Singaraja, koranbuleleng.com | Ekspresi kegembiraan dan haru terlihat dari wajah Widi Suarsana, saat melihat cucunya menjalani prosesi di Tempat Peribadatan Tri Dharma Seng Hong Bio, di depan pantai Kampung Baru, Singaraja. Klenteng dengan ukiran khas naga melingkar pada beberapa tiang penyangga bangunan ini salah satu yang tertua di Bali.
Widi sedang mengajak keluarganya untuk menjalani prosesi persembahyangan 42 hari sang cucu. Widi Suarsana tinggal di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Dari sisi wajah, bila tak mengenalnya tak akan ada yang mengira dia adalah keturunan Tionghoa. Dia juga mempunyai nama Tionghoa yakni Goh Sin Ling.
Widi lahir dari perkawinan campur keturunan Tionghoa dan Bali. Ibundanya seorang Tionghoa dan Bapaknya asli Bali. Walaupun begitu, dia tetap menjalankan tradisi dari keluarga sang Ibu. Bahkan, ada beberapa keluarga dari ibunya juga masih ada di Tiongkok.
Widi sudah berumur 52 tahun, sejak kecil, keluarganya punya ikatan erat dengan klenteng Seng Hong Bio. Dia juga ingat cerita orangtuanya, bahwa pada saat kecil di umur 42 hari, dia juga diajak bersembahyang ke klenteng ini. Tujuannya tiada lain hanya memohon berkat dan nasib yang baik dalam perjalanan hidupnya serta diberikan Kesehatan nan panjang.
“Ini bentuk rasa syukur, juga memohon kerahayuan, kebaikan dan keberuntungan untuk hidup kita,” ujar Widi, beberapa hari lalu.
Dalam proses persembahyangan itu, Widi juga menghaturkan buah-buahan, air, serta terlihat Babi guling yang telah ditempatkan diatas altar. Dari persembahan itu menandakan Widi sangat menghormati dua budaya yang telah lekat dalam kehidupan keluarganya.
Widi juga melaksanakan prosesi Ciam Si bagi sang bayi yang dituntun seorang biokong Seng Hong Bio, yang bernama Tan Cun Hok. Ritual Ciam si dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui perjalanan hidup seseorang di masa yang akan datang berdasarkan syair kuno dari Tiongkok.
Sama, Tan Cun Hok juga begitu. Dia lahir dari pernikahan campur antara dari garis keturunan Tionghoa dan Bali. Dia tinggal di belakang klenteng Seng Hong Bio, di Kelurahan Kampung Baru. Selama 15 tahun dia telah menjadi Biokong disitu.
Menurut Tan, tradisi persembahyangan 42 hari bagi seorang bayi bukanlah sebuah kewajiban. Seorang keluarga juga bisa melaksanakan persembahyangan pada saat sang bayi umur 1 tahun. “Jadi tidak ada kewajiban, karena ini sebuah bentuk rasa syukur saja, doa. Jikapun persembahyangan hanya dengan doa saja juga tidak apa tergantung niat dan hati yang bersih saja,” tutur Tan.
Tan menyebut Hyang Maha Kuasa tidak memaksakan umatnya untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan secara tulus dan iklas. Begitupun penguasa atau para dewa dan dewi di klenteng Seng Hong Bio. Di klenteng ini, siapapun diperkenankan melakukan persembahyangan, tak ada batasan selama mereka meyakini.
Klenteng Seng Hong Bio teletak di depan Pantai Kampung Baru. Kampung ini adalah sebuah kelurahan, yang baru-baru ini mendapatkan penghargaan sebagai Kampung Pancasila dari Markas Besar TNI Angkatan Darat RI. Kehidupan warga di kelurahan Kampung Baru memang beragam latar namun mereka tetap hidup rukun.
Dari depan, Klenteng Seng Hong Bio ini dominan dengan warna merah. Ornamen Naga yang melilit di tiang bangunan seakan mempertegas kewibawaan klenteng ini. Sejumlah lampion terpasang menyambut indah para umat yang memasuki klenteng ini.
Tampak, sejumlah warga juga melakukan foto di depan klenteng yang menghadap ke wilayah kekuasaan sang Baruna ini. Berada didalam klenteng ini terasa damai. Gemericik suara ombak,dan desiran angin dari arah laut terasa memberi kedamaian. Klenteng ini satu rumpun dengan klentengLing Gwan kiong, yang berlokasi di pelabuhan Buleleng.
Tan mengatakan di klenteng ini dipercaya bagi sebagian umat untuk memohon kebaikan terutama soal Kesehatan dan memohon peruntungan (nasib). Banyak umat darib erbagai daerah datang ke klenteng ini untuk memohon pengobatandan meneropong perjalanan hidup ke depan. “Dan banyak juga yang mengaku bisa sehat, lalu mereka kembali ke sini untuk rutin bersembahyang.” ujar Tan.
Di klenteng Seng Hong Bio, ada sejumlah dewa dan dewi yang dipuja. Dewa utama yang berstana di klenteng ini yakni Dewa Seng Hong Ya yakni Dewa Pengobatan. Selain itu ada juga Dewi Tjian Shiang Sheng Mo yang diyakini sebagai dewi penolong laut, Dewi Kwan im Po Sat yang dipercaya sebagai dewi welas asih, Dewa Kwe Seng Ong diyakini sebagai dewa rejeki atau dewa uang, Dewa Kwan Te Kin sebagai dewa keadilan.
Pada proses persembahyangan di klenteng ini, Umat terlebih dahulu melakukan persembahyangan dihadapan Dewa Tien Kong atau dewa langit /bumi sebagai maha pencipta. Dilanjutkan melakukan persembayangan di depanpintu klenteng untuk memohon izin kepada Dewa Men Shen.
Tan mengaku sebelum diangkat menjadi biokong diklenteng ini, dia juga melakukan aktivitas bersih-bersih di klenteng. ”Saya tidak boleh menolak ketika diminta menjadi biokong, harus dilakukan dengan tulus dan iklas,” ujarnya.
“Jika ada yang bersembahyang untuk meohon Kesehatan, kami disini berikan airputih setelah sembahyang dan minyak” tambah dia.
Sebentar lagi Hari Raya Imlek, kata Tan, warga sudah mulai mempersiapkan perayaan. Dia berharap, tahun baru dengan shio Naga Kayu ini bisa memberikan kebaikan dan kebahagian bagi mahluk hidup. Naga Kayu disebut sebagai simbol perdamaian, sehingga masyarakat bisa memulai banyak hal yang baik di tahun ini. (*)