Singaraja, koranbuleleng.com | Warga Desa Pedawa, Kecamatan Banjar kembali menggelar tradisi menanam padi gaga, atau tradisi ngaga di Dusun Insakan desa setempat, Kamis 19 Desember 2019. Tradisi ini sempat berhenti selama 47 tahun di tahun 1971. Dan memasuki musim penghujan di tahun ini, warga kembali menjalankan tradisi ngaga itu untuk kedua kalinya sejak tahun lalu.
Prosesi penanaman padi gaga ini sudah dimulai pagi hari. Penanaman gaga kali ini juga untuk persiapan logistik pujawali di Pura Pucak Sari. Mereka yang ikut menjalankan tradisi Ngaga ini adalah pengempon Pura Pucak Sari. Mereka menanam dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti tumbak serta bibit padi gaga. Padi gaga ini ditanam di areal tegalan seluas kurang lebih 8 are.
Benih pada gaga ini dicampur terlebih dahulu dengan beberapa jenis biji-bijian, seperti jagung, kacang kedelai hitam, jagung kedu, serta obat pemali. Obat pemali ini terdiri dari kunyit, daun endong dan daun dapdap. Dipercayai, obat pemali ini sebagai sarana untuk mengantisipasi serangan hama saat padi tumbuh.
Saat menanam, warga berbagi tugas. Ada yang bertugas menajuk tanah, lalu ada yang melanjutkan menaburi lubang dengan benih padi dan kacang-kacangan. Keunikannya, selama prosesi menanam, warga juga berteriak dengan teriakan “wuuu..wuuu..” teriakan ini mempunyai makna agar tanaman selama pertumbuhannya tidak tuli sehingga bisa tumbuh dan tidak diserang hama.
Penglingsir Pengempon Pura Puncak Sari, Wayan Dasar, menjelaskan tradisi ngaga sudah dilakukan oleh leluhur warga desa untuk memenuhi kebutuhan pujawali di Pura Puncak Sari yang jatuh setiap Sasih Kaulu, juga untuk kebutuhan dalammenjalankan tradisi adat yang lain.
Saat pujawali, nasi gaga diselingi dengan lauk dan sayur-sayuran. Haturan ini dipersembahkan kepada Ida Bhatara Sri Rambut Sedana yang bersthana di Pura Puncak Sari. Selanjutnya, nasi persembahan itu akan dimakan bersama oleh para penyungsung pura, sebagai simbol nunas bayuh agar diberi kesejahteraan dan kemakmuran.
“Nah, karena penting digunakan sebagai sarana saat pujawali, maka padi gaga ini harus kami tanam untuk memenuhi kebutuhan saat pujawali. Bukan hanya untuk dewa yadnya, tetapi upacara manusa yadnya dan pitra yadnya juga wajib menggunakan sarana bija ratus atau padi gaga ini,” ujar Wayan Dasar.
Kini tradisi menanam padi gaga dilanjutkan, agar kebutuhan padi gaga untuk upacara tidak dicari diluar desa. Mencari atau membeli pada gaga bukan perkara mudah, karena saat ini aga memang sangat langka.
Selesai ngaga, seluruh warga makan bersama. Makan bersama ini sebagai tradisi nunas pebayuh. Makanan yang disanta warga dengan menu khas lokal, seperti urab sayur pakis, ikan teri, kacang-kacangan. Makanan yang disantap bersama itu tidak menggunakan daging babi, karena itu sebuah pantangan dalam tradisi ini.
“Krama yang hadir wajib nunas pebayuh. Ibaratnya nunas merta agar selalu diberikan tenaga dalam bekerja. Disinilah nilai-nilai kebersamaan dan persatuan krama kami dirajut,” ujar Wayan Dasar.
Setelah itu, warga memohon kepada Dewi Sri agar senantiasa merawat benih padi gaga dan biji-bijian yang ditanam bisa dipanen dalam jangka waktu enambulan setelahnya. |NP|