KKN (Kuliah Kerja Nyata) adalah program pendidikan tinggi yang termasuk “jadul”. Namun demikian tetap dilaksanakan. Tentu dengan berbagai adaptasi. Esensinya tetap saja. Mahasiswa pergi ke desa selama sekian bulan. Di sana mereka hidup berbaur dengan warga desa dan membantu mengatasi permasalahan yang ada. Sebagai program akademik, sebelum mahasiswa pergi dan tinggal di desa, mereka mendapat pembekalan dan menyusun program kerja.
Cikal-bakal KKN adalah idealisme kampus dalam membangun Indonesia dari perdesaan. Pada awal kemerdekaan, KKN selalu disambut penuh suka cita oleh mahasiswa dan dinanti oleh warga desa. Lewat mata kuliah ini, mahasiswa ketika itu mendapat kehormatan untuk ambil bagian dalam pembangunan Indonesia. KKN pun menjadi legenda dan mitos. Kisah-kisah mahasiswa KKN selalu menarik, dari keterlibatan mahasiswa dalam konflik sosial di desa lokasi mereka ber-KKN hingga kisah-kisah cinta yang romantis.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, KKN semakin dimantapkan dan kondisi politik nasional yang juga meresap ke dalam sistem pendidikan, termasuk universitas, semakin menjadikan KKN monoton dan stagnan. Namun demikian, KKN tetap dilaksanakan. KKN masih menarik dengan berbagai kisahnya. Pada masa ini pula KKN menuai banyak kritik. Program-program mereka di desa dinilai “itu-itu saja”, seperti membangun tapal batas desa dengan sikap narsis mahasiswa mencantumkan nama universitas dan titi mangsa atau membuat papan struktur berbagai organisasi setingkat desa.
Melewati masa Reformasi dan tahun-tahun sesudahnya, hingga era disrupsi hari-hari ini, KKN tetap dijalankan dengan berbagai perubahan. Pertanyaannya adalah; apakah KKN masih relevan bagi desa dan mahasiswa? Sejalan dengan gagasan awal program ini dalam kerangka besar memanggil dan melibatkan mahasiswa dalam pembangunan bangsa yang sejatinya adalah idealisme nyata; tentu saja adalah alasan yang paling kuat bagi tetap memberi kesempatan mahasiswa ber-KKN. KKN tetap nyaring sebagai panggilan ibu pertiwi untuk para mahasiswa Indonesia, putra-putri dengan berbagai kesempatan atau peluang terbaiknya.
Esai ini mencoba menjelaskan secara empiris sesuai dengan pengalaman penulis dalam terlibat menjadi salah seorang dosen pembimbing KKN Universitas Pendidikan Ganesha dengan desa lokasi penempatan adalah Desa Serampingan di Kecamatan Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan, tahun 2022 ini. Bagi mahasiswa KKN memberi manfaat, seperti menjadi kesempatan yang mahal dan berharga dalam mengenal suatu kehidupan desa dengan berbagai persoalannya.
Pada aspek ini KKN dan tentu saja mahasiswa memiliki kesulitan karena waktu yang sangat terbatas, hanya satu bulan, tidak memungkinkan bagi mereka mengenali persoalan masyarakat. Studi-studi antropologi menunjukkan, untuk mengungkap atau mengetahui keadaan suatu masyarakat, diperlukan waktu minimal satu tahun dan satu tahun lagi untuk melakukan verivikasi atau cross chek. Karena itu, mereka mengenal masyarakat Desa Serampingan melalui penjelasan atau informasi yang disampaikan oleh kepala desa dan berbagai staf. Dalam kondisi yang serba terbatas dengan naungan idealisme besar KKN, tentu saja persoalan-persoalan apapun itu yang mampu mahasiswa kenali harus diterima dengan baik. Paling tidak, mahasiswa sedang mengalami tranformasi intelektual, dari iklim belajar di kampus yang formal dan sistematis, kepada cara belajar terbuka, holistik, dan ras-rasanya absurd atau tidak memiliki struktur. Maka, KKN adalah khas sebagai satu model kurikulum untuk mengenalkan dan memasukkan mahasiswa ke dalam habitus intelektual dan lembaga belajar yang tidak ada batas-batasnya di wilayah politik setingkat desa.
Manfaat atau relevansi lain KKN mahasiswa di Desa Serampingan tahun ini tentu saja mereka semua mengenal lingkungan yang baru dan statusnya sebagai mahasiswa akan menempati suatu tatatan sosial sementara di desa ini. Selama satu bulan (Agustus 2022) warga Desa Serampingan mengenal satu kelompok warga, yakni KKN atau mahasiswa KKN Undiksha. Masyarakat sepertinya tengah mendapat kawan baru, anak-anak baru, kakak-kakak baru, atau tamu terhormat yang menetap cukup lama di desa ini. Pada kondisi ini tentu saja terjadi berbagai praktik hubungan sosial yang didasari oleh persaudaraan khas masyarakat desa, apalagi yang datang adalah mahasiswa dan secara resmi telah mendapat izin Bapak Kepala Desa, maka masyarakat akan menerima dengan sangat baik mahasiswa, ramah, dan tulus. Di sinilah mahasiswa mendapatkan kesan atau pengalaman yang hebat dan mungkin terasa baru karena mereka merasa sangat diperhatikan dan dihargai. Maka dalam hubungan dan adaptasi sosial di desa sebagai daerah yang baru, mahasiswa KKN tengah mengalami penerimaan dan pengakuan status diri sebagai mahasiswa yang dibedakan secara positif oleh sikap sosial masyarakat setempat.
Di tengah situasi ini, mahasiswa mengalami transformasi sosial pada dirinya secara tidak disadari. Hal ini akan menimbulkan berbagai perasaan baru dan sangat positif, seperti merasa diterima dan dihormatiai, serta mendapat banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan dalam partisipasi sosial di desa ini. KKN di Desa Seramping telah memberi harga dan arti bagi mahasiswa. Mereka diasuh dan dilibatkan oleh seluruh masyarakat di bawah pengayoman Bapak Mekel, seluruh pimpinan adat, aparat keamaan yang bertugas di desa; sehingga mereka merasa dibutuhkan dan mendapat peran baru, yang bisa jadi sebelumnya tidak pernah mereka miliki. Inilah idealisme KKN yang menjadi pengalaman nyata para mahasiswa. Karena itulah KKN ini masih harus mendapatkan garansi akademik untuk dapat dilaksanakan.
Dalam pengalaman menjadi mahasiswa yang merasa dihargai, dilibatkan, dalam berbagai kegiatan desa dan adat, mahasiswa akan menemukan makna atas diri mereka. Yang paling praktis disebutkan adalah mereka mendapatkan kesan postif pada diri mereka. Inilah berkah ber-KKN bagi mereka. Karena itu, bisa melaksanakan program “muluk-muluk” di desa sama sekali bukan esensi KKN karena mahasiswa tidak memiliki pengalaman hidup dan bekerja di suatu desa dan modal-modal lain. Bukankah KKN adalah program dan pengalaman pertama bagi mahasiswa? Di sinilah arti penting KKN, memberi kesempatan untuk menggali makna sosial atas diri di suatu lingkungan yang baru. Dalam kerangka itulah mahasiswa dibantu oleh warga desa.
Bantuan-bantuan yang dapat dilakukan mahasiswa di Desa Serampingan memang masih pada tataran yang teknis dan belum konsepsional atau strategis; seperti merancang sistem rekayasa sosial atau membangun pola pikir baru di kalangan warga desa. Hal ini adalah bagian dari proyek transformasi sosial yang membutuhkan waktu lama dan berhadapan dengan berbagai kendala sosial, ekonomi, politik, dan identitas lokal.
Buat Desa Serampingan, apakah relevansinya? Harus dinyatakan dengan jujur bahwa bagi warga setempat kehadiran mahasiswa kiranya dipahami bukan dari peranan praktis, politis, dan teknis. Desa ini mendapat kesempatan melakukan partisipasi dalam kerangka besar pendidikan tinggi; bagaimana warga desa mengambil bagian dalam pendidikan anak-anak bangsa; menyiapkan diri mereka menjadi sarjana. Desa Serampingan turut serta mewarnai perjalanan lahirnya seorang sarjana yang kelak bagi mahasiswa adalah cerita tersendiri yang sangat indah dikenang; lebih-lebih itu adalah soal asmara, cinta, dan romantisme kebun jagung, sebagaimana yang tumbuh subur bulan-bulan ini menjelang panen di subak-subak desa ini.
Dalam arus besar MBKM (Kampus Merdeka Merdeka Belajar) saat ini, KKN dan peran pimpinan serta seluruh warga Desa Serampingan, tentu sangat relevan dengan program nasional Kemendikbud Ristek Dikti. Di Desa Serampingan, idealisme KKN era awal kemerdekaan untuk memanggil dan melibatkan mahasiswa dalam pembangunan nasional; sebagai seruan ibu pertiwi; bertemu dengan MBKM; mahasiswa belajar kepada ibu asuh di luar kampus. Dan ibu asuh atau alma mater itu adalah Desa Serampingan. (*)
Penulsi : Dr. I Wayan Artika ( Akademisi Undiksha)