Tradisi Megibung Sejak Era Kerajaan Buleleng Masih Digelar Usai Shalat Id

Singaraja, koranbuleleng.com| Cuaca pagi sangat cerah, Senin 2 Mei 2022. Dari sebelah barat Patung Catur Muka di Catus Pata Singaraja, Matahari terlihat terbit dengan benderang di ufuk timur. Pagi ini juga merupakan hari raya besar bagi umat muslim,  Idul Fitri 1443 Hijriah. Warga muslim sekitar berduyun-duyun menuju Mesjid setempat untuk menggelar Sholat Id.

Dari masa ke masa, Catus Pata adalah lokasi pusat kemasyarakatan, baik dari sisi ekonomi dan sosial. Di masa Kerajaan Buleleng, Catus Pata tersebut pusat ekonomi. Di situ hidup transaksi yang dilakukan masyarakat melalui pasar rakyat, yakni Pasar Buleleng. Masyarakat Buleleng adalah masyarakat yang terbuka dan dinamis sejak lama. Di situ juga hidup berdampingan dengan baik antar warga berbeda keyakinan, termasuk dengan umat Muslim. 

- Advertisement -

Mereka damai hidup secara berdampingan dengan umat Hindu maupun umat lain sejak beratus tahun lalu, hingga terjadi kelekatan budaya diantara mereka. Tak ayal, ada sisi kehidupan warga Muslim setempat juga terpengaruh oleh kebiasaan masyarakat Bali, seperti tradisi Megibung ( Makan bersama dalam satu lokasi).

Di Kampung Singaraja, Kecamatan Buleleng, dalam rangka menyambut hari raya Idul Fitri 1443 Hijriah, Mereka juga menggelar tradisi Megibung.

Tradisi yang rutin digelar setiap tahun ini dilaksanakan seusai pelaksanaan Sholat Ied. Dimana, seluruh umat muslim duduk bersila saling berhadapan di halaman Masjid Nurrahman Kelurahan Kampung Singaraja untuk menikmati hidangan makanan yang telah disediakan secara bersama-sama.

Tidak hanya diikuti oleh umat muslim, tradisi megibung tersebut juga dikuti oleh umat Hindu yang ada di sekitar Masjid.

- Advertisement -

Tradisi Megibung ini juga dihadiri oleh Penglingsir Puri Kanginan Singaraja, Anak Agung Ngurah Parwata Panji serta kedua anaknya.

Hubunga Puri dengan warga Muslim sejak lama sangat baik, sama baiknya dengan hubungan masyarakat lain secara umum.

Tokoh Masyarakat dari Kampung Singaraja, Agus Murjadi menjelaskan tradisi megibung ini sempat terputus hanya gara-gara pandemi Covid-19.

Kini kembali dilaksanakan, agar tradisi tetap mekar dalam kehidupan masyarakat. Ada harapan besar agar tradisi Megibung menjadi edukasi bagi generasi muda untuk mencintai budaya leluhur. Selain itu, makna dari tradisi Megibung ini adalah mensyukuri kenikmatan yang telah diberikan oleh Allah SWT.

“Megibung ini telah kami laksanakan secara turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Megibung ini juga bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi, dimana warga kami yang tinggal diluar Buleleng datang kesini untuk untuk duduk bersama. Moment seperti ini yang mereka tidak dapat di tempat lain,” terangnya.

Agus menyebut, ihwal makanan yang dihidangkan berasal dari masing-masing kepala keluarga yang ada di Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Singaraja. “Tidak ada ketentuan makanan yang dibawa harus ini itu. Makanan ini dibawa oleh masing-masing kepala keluarga atas hati tulus dan ikhlas untuk dimakan secara bersama-sama,”ujarnya.

Kata Agus, tradisi megibung ini juga tidak hanya diikuti oleh umat Muslim saja, namun juga dihadiri oleh umat lainnya yang tinggal di Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Singaraja. “Nyame kami dari Hindu juga kami ajak kesini untuk duduk bersama merayakan Idul Fitri ini. Ini bukti hidup menyame braya tidak dari ucapan saja, tapi inilah bentuk hati kita menyatakan perbedaan itu indah,” kata dia.

Sementara itu, Penglingsir Puri Kanginan Singaraja, Anak Agung Ngurah Parwata mengatakan, keberadaan umat Muslim yang ada di Kampung Jawa, Kelurahan Kampung Singaraja ini, sudah memiliki hubungan yang erat dengan kerajaan Buleleng sejak dipimpin Raja Ki Barak Panji Sakti. Selain itu, umat Muslim yang tinggal di Kampung Singaraja ini merupakan orang-orang terpilih. Pendahulu mereka juga dipercaya sebagai penasehat kerjaan dan juga sebagai panglima perang pada saat itu.

“Umat Muslim disini merupakan orang-orang terpilih. Mereka dipercaya sebagai pemberi nasehat kepada raja, panglima perang juga baik ke Klungkung, perang Buleleng 1846 hingga 1847. Sampai sekarang kami menjaga silaturahmi itu sehingga saling jotin, ada upacara disini kami datang. Upacara di puri umat juga kami undang,”ucapnya. (*)

Pewarta. : Kadek Yoga Sariada

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts