Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, STAHN Mpu Kuturan, Ida Bagus Wika Krishna |FOTO :Rika Mahardika|
Singaraja, koranbuleleng.com| Perayaan Hari Suci Siwaratri bagi umat Hindu yang dirayakan setiap Purwaning Tilem Sasih Kepitu. Siwaratri kali ini, berlangsung dalam situasi pandemic COVID-19. Maka seyogyanya dimanfaatkan untuk melakukan perenungan mencapai kesadaran untuk bangkit dan bijaksana menghadapi situasi yang terjadi.
Karena dalam situasi pandemi COVID-19, perayaan Siwaratri akan menjadi momentum yang lebih khusyuk untuk dilakukan dalam melakukan perenungan.
Ida Bagus Wika Krishna, Akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja menjelaskan, secara historis konsepsi perayaan Siwaratri memang mengalir dari Weda, yang diterjemahkan di nusantara dalam kasanah teks-teks lokal. Pada Weda terutama dalam purana, baik di Skanda Purana, Garuda Purana, termasuk dalam Utara Kanda, banyak dijelaskan berkaitan dengan kisah bagaimana seseorang atau umat hindu melaksanakan hari Siwaratri.
“Kemudian dijelaskan dalam berbagai kisah, kadangkala disebut namanya Nisadha, yang artinya disebut juga pemburu, yang di Bali disebut dengan Lubdaka,” jelasnya.
Ida Bagus Wika mengatakan, dalam kekawin Siwaratri Kalpa yang ditulis oleh Mpu Tanakung juga merangkum konsepsi ajaran Siwaratri, yang juga dijadikan dasar dan pedoman umat Hindu Nusantara, tentang apa yang melandasi orang untuk merayakan Siwaratri.
Dalam teks Kakawin Siwaratri Kalpa gubahan Mpu Tanakung pada masa Majapahit akhir mengungkapkan konsep anugraha. Seorang pemburu bernama Lubdhaka mendapatkan anugraha dari Bhatara Siwa berkat brata utama yang dilakukan pada saat Siwaratri.
Hanya saja, Kekawin Siwaratri Kalpa itu justru sering menjadi pertanyaan dimasyarakat. Karena seorang pemburu justru bisa mencapai alam Siwa ketika meninggal sehingga seolah-olah, hari raya Siwaratri menjadi malam penebusan dosa.
Tetapi yang penting dipahami sesungguhnya dari cerita Lubdhaka lanjut Ida Bagus Wika, merupakan simbolik tentang ajaran Ketuhanan dalam hindu. Diterjemahkan bahwa Pemburu itu sesungguhnya asas dasar manusia, dimana manusia sebagai pemburu cahaya, pemburu Ketuhanan.
“Bahwa setiap manusia di dunia ini wajib beburu kebajikan, esensi Ketuhanan. Itu sebabnya yang diburu binatang. Sifat kebinatangan itulah yang diburu. Binatang juga disebut satwa itu juga bisa bermakna sifat-sifat kebaikan, itulah yang harus dimunculkan dalam dirinya,” ujarnya.
“Jadi Siwaratri itu sesunguhnya malam perenungan bagi umat hindu untuk merenungi dan menyadari siapa jati dirinya agar matutur ikang atma ri jatinya atau dialog antara jiwa dan kesejatiannya. Dia sadar tentang dirinya itu adalah jiwa atau atman yang tidak lain memiliki persamaan sifat dengan asas Ketuhanan itu sendiri dengan asas Siwa,” imbuhnya.
Pria yang akrab disapa Ajik Wika ini menuturkan, selama ini banyak yang salah kaprah tentang hari raya Siwaratri. Selama ini banyak yang menyebut jika perayaan Siwaratri hanya pada saat panglong ping pat belas tilem kapitu.
Padahal jika merujuk dalam tradisi kesusastraan Hindu, setiap Purwaning Tilem itu adalah Siwaratri. Karena saat Purwaning Tilem itu, Sang Hyang Siwa sedang melakukan Yoga Samadi, untuk memberikan anugrah kepada baktanya atau kepada para pengikutnya. Anugrah berupa ketajaman batiniah, dengan cara melakukan tapa brata yoga samadi.
“Sedangkan saat Tilem Kapitu adalah malam Mahasiwaratri yaitu malam paling gelap malam dimana siwa bena-benar melakukan yoga samadi dan memberikan anugrah kedada umatnya,” tuturnya.
Pria yang menjabat sebagai Wakil Ketua III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama STAHN Mpu Kuturan ini menyebutkan, dari berbagai sumber yang ada, malam Siwaratri sebenarnya merupakan suatu malam perenungan atas perbuatan-perbuatan yang telah kita lakukan selama ini, agar kita bisa intropeksi diri. Siwaratri pun kemudian dirayakan dengan melakukan brata.
Mulai dari Mona Brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun, Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum, dan Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan.
Menurutnya, brata tersebut sangat tepat untuk dilaksanakan dalam masa pandemic saat ini. Karena dalam situasi pandemic membuat kehidupan social banyak mengaami perubahan. Maka, korelasi antara melaksanakn brata Siwaratri dengan pandemic sangat erat.
Jagra misalnya. Jagra dalam implementasinya saat ini bukan saja tidak tidur atau bergadang, tapi berkesadaran dan paham dengan situasi, sadar dengan kondisi yang kini terjadi, dan sadar jika saat ini sedang berlangsung wabah yang sedang menjangkiti kehidupan manusia.
Dengan kesadaran itulah dia harus melakukan langkah preventif didalamnya. Melakukan menjaga kesehatan, melakukan social distancing.
Dari jagra kemudian menyambung juga dengan mona brata. Dimana dalam situasi saat ini, semua manusia sedang mengalami tekanan batin yang luar biasa. Dari pelaksanaan mona brata ini, kita menjaga dan sadar dengan apa yang diucapkan
“Saya yakin dengan pelaksanaan Siwaratri pada titik kesadaran yang paling dalam, maka kita akan menadi orang baru yang bangkit untuk menghadapi tantangan,” tegas Ida Bagus Wika.
Dalam situasi pandemi COVID-19, sebagai mahluk yang berkesadaran, manusia harus bisa mengambil sisi positif. Maka, sangat tepat bisa merayakan Siwaratri dengan baik ditengah situasi pandemic. Karena pada intinya, esensi dari Siwaratri itu sendiri melakukan tapa brata yoga samadi.
“Dengan kediaman, kesendirian kita, kita menengok ke dalam melakukan kontemplasi menjadi mahluk yang sadar dengan diri, sadar dengan lingkungan sosial, sadar dengan kondisi kta saat ini. Kesadaran inilah yang akan menggiring kita untuk bangkit dengan cara membijaksanai situasi,” pungkas Wika.
Pewarta : Putu Rika Mahardika
Editor : I Putu Nova A.Putra