BULELENG – Di Balai Banjar Banyuning Timur, denting gamelan bergema merdu di sela-sela semangat para penabuh muda. Di tengah mereka, sosok Kadek Widiasa (44) berdiri teguh. Bukan tubuh yang sempurna yang membuatnya disegani, melainkan tekad yang melampaui keterbatasan. Lahir dengan kondisi disabilitas akibat polio sejak balita, Kadek kini menjadi salah satu maestro Gong Kebyar yang disegani di Buleleng.
Kadek tumbuh dalam keluarga sederhana di Banyuning Timur. Saat balita, tubuhnya digerogoti polio yang membuat kaki kanannya lumpuh. Geraknya terbatas, tapi semangat hidupnya tak pernah padam. Musik menjadi ruang pelarian sekaligus pijakan hidupnya. Yang mengejutkan, Kadek bukan langsung jatuh cinta pada gamelan—melainkan musik rock. Ia bergelut di jalur underground, membentuk band, menciptakan lagu keras dengan suara serak khas metal, dan tampil memukau sebagai gitaris.

“Maman dulu sering berkumpul dengan teman yang biasanya membuat lagu itu hanya satu hari, karena lagu itu seperti dead metal yang hanya menggunakan suara serak,” kenangnya.
Panggung-panggung kecil, festival sekolah, dan lomba antar pelajar menjadi ruang tampilnya. Sound system seadanya tidak pernah menyurutkan semangatnya. Namun hidup punya cara sendiri mengarahkan langkah. Tahun 2000, ketika semangat band-nya masih berkobar, seorang teman mengajaknya ikut latihan megambel di Padepokan Seni Dwi Mekar. Di sana, Kadek menyaksikan bagaimana gamelan ditabuh dengan rasa, bagaimana irama dan emosi dibangun dalam komposisi yang sakral.
“Lantunan dalam band dan gamelan itu punya kesamaan. Mereka sama-sama bicara soal ritme, emosi, dan kerja sama. Cuma beda alatnya saja,” ungkapnya.
Dari hanya mengamati, Kadek mulai mempelajari tabuhan gamelan. Ia menyerap teknik, mendalami struktur gending, dan perlahan menjelma menjadi pengajar yang disegani. Namun Kadek tidak langsung mengejar panggung atau nama besar. Ia memulainya dari banjar sendiri, mengajak anak-anak muda untuk belajar Gong Kebyar. Banyak yang ragu, tak percaya diri, bahkan tak paham gamelan. Tapi Kadek membimbing mereka dengan sabar.

Kini, nama Kadek Widiasa dikenal luas sebagai pelatih gamelan andal. Bukan karena iba pada fisiknya, tapi karena kemampuannya yang nyata. Ia pernah melatih sekaa di Baturiti, Polres Bangli, Polresta Denpasar, hingga sekolah-sekolah di Buleleng seperti SD Dana Punia, SMPN 3 dan 5 Singaraja, SMKN 2 Singaraja, serta Desa Adat Alas Sari Jinangdalem. Ia bahkan dipercaya membina ibu-ibu dan anak-anak di Pedawa, dan menjadi pembina tetap di Tangguwisia bersama Sanggar Manik Galih.
Penghasilannya dari mengajar cukup untuk menghidupi keluarganya. Meski tidak mewah, tapi semua itu hasil kerja keras dan dedikasi yang tulus. Kadek membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk berkarya dan berbagi.
Puncak prestasinya tampak dalam tujuh kali penampilannya di panggung prestisius Pesta Kesenian Bali (PKB), mewakili Kabupaten Buleleng. Tidak semua penabuh bisa mendapat kehormatan ini. Teknik tabuhannya yang presisi dan musikalitasnya yang tinggi membuatnya menjadi sosok sentral dalam berbagai tim Gong Kebyar PKB. Lebih jauh, Kadek juga pernah terlibat dalam pertukaran budaya ke Jerman, Jepang, dan Korea.
Dalam setiap denting gamelan yang ia ajarkan, Kadek Widiasa menyisipkan harapan, semangat, dan ketekunan. Dari Banyuning Timur, kisahnya mengalun jauh. Sebuah kisah tentang keberanian mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. (*)
Kontributor : I Made Mestha Budi Praduinata
Catatan : Berita ini ditayangkan untuk melengkapi tugas mata kuliah di IAHN Negeri Mpu Kuturan, Singaraja. Tulisan ini telah melalui seleksi dan tahapan editing agar sesuai dengan kaidah jurnalistik. Kami terbuka menerima tulisan hasil reportase dari mahasiswa dan harus mengikuti ketentuan/kebijakan redaksi kami.