Singaraja, koranbuleleng.com| Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja didaulat sebagai Duta Buleleng dalam Peed Aya atau Pawai Pembukaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47, yang akan digelar pada 21 Juni 2025 mendatang. Tahun ini, STAHN Mpu Kuturan tampil dengan menampilkan sisi Pluralisme dan Pelestarian Tradisi Bali Utara.
Pawai atau Peed Aya PKB bukan sekadar parade seni, tetapi etalase budaya yang mencerminkan kekayaan lokal dari tiap kabupaten dan kota di Bali. STAHN Mpu Kuturan membingkai partisipasi dalam kegiatan tersebut, salah satunya dengan mengangkat pluralisme yang ada di kabupaten Buleleng. Ide dari bersumber dari keberadaan Pura Gambung Anglayang, yang juga dikenal dengan nama Pura Pancasila di Desa Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, sebagai simbol keharmonisan antarumat beragama di Buleleng.
Tidak hanya mengusung pluralism, STAHN Mpu Kuturan Singaraja juga akan membawa misi pelestarian warisan seni, tradisi dan budaya Bali Utara. Pada barisan pertama dalam iring-iringan, akan diawali oleh Jegeg Bagus Buleleng, mengenakan busana adat Payas Agung khas Buleleng yang mewah dan bermakna. Busana ini dipadukan dengan kain songket dan tenun endek sutra Mastuli, serta pusung songgeng sebuah tatanan rambut tradisional khas Buleleng. Di belakang mereka, barisan Uparengga tampil gagah membawa atribut sakral seperti kober Singa Ambara Radja, Swastika, serta payung dan lelontek, simbol kekuatan spiritual dan perlindungan.
Keunikan lainnya Nampak pada barisan ketiga, saat STAHN Mpu Kuturan menghadirkan ragam kesenian dari berbagai komunitas budaya di Buleleng. Ada Janger Menyali yang bernuansa klasik, Burdah Desa Pegayaman yang Islami, Barong Sai dari Klenteng Ling Gwan Kiong yang mewakili etnis Tionghoa, hingga Boneka Gendong Desa Les yang menjadi simbol ekspresi masyarakat pesisir. Semua ini memperkuat narasi pluralisme yang menyatu secara harmonis di Buleleng.
Pada barisan berikutnya, STAHN Mpu Kuturan mempersembahkan Tari Kreasi “Bungan Deeng” yang menggambarkan ritual penghormatan terakhir dalam upacara Ngaben Utama. Tarian ini sarat makna, karena bungan deeng adalah simbol kasih sayang keluarga terhadap leluhur mereka.
Barisan berikutnya adalah representasi Bandung Rangki, rumah adat khas Desa Pedawa, Kecamatan Banjar. Barisan ini diiringi tabuh dan menggambarkan kehidupan warga Pedawa saat memanen nira dari pohon aren (nuwakin), lalu mengolahnya menjadi gula aren khas Pedawa.
Sebagai barisan pamungkas dalam Bala Garnita STAH Negeri Mpu Kuturan, ditampilkan barisan Adi Mredangga. Adi Mredangga digunakan untuk mengiringi karya ini dengan mengedepankan karakter Baleganjur Bali utara.
Koordinator tim Kesenian STAH Negeri Mpu Kuturan Sngaraja, I Putu Ardiyasa mengatakan, visi yang mereka usung dalam peed aye adalah keinginan STAHN Mpu Kuturan untuk ikut serta melakukan upaya pelestarian, dengan melakukan berbagai upaya.
“Kita melakukan apa yang menjadi instruksi pimpinan agar STAHN Mpu Kuturan menjadi pusat kajian Bali Utara. Bagian upaya kami untuk kelak nanti kita bekerjasama dengan berbagai stake holders, bergerak untuk bersama-sama bisa mempertahankan hal ini. Kami penting untuk memberikan penguatan narasi untuk melakukan kajian, reaktualisasi dalam bentuk yang lain salah satunya kesenian. Melalui visi kampus kami, tentu berperan aktif dalam konteks pemajuan kebudayaan,” jelasnya.
Ardiyasa mengingatkan, perlindungan terhadap kesenian dan objek pemajuan kebudayaan tidak akan pernah cukup, tanpa ada upaya pengembangan terhadap kesenian. Maka menurutnya, perlu dilakukan gerakan perlindungan pengembangan pembinaan dan pemanfaatan secara kolektif.
“Maka saya ingin mengajak sekali lagi ayo kita bersama-sama untuk melakukan gerakan perlindungan, pengembangan, pembinaan, dan pemanfaatan secara kolektif baik dari Dinas, perangkat desa, sanggar dan juga kampus,” pungkasnya. (*)
KONTRIBUTOR : Putu Rika Mahardika
