KULIAH LITERASI SEMASA MPLS

Penulis  Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Instruktur Literasi Nasional, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) adalah bagian yang paling menarik perhatian dari rutinitas tahunan dunia pendidikan. Cikal-bakal MPLS adalah kegiatan penerimaan murid baru di suatu satuan pendidikan. Tujuan kegiatan ini mengenalkan siswa baru kepada lingkungan yang baru.

- Advertisement -

Dulu, MPLS sering disebut dengan perpeloncoan. Masa ini adalah tahap yang paling ditakuti oleh siswa dan orang tua. Bahkan sejarah pendidikan di tanah air suatu kali mencatat korban yang jatuh gara-gara perpeloncoan tersebut. Sejalan dengan itu masa perpeloncoan diperhalus. Ini adalah waktu ketika kurang lebih satu minggu siswa baru tidak langsung belajar. Mereka dikenalkan dengan berbagai program sekolah, organisasi yang ada, dan tentu saja guru-guru.

MPLS

Di samping adanya perpeloncoan dalam masa MPLS di masa lalu juga pernah ada masa indoktrinasi ideologi negara pemerintah Orde Baru. Pada masa ini dikenal dengan Penataran P4 (Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila) dengan berbagai pola, tergantung pada berapa jam siswa baru mendapatkan penataran P4.

Tulisan ini bercerita tentang sebuah program MPLS di sekolah menengah kejuruan pariwisata Tri Atmajaya Singaraja di Bali Utara, yang dipimpin oleh Ibu Kepala Sekolah bernama Ni Luh Putu Ayu Reonningrat, SE.,MM. Sekolah ini memandang penting literasi bagi siswa baru. Karena itu MPLS dibuka dengan ”kuliah umum” literasi. Kepala sekolah menegaskan bahwa literasi harus dikenalkan sejak dini.

Sejarah literasi di sekolah telah dimulai kurang lebih hampir satu dasawarsa yang lalu dengan regulasi dan pelaksanaan yang pasang surut. Di tengah meredupnya gerakan literasi sekolah, setelah pandemi, justru pilihan strategis diambil oleh kepala sekolah SMK Pariwisata Triyatma Jaya. Tidak main-main siswa baru yang berjumlah kurang lebih 200 orang yang dipersiapkan nantinya menjadi tenaga terampil di sektor pariwisata, diberikan materi literasi. Karena para peserta MPLS di sekolah ini sudah mengenal literasi sejak SD dan SMP maka kata literasi misalnya adalah hal yang sangat populer di kalangan mereka.

- Advertisement -

Yang mereka pahami tentang literasi adalah membaca cerita. Hanya sebatas itulah memetik pemahaman yang mereka dapatkan dari gerakan literasi sekolah yang masif dengan hanya 15 menit membaca di halaman upacara. Karena itulah dalam kuliah umum atau semacam stadium jenderal di hari pertama MPLS, sekolah ini diberikan wawasan baru literasi. Siswa dikenalkan pada konsep literasi yang benar. Literasi bukan membaca saja.

Semua siswa hampir sepakat bahwa literasi sama dengan membaca. Literasi sejatinya bukanlah membaca tetapi literasi adalah pengetahuan. Dalam hidup manusia membutuhkan pengetahuan. Mereka yang ikut dalam MPLS ini adalah tamatan SMP yang menyiapkan diri memasuki dunia kerja pariwisata, mutlak membutuhkan pengetahuan sesuia dengan bidang profesi mereka. Tapi gerakan literasi di sekolah mereka dulu tidak pernah sampai kepada pemahaman bahwa dari membaca seseorang mendapatkan pengetahuan. Maka gerakan literasi sangat penting untuk menggugah para siswa agar mereka menyadari bahwa pengetahuan itu sangat penting bagi manusia. Karena pengetahuan itu sangat penting dalam sejarahnya yang panjang semuanya pada awalnya disimpan dalam ingatan manusia. Ingatan yang bekerja dengan segala keterbatasannya, baik keterbatasan kronologi maupun keterbatasan klinis; berada pada otak manusia.

Dalam perkembangan selanjutnya ada kesadaran dalam peradaban betapa ingatan harus dibantu oleh sesuatu yang visual atau grafis. Maka mulailah diciptakan simbol lalu disempurnakan menjadi aksara dan angka. Sejak itu secara perlahan manusia mulai menulis pengetahuannya sampai pada suatu masa hampir 500 tahun yang lalu lebih, mesin cetak ditemukan. Pengetahuan manusia dalam ingatan bermigrasi ke dalam media tulisan. Pengetahuan kemudian tidak lagi dilisankan atau tersimpan di dalam memori. Pengetahuan ditulis dalam berbagai media tulis, kemudian dalam pustaka atau buku yang lebih murah dan massal dengan ditemukannya teknologi percetakan. Berbagi pusat untuk menyimpan pustaka pengetahuan dibangun dan orang-orang Barat pergi ke tempat-tempat ini untuk mengakses pengetahuan dengan cara membaca. Kita mendefinisikan literasi adalah membaca; tentu ini berasal dari peradaban Barat di mana untuk mendapatkan pengetahuan manusia atau masyarakat harus membaca.

Jadi membaca adalah jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Jalan itu mengantarkan si pembaca pada bangunan gudang ilmu yaitu buku yang disimpan di rak-rak perpustakaan. Lantas gerakan literasi sekolah di Indonesia menggunakan membaca sebagai kegiatan inti literasi. Ini adalah sebuah kekeliruan GLS karena seolah gerakan ini hanya selesai pada membaca.

Setelah membaca masih ada jalan panjang menuju insan yang literat. Inilah yang belum kunjung dicapai di sekolah. Setelah 15 menit membaca buku, ditutup atau paling tidak pada kesempatan lain, siswa diminta menyampaikan ringkasan yang sangat singkat.

Dalam kuliah literasi MPLS SMK Pariwisata Triatma Jaya ditegaskan bahwa membaca hanyalah salah satu jalan menuju pengetahuan. Karena itu tujuan literasi bukan membaca. Tujuan literasi adalah untuk mendapatkan pengetahuan. Hal lain yang disadari pula di dalam kuliah umum ini; tidak hanya dengan membaca manusia mendapat pengetahuan. Setelah ditemukan teknologi menulis dan aksara serta mesin cetak yang kemudian melahirkan industri buku, di mana para pemilik modal kemudian membangun usaha yang melahirkan kapitalisme cetak (print capitalism);  cara-cara mendapatkan pengetahuan yang sudah dikenal jauh sebelum buku ditemukan atau aksara dibangun; tetap masih bisa digunakan atau dilakukan oleh manusia.

Karena itu, pengetahuan juga didapat dengan cara lain yang lebih purba yaitu secara lisan dan secara langsung atau melakukan tindakan. Tapi gerakan literasi di sekolah-sekolah terlanjur keliru karena mengatakan bahwa literasi itu sama dengan membaca. Dalam kuliah ini ditekankan bahwa literasi tidak sama dengan membaca. Jika tetap menganggap literasi berintikan kegiatan membaca maka yang dimaksud dengan membaca dalam hal ini adalah hanya salah satu dari tiga jalan menuju pengetahuan.

Dalam kuliah ini ditegaskan sekali lagi dan berkali-kali bahwa literasi adalah hubungan manusia dengan pengetahuan. Pengetahuan itu apapun, terutama hal ihwal informasi yang bermanfaat bagi hidup manusia. Literasi kemudian berbicara pada berbagai upaya manusia untuk sampai kepada pengetahuan; dan setelah manusia memiliki pengetahuan maka tahap selanjutnya adalah bagaimana pengetahuan ini bermanfaat bagi kesejahteraan hidup manusia itu sendiri.

Literasi sejatinya menganut konsep filsafat ilmu terutama yang menekankan kepada aksiologi. Aksiologi adalah apa manfaat ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Ilmu atau pengetahuan yang bermanfaat saja yang bisa dikembangkan. Penekanan ini menjadi penting bagi peserta MPLS karena dengan keyakinan bahwa manusia membutuhkan pengetahuan; maka siswa kelas I SMK Pariwisata Triatma Jaya akan melakukan gerakan literasi untuk dirinya sendiri. Mereka juga menyadari bahwa dengan bersekolah, sejatinya sedang menuju pengetahuan. Pengetahuan di sekolah ini didapat tidak hanya melalui membaca tetapi melalui praktik dan juga melalui komunikasi.

kesempatan ini muncul satu cara belajar dengan pendekatan literasi. Belajar dengan pendekatan literasi adalah belajar secara mandiri untuk selalu sadar agar menuliskan pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan atau masa depan siswa. Dengan pendekatan literasi, setiap siswa diharapkan membangun pengetahuan untuk menyongsong masa depan. Inilah literasi!

Setelah mendapatkan pengetahuan maka literasi menuju kepada tahap berikutnya yaitu kecakapan hidup. Secara aksiologis, pengetahuan bermanfaat bagi kehidupan dan ketika seseorang bisa memanfaatkan pengetahuan bagi kehidupannya mereka telah sampai kepada insan yang cakap hidup karena dari pengetahuan yang dimiliki, memetik buahnya atau manfaatnya.

Literasi Dengan pemahaman baru yang disampaikan di dalam MPLS ini, mengubah paradigma atau pandangan murid mengenai literasi. Literasi sekali lagi bukan persoalan buku dan membaca. Literasi adalah persoalan hubungan manusia dengan pengetahuan. Dari sini kemudian muncul revisi terhadap kekeliruan definisi literasi.

Siswa baru dikenalkan dengan pandangan baru literasi, yaitu pengetahuan didapat dengan berbagai cara. Definisi baru literasi yakni hubungan manusia dan pengetahuan karena kebermanfaatan pengetahuan itu bagi kehidupan, lebih-lebih saat ini di tengah era digital.

Di era digital pengetahuan tidak lagi ditulis semata tetapi ada berbagai bentuk pengetahuan. Seorang siswa mengatakan, dari sebuah film dia bisa mendapatkan pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa membaca bukan satu-satunya jalan memasuki pengetahuan.Tersedia berbagai pilihan ke jalan pengetahuan. Dalam literasi konvensional di sekolah, siswa dibelenggu oleh suatu definisi bahwa literasi adalah membaca buku. Di tengah era digital definisi itu tidak relevan lagi. Dunia digital menawarkan berbagai moda dalam produksi dan konsumsi pengetahuan. Dunia berada pada literasi digital. Ini adalah tahap ketiga dari revolusi besar literasi manusia yaitu literasi lisan, literasi tulisan atau literasi cetak, dan saat ini literasi digital.

Literasi digital adalah literasi di dunia digital. Pada era literasi digital dibutuhkan kriteria-kriteria pengetahuan yang bermanfaat. Gerakan literasi sekolah bukan lagi mempersoalkan keberadaan buku, pojok baca, perpustakaan, pembelian buku kertas, tetapi harus memikirkan berbagai multimoda literasi sekolah.

Dalam era digital ini buku memang semakin ditinggalkan namun demikian berbagai aktivitas di dunia digital yang berupa membaca, masih dibutuhkan. Literasi di dunia digital menunjukkan bahwa ada berbagai moda, seperti membaca adalah sesuatu yang klasik; masih dipertahankan. Ada mendengarkan atau menyimak. Ada perpaduan antara audio dan grafis. Pengetahuan juga disampaikan secara alegori dengan mempertimbangkan estetika komunikasi.

Sedemikian melimpahnya informasi. Manusia harus mampu memilih informasi mana yang dibutuhkan. Inilah peranan penting literasi sekolah. Siswa mendapatkan bimbingan dalam pembangunan pengetahuan yang relevan. Sekolah tidak perlu lagi menyiapkan pengetahuan dan kontainer konvensionalnya, misalnya berupa berbagai koleksi perpustakaan karena semuanya sudah terkoneksi secara tidak terbatas.

Akses pengetahuan sangat terbuka. Siswa masih membutuhkan berbagai kriteria pengetahuan yang relevan. Literasi di sekolah harus memberikan siswa pemahaman kritis terhadap pengetahuan. Tidak semua pengetahuan secara langsung bermanfaat bagi manusia. Di sini memang dibutuhkan tindakan kritis dalam menyaring pengetahuan. Maka dalam era digital ini bukan lagi persoalan dikotomi antara literasi cetak dan literasi digital, antara buku cetak dan gawai tetapi sudah mengarah kepada literasi kritis. Literasi kritis adalah adanya pertimbangan-pertimbangan analitis dalam mengkonsumsi pengetahuan. Kriteria kritis inilah yang harus dimiliki siswa untuk menyaring dan memilih informasi yang dibutuhkan. Pengetahuan-pengetahuan yang relevan inilah yang akan membantu siswa cakap hidup di tengah-tengah masyarakat. (*)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts