Dharmasraya, koranbuleleng.comn | Dewa Budjana, salah satu gitaris terbaik Indonesia, bersama Penyanyi Senior Trie Utami dan Komposer Senior Purwa Tjaraka akan tampil di Candi Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya, Senin 6 Januari 2020 malam.
Para musisi senior itu bersama 12 musisi lainnya yang tergabung dalam “Sound of Borobudur” akan menampilkan komposisi musik dari alat musik masa lalu. Mereka tampil dalam acara puncak Festival Pamalayu yang telah digelar Pemkab Dharmasraya bersama Langgam Production sejak Agustus 2019.
Saat menggelar jumpa pers di Dharmasraya, pada Sabtu 4 Januari 2020, Trie Utami mengatakan, “Sound of Borobudur” mencoba menghidupkan kembali artefak dan alat alat musik yang terpahat di relief panel Candi Borobudur.
Sebagaimana Ekspedisi Pamalayu yang merupakan ekspedisi persahabatan, menurutnya, “Sound of Borobudur” datang ke Dharmasraya, untuk melakukan ikatan-ikatan kebudayaan. “Kita beririsan secara peradaban. Karena memang kita bersaudara. Kita merupakan suatu tatanan besar.” Katanya.
Apa yang ingin ditampilkan, menurutnya, adalah adalah bunyian peradaban. Alat musik masa lalu banyak sekali terpahat di relief Candi Borobudur. Alat musik dengan dawai mendominiasi. “Saya dibantu sepenuhnya dari awal sejak tahun 2016 oleh sahabat saya Dewa Budjana. Karena saya bukan pemain gitar, saya bukan pemain dawai.”
Trie Utami menilai, satu-satunya orang yang dianggapnya pantas untuk membawa dawai itu “ke depan” adalah Dewa Budjana. “Karena beliau gitaris yang bekerja sama dengan banyak sekali musisi kelas dunia, gitaris-gitaris kelas dunia. Tapi, beliau tidak pernah lupa untuk melakukan perilaku budayanya sebagai orang Bali, orang Nusantara,” ujarnya.
Dewa Budjana mengatakan, ia hanya melanjutkan apa yang sudah dirintis Trie Utami. “Saya hanya melanjutkan. Tapi memang saya punya kesenangan dengan sejarah, jadi melanjutkan sendiri-sendiri. Akhitnya kita ketemu lagi.”
Menurutnya, gambar alat musik yang ada di relief candi coba diinterpretasikan. “Karena memang tidak pernah tahu. Ada juga yang tidak kelihatan senarnya, misalnya. Tapi kami coba. Ada yang kelihatan tiga dawainya. Atau mungkin kita coba-coba sendiri. Ada yang ukurannya besar kami anggap bass. Ada yang lebih kecil,” kata gitaris grup band Gigi itu.
Menurutnya, alat musik yang ada di relief Candi Borobudur sudah tersebar hampir di seluruh dunia. “Jadi memang semuanya tersimpan di sana. Alat musik itu, cerita alat musik masa lampau yang akhirnya berkembang sampai seperti sekarang. Seperti alat musik sape di Kalimantan, bentuknya sama persis dengan yang ada di Borobudur.”
Begitu juga dengan gambus. “Mungkin orang lebih kenal di Mesir. Juga sudah ada di sana. Juga alat-alat tiup yang bentuknya macam-macam, jumlahnya ratusan mungkin,” ujar Budjana.
Selain itu, juga alat musik pukul. “Tentunya alat pukul lebih awal di peradaban musik. Basic sekali.”
Di seluruh dunia, menurutnya, juga ada musik ada tanpa senar tanpa alat pukul. “Seperti di Bali ada Kecak, cuma dengan mulut. Di Aceh, Saman. Jadi Negara kita itu sangat kaya sekali dengan musik,” tuturnya.
Setelah diteruskan, menurutnya, jadi beberapa komposisi. “Ketemu Mas Purwa yang akhirnya bisa mengumpulkan ‘Sound of Borobudur’ ini jadi dari berdua, bertiga, berempat akhirnya sampai delapan orang.”
Penampilan di Dharmasraya, menurut Budjana adalah konser perdana dari album yang belum beredar. “Kami berterima kasih, akhirnya kami bisa berkumpul, tampil pertama kali tanggal 6 malam ini. Jadi ini penampilan perdana dari album yang belum beredar, sebenarnya,” katanya.
Selain Trie Utami dan Dewa Budjana, sejumlah musisi senior juga bergabung di Sound of Borobudur. Seperti Bintang Indrianto, Herwan Wiradireja, Mochamad Saatsyah, Jalu Gatot Pratidina, Victor Parulian, Dunung Basuki, Fariz Alawan, Taufan Irianto, Aktivano Cristian, Chaka Priambudi, Agusto Andreas dan Eko Suprianto.
Komposer senior Purwa Tjaraka menjadi eksekutif produser band besar ini. Purwa dalam wawancara seusai konferensi pers mengatakan, butuh waktu tiga tahun untuk menginterprestasikan gambar alat musik yang ada di relief menjadi alat musik yang sudah bisa dimainkan.
Menurutnya, saat ini sekitar 80 alat musik yang sudah ada punya dengan seluruh item bisa 180. “Kita ingin menunjukkan interprestasi dari temuan kita di relief Candi Borobudur,” katanya.
Interprestasi tersebut, menurutnya, berdasar riset. “Interprestasi dari yang tergambar tanpa referensi bunyi apapun. Sehingga kita boleh berdebat soal (bunyi) ini,” katanya.
Pembatas riset yang dilakukan tergantung kepada gambar di relief. “Yang tergambar itu hanya dawai, tiup, pukul, perkusi, gesek cuma satu. Jadi kita bikin komposisi, yang bisa didengarkan orang dengan baik, bisa dipertunjukan dilihat orang dan menarik. Sementara itu yang bisa dilakukan,” ujarnya.
Menurut Purwa, pada tahapnya nanti, bisa saja alat musik yang ditemukan di relief tersebut dibuat
“Bisa saja kita lakukan itu nanti. Tapi untuk awal kita ingin memperlihatkan ini lho interprestasi awalnya. Konsep kita singkat dan padat, sederhana. Kita ingin memperkenalkan kepada banyak orang, ini peradaban abad ke-7 yang digambarkan di relief itu yang coba kita bunyikan,” tuturnya.
Menurutnya, band akan membawakan sejumlah lagu daerah maupun Indonesia.”Kita ingin menunjukan bahwa alat musik ini bisa dimainkan dengan lagu macam-macam.”
Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan yang hadir dalam jumpa pers tersebut mengucapkan terima kasih atas kesediaan Sound of Borobudur bermain pertama kali di Candi Padang Roco, Dharmasraya.
Menurutnya, penggalian peradaban masa lalu seperti yang dilakukan Sound of Borobudur, akan memperkaya aset bangsa hari ini. “Semakin digali, semakin menjadi aset bagi kita,” katanya. (r*)