Rindu di Rantau: Perjuangan I Komang IB Demi Gelar Sarjana

  • Mahasiswa asal Kolaka, Sulawesi Tenggara, menempuh jalan berliku di tanah perantauan demi cita-cita menjadi guru agama Hindu.

Singaraja,koranbuleleng.com | Pukul delapan pagi, suasana Kampus IAHN Mpu Kuturan Singaraja mulai ramai. Mahasiswa berlalu-lalang, sebagian menuju ruang dosen untuk bimbingan tugas akhir, sebagian lain tenggelam dalam layar laptop sambil menyesap kopi dari kantin kecil di sudut gedung. Di bawah rindangnya pohon ketapang, seorang pemuda berkacamata tampak duduk sendirian. Namanya I Komang Indra Brata, mahasiswa tingkat akhir Program Studi Pendidikan Agama Hindu.

Ia fokus menatap dokumen skripsi yang penuh revisi, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan akademik. Ada rindu yang diam-diam mengendap. Rindu akan kampung halaman di Kolaka, Sulawesi Tenggara akan pelukan ibu dan tawa ibunya di sore hari.

- Advertisement -

“Sudah lebih dari dua tahun saya tidak pulang. Dulu karena pandemi, sekarang karena skripsi dan biaya. Rasanya ingin sekali bertemu keluarga, tapi saya harus kuat,” ujar Komang dengan suara parau.

Jalan Panjang Seorang Perantau

Komang merantau ke Bali pada 2021, setelah diterima sebagai mahasiswa di IAHN Mpu Kuturan salah satu perguruan tinggi keagamaan Hindu yang tengah berkembang di Pulau Dewata. Keputusan untuk menempuh pendidikan jauh dari rumah bukan tanpa risiko. Berasal dari keluarga petani sederhana, perjalanan ini merupakan taruhan besar bagi masa depannya.

“Orang Tua yang paling pertama adalah Ibu saya yang terpaksa harus menjadi kepala rumah tangga , mencari nafkah sendiri disebabkan karena ayah saya sudah meninggal dunia dari saya masih Sekolah Dasar. Saya tidak bisa seenaknya bolak-balik naik pesawat karena memang biaya mahal dan uang yang hanya cukup untuk makan saja. Tapi ibu saya rela menjual hasil kebun agar saya bisa kuliah,” kenangnya, sesekali menyeka mata.

- Advertisement -

Sejak awal, ia sadar harus hidup hemat. tinggal di kos sederhana, mengandalkan kiriman seadanya, dan sesekali bekerja paruh waktu membantu acara keagamaan di sekitar kampus., bekerja di foto kopi,jualan online yang menjual tas dan beragam pakaian di Marketplace fecebook, serta bekerja di rumah makan yang di mulai dari jam 12 malam hingga jam 4 pagi. Semua itu dijalani demi satu tujuan yaitu menjadi guru agama Hindu dan kembali mengabdi di tanah kelahirannya.

Memasuki semester delapan, hidup Komang dipenuhi oleh rutinitas berat seperti bimbingan skripsi, pengumpulan data lapangan, revisi berulang, hingga tenggat waktu yang terus menekan. Ia menargetkan lulus tepat waktu, meski harus mengorbankan banyak hal terutama waktu istirahat.

“Kadang saya tidur cuma tiga jam sehari. Kalau capek, saya rebahan sebentar di lantai kamar, lalu lanjut ngetik lagi,” ujarnya sambil tersenyum pahit.

Namun yang paling berat bukan tekanan akademik katanya, melainkan tekanan emosional yaitu kerinduan yang tak kunjung terobati. Ketika teman-teman pulang saat libur semester atau Hari Raya Galungan, Komang hanya bisa menelepon keluarganya dari kamar kos.

“Waktu video call, ibu saya menangis. Tapi saya bilang: sabar, nanti kalau saya lulus dan dapat kerja, kita bisa kumpul lagi,” katanya lirih.

Kisah Komang hanyalah satu dari ribuan cerita mahasiswa rantau di Indonesia. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Keagamaan Hindu, sekitar 40% mahasiswa IAHN Mpu Kuturan berasal dari luar Bali. Mereka menghadapi tantangan budaya, ekonomi, dan psikologis.

Angga Richa teman satu angkatan Komang, menyebutnya sebagai sosok inspiratif di kalangan mahasiswa.

“Dia nggak pernah ngeluh. Justru sering bantu kami cari referensi atau diskusi skripsi. Padahal kami tahu dia juga sedang berat,” ungkap Angga.

Bagi Komang, skripsi bukan hanya syarat kelulusan. Di dalamnya tertuang cerita tentang tekad, pengorbanan, kesabaran dan nilai-nilai Hindu yang ia pegang teguh: tapasya (keteguhan), swadharma (tanggung jawab), dan bhakti (pengabdian). Ia ingin kembali ke Kolaka, mengabdi di sekolah, dan menjadi cahaya bagi generasi muda di kampung halamannya.

“Saya ingin pulang bukan hanya dengan gelar, tapi dengan ilmu yang bisa saya bagikan. Saya ingin orang tua saya bangga. Itu cukup buat saya bahagia,” ujarnya menutup percakapan

Akhir yang Menyala Harapan

Di tengah gegap gempita kelulusan yang sebentar lagi menghiasi kampus, kisah I Komang Indra Brata menjadi pengingat bahwa di balik toga yang dikenakan, ada perjalanan panjang yang tak semua orang tahu. Di balik senyum bangga, ada air mata yang tertahan. Di balik pencapaian akademik, ada kerinduan yang dikorbankan.

Tulisan ini bukan hanya tentang perjuangan seorang mahasiswa, tapi juga panggilan untuk membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif dan empatik, terutama bagi mereka yang datang dari jauh dan berjuang dalam keterbatasan. Sebab pendidikan bukan hanya soal angka dan nilai, tapi tentang manusia dan harapan yang mereka bawa.(*)

Kontributor : Kadek Wiwin Feranti

Catatan : Berita ini ditayangkan untuk melengkapi tugas mata kuliah di IAHN Negeri Mpu Kuturan, Singaraja. Tulisan ini telah melalui seleksi dan tahapan editing agar sesuai dengan kaidah jurnalistik. Kami terbuka menerima tulisan hasil reportase dari mahasiswa dan harus mengikuti ketentuan/kebijakan redaksi kami.

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts