Petualangan di Gunung Batukaru: Melawan Dingin, Menemukan Jati Diri

Singaraja, koranbuleleng.com | Seharian ini, saya mencoba menelusuri kabar duka tentang dua pendaki perempuan yang meninggal di Puncak Carstenz, Lilie Wijayanti Poegiono dan Elsa Laksono. Kematian mereka menorehkan rasa kehilangan yang mendalam. Dua sahabat sejak SMP itu pergi dalam pelukan alam yang mereka cintai, di usia yang hampir menyentuh 60 tahun.

Membaca kisah mereka, pikiranku melayang pada perjalanan yang kulalui beberapa bulan silam. Tepatnya 2 November 2024, ketika saya bersama beberapa sahabat mendaki Gunung Batukaru di Tabanan. Perjalanan ini bukan sekadar pendakian biasa, melainkan perjalanan batin yang penuh ujian.

- Advertisement -

Kala itu kami ke puncak bersama lima orang ditemani seorang pemandu lokal dari desa setempat. Saya, Danu Tirta, Francelino Xavier Ximenes Junior alias Junior, dan Gusti Ngurah Suradnya yang juga Camat Sukasada beserta salah satu staffnya.

Di bawah pohon besar, jalur pendakian via Pura Taksu agung salah satu jalur yang jarang di jamah pendaki. Pendaki lebih banyak memilih jalur Pupuan.

Kami memulai perjalanan dari Pura Taksu Agung, sebuah tempat yang dipercaya sebagai pusat taksu Gunung Batukaru. Pura itu terasa begitu sakral. Pohon beringin tua berdiri megah dengan akar-akar yang seolah menopang semesta. Di sini, kami bersembahyang memohon restu sebelum melangkah, sekitar pukul 10.00 WITA. Rasa khusyuk menyelimuti hati, seolah-olah semesta mendengarkan doa kami.

Saat kaki mulai menapaki jalur pendakian pada pukul 10.30 WITA, semangat masih menyala. Dalam perjalanan kami masih mengobrol dan tertawa lebar. Beberapa kali ambil foto dengan ragam gaya.

Awal pendakian, masih bisa foto dengan kaca mata gaya

Namun, hujan deras mulai turun di ketinggian 900 mdpl, dekat Pura Beji, sekitar pukul 14.00 WITA. Lelah mulai menyergap. Dua sahabat muda, Danu Tirta dan Junior, tampak kepayahan. Beberapa kali, Danu terjatuh. Hujan menggerus kekuatan kami perlahan-lahan.

Ketinggian 900 mdpl sebelum hujan. Wajah sudah mulai tampak kelehahan.
Menghibur diri dengan makan biskuit untuk mengembalikan energi
- Advertisement -

Perjalanan semakin berat ketika malam mulai menyelimuti hutan sekitar pukul 18.30 WITA. Gelap, dingin, dan suara-suara hutan menciptakan suasana yang menyeramkan. Hanya ada dua senter yang kami bawa. Jalur yang sempit diapit jurang kanan dan kiri menuntut kami berjalan hati-hati, saling berpegangan.

Junior, yang sejak awal menjadi pembuka jalan, akhirnya tumbang. Emosi dan kelelahan bercampur menjadi satu. “Ini sudah tidak logis!” serunya berkali-kali. Tubuhnya gemetar, tanda hipotermia mulai menyerang. Danu Tirta pun tak jauh berbeda, bahkan lebih parah hingga mengaku merasa tak bisa melihat apapun dan kepalanya pusing.

Di tengah situasi genting itu, Pak Camat yang bijak segera membakar parafin untuk menghangatkan tubuh. Dia juga menyeduh kopi bercampur gula merah, agar tenaga kembali pulih dan badan lebih hangat. 

Saya mengeluarkan minyak kayu putih, GPU, dan hot cream. Kami menggosokkan minyak ke tubuh mereka, sambil menyeduh kopi gula merah untuk memulihkan tenaga. Kami bertahan di kegelapan malam, melawan dingin yang menggigit hingga kedua sahabat muda itu kembali normal.

Kelelahan dan sempat terjatuh

Pukul 23.45 WITA, kami akhirnya mencapai Puncak Kedaton di ketinggian 2276 mdpl. Rasa lega bercampur haru memenuhi dada. Junior dan Danu yang sebelumnya hampir menyerah, kini tersenyum sumringah berfoto di depan plang puncak. Silahkan dihitung, berapa jam durasi pendakian kami.

Setelah tenda berdiri, saya dan Pak Camat melanjutkan persembahyangan di Pura Puncak Kedaton sekitar pukul 00.30 WITA. Pura ini hanya berupa tumpukan bebatuan tua yang diselimuti kain putih.

Aura sakral begitu kuat terasa, seolah-olah kami tengah berada di gerbang semesta. Kami menghaturkan canang dan doa-doa, memohon keselamatan di tengah kegelapan dan dinginnya malam.

Malam itu, saya mencoba tidur di dalam tenda. Namun dingin yang menusuk tulang membuatku tak bisa tidur terlentang, akhirnya hanya duduk bersila seperti pertapa. Nafas terasa sesak, oksigen begitu tipis. Malam itu, tidak bisa tidur. Sementara dua anak muda itu tampak sudah terlelap. saya bersyukur juga, mereka bisa tertidur.  

Pagi harinya, matahari muncul malu-malu di balik kabut. Langit merah menjadi pertanda cuaca buruk. Perjalanan turun pun kembali menjadi ujian. Hujan membuat jalur licin seperti sungai.

Sepatuku basah. Ya, Sepatu Gore-Tex yang saya pakai tak mampu menahan air hujan, masuk melalui selamata kaki. Ini membuat kaki terus kedinginan sepanjang perjalanan  Kaki saya kram bergantian, tapi terus melangkah. Hanya doa yang menjadi penguat. 

Perjalanan turun juga terasa membosankan, jalur seperti meliuk memutari punggung gunung. Terasa sangat panjang padahal suara motor sudah terdengar di tengah perjalanan. Kami kira sudah mendekati gerbang pendakian, ternyata masih harus melewati rapatnya pepohonan.

Pukul 14.30 WITA, kami tiba di bawah. Air dingin dari sumber mata air menjadi pelepas dahaga. Selama perjalanan mendaki dan turun dari puncak, kami tidak menemukan sumber mata air. Kami sempat kehabisan air, dan selama perjalanan itu mengambil buliran air dari ujung daun yang ditempelkan ke lidah.  

Lelah, luka, dan pacet yang menempel di tubuh menjadi bukti betapa perjalanan ini bukan sekadar pendakian fisik, melainkan perjalanan batin melawan batas diri.

Kini, mendengar kabar dua perempuan tangguh yang berpulang di puncak gunung, saya merenung. Alam selalu menantang, tetapi juga mendidik. Ia mengajarkan kerendahan hati, kebersamaan, dan ikhlas menerima keterbatasan manusia. Setiap langkah di gunung adalah perjalanan menuju jati diri. (*)

Pewarta / Penulis : I Putu Nova Anita Putra

Catatan : Redaksi menerima tulisan dari masyarakat umum tentang cerita perjalanan yang bisa memberikan inspirasi dan pengalaman serta edukasi bagi orang lain.

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts