Berita mengenai pensiun seorang kepala sekolah, Pak Nyoman Darta, tersiar di media sosial. Bulan Mei 2022 beliau memasuki purna tugas setelah bekerja dan berprestasi sepanjang kariernya di dunia pendidikan di Bali.
Memang tidak semua kepala sekolah yang pensiun mendapat ulasan warganet. Pak Darta tentu saja perkecualian. Alasan sosialnya karena beliau kepala sekolah yang bereputasi tinggi. Soal reputasi itu ada dalam rekaman sosial. Maka saat meninggalkan arena tugasnya, siapapun yang pernah bekerja bersamanya atau sekadar pernah berkenalan dalam perbincangan pendek, pasti akan tetap menyimpan kesan. Ya mungkin seperti saya.
Berita pensiun Pak Nyoman Darta telah saya dengar awal tahun ini ketika seorang gurunya yang juga wakil kepala sekolah bidang kurikulum, I Kadek Darsika Aryanta, menemui saya di Kampus FBS Undiksha, untuk menyerahkan dua buku. Satu mengenai berbagai karya tulis guru dalam bidang pendidikan di Indonesia dan persentuhannya dengan digital culture. Buku ini ditulis oleh guru-guru muda yang selama ini bekerja menjadi staf SMAN Bali Mandara di bawah kepemimpinan kepala sekolah Pak Nyoman Darta. Menurut Kadek Darsika Aryanta, buku ini akan diluncurkan ketika sekolah akan menyelenggarakan acara pelepasan.
Satu buku lain adalah kumpulan esai yang menjadi semacam ode atau tulisan persembahan. Buku ini tentu saja buah penempaan Pak Darta kepada setiap guru baru yang bergabung di SMAN Bali Mandara. Jauh sebelum literasi bergaung hebat di Indonesia, Pak Darta telah berpraktik baik literasi dengan agenda sekolah, silent reading, setiap pagi, yang wajib diikuti oleh seluruh warga sekolah. Perhatiannya yang sangat besar terhadap literasi membawa siswa miskin tempaannya menjuarai berbagai kompetisi menulis (ilmiah dan fiksi) di tingkat nasional dan dunia. Pun tidak luput menerbitkan karya tulis dalam bentuk buku. Tidak hanya prestasi literasi bagi siswa, pun para guru. Pak Weda sanjaya misalnya, membawa Hadiah Sastra Rancage (2022) ke sekolah ini.
Sebut saja I Kadek Darsika Aryanta, I Putu Rio Andre Sutrisna, dan Weda Sanjaya. Mereka adalah guru-penulis yang karyanya banyak. Ini adalah bukti ikhtiar membangun sekolah dengan perspektif literasi, sebagaimana sebuah penelitian saya di sekolah ini, beberapa tahun yang lalu. Di sekolah ini literasi diberdayakan untuk mencapai tujuan. Ini adalah kemajuan hebat dalam bidang gerakan literasi sekolah karena literasi tidak lagi menjadi tujuan tetapi alat untuk mencapai suatu tujuan. Ini sering disebut dengan new literacies, literasi sebagai gerakan.
Sebagai penulis yang bekerja dekat dengan sekolah ini, saya berkesempatan sangat sering mendapat undangan untuk mengisi pelatihan menulis bagi siswa. Hubungan saya sangat baik dan bisa berkenalan dengan banyak guru hebat. Saya sangat mendambakan pendidikan yang “sejati” dan ini sulit ditemukan di sekolah-sekolah pemerintah, dan apalagi pendidikan yang berpihak kepada kaum miskin, seperti gagasan Paulo Freire di Brazil, Romo Mangun Wijaya dengan SD Mangunan di Yogyakarta atau Butet Manurung dengan proyek antropologi Sekola Rimba-nya di Taman Bukit 12 Jambi. Dalam hati saya membangun sebuah konvensasi bahwa SMAN Bali Mandara adalah sebuah anomali. Diam-diam saya menyikapi pendidikan di sekolah ini sebagai apa yang saya harapkan. Saya pun merasa sangat bangga karena sering dilibatkan dalam berbagai kegiatan, dari pelatihan menulis cerpen yang mempertemukan saya dengan I Gede Karsa, salah seorang siswa penulis sastra yang pernah diasuh, hingga menjadi “tokoh” yang dinilai dapat memberi inspirasi bagi siswa karena saya anak petani kopi dari Desa Batungsel, di Kecamatan Pupuan, yang berhasil menapaki pendidikan tertinggi dan meraih gelar Doktor; juga turut mewawancarai siswa yang akan diputuskan lolos atau gagal menjadi siswa dalam sesi boothcamp, tahap akhir penerimaan siswa baru ala sekolah ini yang melibatkan banyak pihak luar, dari dosen, wartawan, hingga donatur.
Di balik kebanggaan kepada kesejatian pendidikan SMAN Bali Mandara yang idenya tidak murni dari Pak Gubernur Made Mangku Pastika, tetapi adalah konsep pendidikan fungsional dan kepemimpinan di masa depan yang dikembangkan oleh Yayasan Sampoerna, dan sikap terbukanya kepada pendidikan yang kelak diwarnai dengan keberpihakan pendidikan elit bagi kaum miskin di Tanah Bali; saya ragu-ragu atau khawatir; apakah pendidikan ini akan bisa berjalan selamanya, walaupun Gubernur Made Mangku Pastika sudah tidak menjabat lagi?
Ketika kami diterima di suatu ruangan, kalau tidak salah namanya transit room, yang jadi tempat terhormat untuk menyampaikan ucapan selamat datang kepada para tamu, dan selalu disertai dengan kehadiran staf yang ramah saat mengajukan tawaran, “Bapak/Ibu mau minum teh atau kopi?”; saya tetap bangga dengan kesejatian holistik sekolah ini dan respek hebat kepada Pemerintah Provinsi Bali. Saya tahu bahwa proyek pendidikan, lebih-lebih bagi kaum miskin yang tidak memiliki nilai tawar politik, adalah hal yang mustahil; maka proyek politik SMAN Bali Mandara adalah anomali. Karena itu dalam hati saya berkata, “Jika politisi mau, apapun bisa dilakukan.”
Dalam tahun-tahun yang panjang dan selama itu akses saya ke sekolah ini sangat terbuka, di samping karena sempat mengenal guru-guru dan dedikasinya yang sangat terpuji, dengan rasa banggag dan kagum yang membuncah di dada, saya menyimpan rasa khawatir itu. Apakah nanti setelah Pak Made Mangku Pastika selesai menjabat Gubernur Bali, pendidikan SMAN Bali Mandara (dan dalam periode ini kemudian dikembangkan SMKN Bali Mandara, dalam satu kawasan di areal seluas 10 hektar di Air Sanih, Kubu Tambahan) akan tetap berlangsung.
Terkadang saya tidak yakin jika kelak sekolah ini bertahan karena politik itu musiman. Tapi mencoba becermin kepada proyek kebudayaan Gubernur Ida Bagus Mantra dengan Pesta Kesenian Bali-nya (PKB) nyatanya tetap berlanjut dan bahkan dikembangkan oleh siapapun gubernur sesudahnya.
Gagasan politik yang besar tidak bisa diwujudkan oleh politisi. Di siniah pilihan tepat Gubernur Bali ketika itu, menemukan Bapak Nyoman Darta. Cerita-cerita awal pembangunan sekolah bekas lahan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) pada era Revolusi Hijau Presiden Soeharto yang dilakukan langsung oleh Pak Darta dengan beberapa guru muda, di antaranya Gede Rio Sutrisna Andre dan I Komang Mudita; adalah kisah-kisah pahit yang tidak pernah diceritakan.
Saya beruntung bisa menyimak kisah itu sehingga tidak hanya tahu puncak kemegahan dan kejayaan sekolah ini yang mengundang rasa kagum siapapun, bukan karena elitisme sekolah menara gading yang menjadi sekolah “milik” kaum pejabat, politisi, penguasa, orang kaya di kota tetapi karena keberpihakan dan kepada orang miskin di Bali yang mana sekolah ini bukan keibaan yang instan bagi kalangan miskin dan karena itu bukan sebagai “proyek air mata” belaka yang sarat kepura-puraan. SMAN Bali Mandara adalah kesungguhan berlandaskan moralisme ketika politik memberi ruang perjamuan yang indah bagi kaum miskin, bukan menyajikan hidangan ezat di atas meja tetapi mengubah infrastruktur personal kemiskinan pada anak-anak miskin yang lolos dididik di Bali Academy, Air Sanih, Kubu Tambahan.
Pak Darta dipertemukan dengan barisan guru muda yang baru saja tamat dari universitas, yang mayoritas adalah tamatan Undiksha. Mereka “membabat” lahan gersang padang kering yang dinaungi siwalan dan intaran, yang kelak menjadi “taman” indah dan sekaligus “kawah” tempat anak-anak miskin Bali membasuh diri menuju masa depan yang terhormat secara ekonomi dan ini dilewati dalam proses tiga tahun: pendidikan Bali Mandara, yang di tempat ini kata-kata Filsuf Confucius, seolah-olah tengah titawar.
Di sinilah sosok I Nyoman Darta, guru fisika hebat yang lahir di Tiying Gading, Tabanan, dari desa yang dikeliling bentang alam perswahan Bali yang indah, menghabiskan masa dinasnya. Proyek politik pendidikan Bali Mandara seolah identik dengan dirinya.
Setelah Bapak Gubernur Made Mangku Pastika selesai bertugas dan digantikan oleh Bapak Gubernur Wayan Koster, isyarat “kesendirian” I Nyoman Darta mulai terasa. Walau tentu saja, sikapnya menampik jauh kesendirian itu dan mencoba meretas titik-titik abivalensi relasi pendidikan dengan politik, hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa pendidikan tidak ada hubungannya dengan politik.
Ini adalah masa-masa yang paling sulit dalam kariernya sebagai kepala sekolah. Membabat ilalang di kemringan lahan kering Air Sanih, ketika mobilnya seperti kamar untuk menyimpan berbagai perlatan kerja dan pakain karena tidak sempat kembali ke rumahnya di Seririt, sementara sisa-sisa gedung SMPA di lahan ini tidak ada yang bisa digunakan untuk sekadar melepas lelah dan jika pun ini ada, diperuntukkan bagi siswa sebelum asrama siap menampung.
Tahaun-tahun pertama pemerintahan gubernur yang baru mulai terasa ada perbedaan. Sososk Gubernur Made Mangku Pastika hanya tersisa dalam bayang-bayang warga sekolah dan ikhtiar guru dan tentu saja Pak Nyoman Darta untuk menepis rasa khawatirnya jika ini adalah pertanda yang tidak baik.
Mungkin saja beliau sedang menangis menyaksikan kenyataan yang akan terjadi, kemana anak-anak miskin yang masih lahir di Bali, akan mengadu dan bersandar. Siapakah yang mempedulikan mereka?
Pak Nyoman Darta tahu, apa yang sedang terjadi. Kantor Gubernur di Kawasan Niti Mandala, Renon, tidak lagi seperti sebelumnya. Pun dia tahu apa yang akan menimpa Pendidikan Bali Mandara. Pada masa akhir jabatanya selaku kepala sekolah, ia sedang melangkah ke satu titik yang paling pahit. Periode kepeimpinannya di SMAN Bali Mandara setelah Gubernur Made Mangku Pastika, adalah sebuah penantian di tengah rutinitas yang hampa. Mungkin Made Mangku Pastika telah mengalami saat meninggalkan kursi Gubernur Bali dan dalam waktu ini, ia membiarkan “kapal” Pendidikan Bali Mandara terapung di laut lepas, dinakhodai sang kepala sekolah, I Nyoman Darta, terombang-ambing, menghabiskan sisa-sisa perbelakan dan waktu yang masih ada di gudang kapal.
Bapak Nyoman Darta dan siapapun tokoh Bali menyaksikan “kapal” itu akhirnya ditenggelamkan! Di dalamnya sang kepala sekolah turut serta dan masa purna baktinya adalah waktu mengingatkan bahwa riwayat pendidikan bagi kaum miskin di Bali telah tamat, bersamaan dengan keputusan pemerintah Bali yang “menormalisasi” SMAN Bali Mandara menjadi sekolah pada umumnya; sebagai pilihan yang arif.
Selamat memasuki purna bakti Pak Nyoman Darta. Bayangan laut Pantai Soka dan untaian pematang di Desa Tiying Gading, menanti dan merindu! (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)