusiawi, guru harus lebih besar memberi perhatian kepada siswa yang pada umumnya kurang atau tidak mampu. Mungkin ini hal yang berat. Guru tidak mampu. Guru pun mengabaikan mereka. Dalam buku rapor mereka, guru menulis angka-angka yang bagus, yang tentu saja di bawah siswa emas. Boleh saja guru menulis angka-angka apapun itu, yang formal karena untuk konvensasi saja, namun yang terjadi adalah siswa yang diabaikan di kelas-kelasnya oleh gurunya sendiri tidak pernah dilayani dengan baik dan adil.

Mengapa guru lebih humanis, ramah, dan hebat jika mengajar di bimbel ketimbang mengajar di kelas resmi? Bukankah mereka juga dibayar oleh yayasan atau oleh menteri keuangan?

Berkembang satu stigma di kalangan orang tua bahwa guru bimbel mengajar lebih ramah, santun, adil, penuh kasih, kerja keras di bimbel ketimbang di sekolah. Hal ini sudah pada ghalibnya karena guru-guru bimbel harus bertanggung jawab dengan dana yang dibayarkan oleh orang tua atas jasa mengajar yang mereka bayar. Seolah guru-guru di bimbel memberi garansi bahwa anak-anak mereka akan pintar. Hal ini biasanya diukur dengan nilai-nilai ulangan atau tes akhir semester.

Demi garansi itu dan menjaga nama baik bimbelnya, sehingga akan datang lagi lebih banyak siswa, guru-guru bimbel tidak segan-segan melakukan cara yang tidak terdidik. Mereka membocorkan soal ulangan. Atau mereka bisa juga memperbaiki nilai ssiswanya yang ikut di bimbel pribadinya. Pada lembar jawaban ulangan anak-anaknya tertera angka-angka yang melambung secara tiba-tiba. Orang tua senang bukan kepalang!. Orang tua mengamini bahwa peningkatan prestasi anaknya berkat ikut bimbel. Tentu saja, orang tua semakin bertambah semangatnya ikut bimbel.

Lantas, mengapa di sekolah tidak ada kerja keras guru? Mungkin mereka tidak punya hubungan khusus secara pribadi dengan orang tua siswa. Di bimbel guru-guru membina dengan baik hubungan itu agar uang orang tua “mengalir”. Di sini guru-guru bimbel bergantung kepada orang tua siswa. Karena itu, dengan segenap ikhtiar menjaga hubungan baik. Prinsip dagang berlaku di dalam hubungan ini. Agar “jualan” guru bimbel laku, yang harus dicapai dengan berbagai trik, termasuk membocorkan materi ulangan atau jika perlu perbaiki jawaban siswa di lembar jawaban.

Dalam persoalan mikro ini, orang tua juga tidak sepenuhnya benar. Mengapa orang tua mau “menyekolahkan” anak-anak mereka di bimbel? Apakah ini artinya mereka tidak percaya dengan sekolah? Jika ada sistem dan budaya komunikasi yang bagus antara orang tua, sekolah, dan guru-guru, tentu saja orang tua dapat minta perlakuan khusus. Pihak sekolah dan guru dapat menerima tuntutan orang tua dengan jernih. Misalnya ketika orang tua meminta agar anak-anak mereka dibantu dalam mata pelajaran tertentu. Sehingga, tidak perlu lagi ke bimbel.

Ironisnya, kepala sekolah dan para guru biasanya apriori terhadap pengaduan orang tua. Setiap pengaduan ditanggapi negative karena sekolah merasa selalu benar. Pengaduan boleh dilakukan tetapi anak orang tua yang mengadu itu akan menanggung isiko. Pun orang tua mengalah saja.

Aneh sekali rasanya, kok di bimbel semua persoalan kesulitan belajar siswa dapat diatasi? Hebat benar guru-guru di bimbel. Lalu kehebatan guru ternyata dapat dikontrol oleh kondisi dan relasi-relasi ekonomi antara mengajar di sekolah resmi dengan mengajar di bimbel ruko kontrakan. (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts