Rumah keluarga Mayor Metra |FOTO : Luh Sinta Yani|
Singaraja, koranbuleleng.com | Rumah tua itu tampak sepi, halamannya rimbun. Cat pintu pagarnya terlihat kusam, tingginya sekitar sepinggang badan manusia. Di halaman rumah paling depan, terdapat sebuah kolam ikan di kelilingi pepohonan yang menjulang. Arsitektur rumah sangat khas, dengan nuansa masa lalu. Rumah yang terletak di Jalan Mayor Metra, sebelah utara dari Kantor Kelurahan Beratan begitu bersejarah bagi Buleleng. Itulah rumah pejuang Buleleng, Mayor Metra.
Sosok Mayor Metra sangat penting dalam merebut kedaulatan Republik ini dari tangan penjajah. Dia berjuang demi NKRI bersama pejuang lainnya dari tanah Den Bukit. Perjuangan Mayor Metra ditulis langsung oleh sang istri tercinta, Ida Ayu Putu Mas Mirah, atau yang sering dipanggil Ibu Metra. Dia juga saksi sejarah masa-masa berat itu. Catatan itu sederhana sekali, berjudul Kisah Perjuangan jaman Revolusi “ Pak Metra”
Dalam catatan Ibu Metra, Perjuangan masyarakat Buleleng dalam merebut kemerdekaan tidak terhenti walau teks proklamasi sudah dikumandangkan. Kala itu Belanda dan Jepang belum memberikan kedaulatan penuh kepada rakyat Indonesia. Perjuangan dan tumpah darah masih terjadi, termasuk di wilayah Bali Utara, Buleleng.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melantik Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara.
Dalam menjalankan pemerintahan pada awal kemerdekaan, presiden Soekarno dengan persetujuan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) membentuk 8 provinsi di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah Provinsi Sunda Kecil. Pemerintah pusat kemudian mengangkat Mr. I Gusti Ketut Puja menjadi Gubernur Sunda Kecil dan Ida Bagus Putra Manuaba sebagai Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Sunda Kecil, dengan Singaraja ditetapkan sebagai ibukota provinsi.
Pada tanggal 23 Agustus 1945, secara resmi Mr. I Gusti Ketut Puja membawa berita proklamasi kemerdekaan Indonesia ke Singaraja. Dalam bulan Agustus 1945, diadakan rapat umum di Singaraja yang bertempat di lapangan (sekarang Lapangan Letkol Wisnu).
Dalam rapat inilah muncul seorang Mayor Nengah Metra. Setelah menamatkan pendidikan di Hollands Kweek School di Purworejo, Kedu, Jawa Tengah, Mayor Nengah Metra menunaikan tugas sebagai guru di Kota Mataram, Lombok. Namun, berkat jiwa kepemimpinan dan cinta tanah air yang tinggi, dia diangkat menjadi Ketua KNI Wilayah Sunda Kecil dan Penasehat BKR/TKR/TRI Resimen Ngurah Rai.
Walau sudah merdeka, namun hati rakyat masih menyimpan kecemasan. Rakyat cemas karena tentara Jepang masih berulah dengan menunjukkan kekuasaannya. Untuk menjaga kemerdekaan, berdasarkan petunjuk pemerintah RI, maka provinsi Sunda Kecil pada tanggal 31 Agustus 1945 membentuk BKR (Badan Keamanan Rakyat).
Pada masa itu, perjuangan Mayor Metra dan pasukannya dalam merebut kemerdekaan yang sesungguhnya tidak hanya berasal dari penjajah, namun juga dari saudara sendiri. Ibu Metra yang kala itu juga turut menjadi pejuang pernah ditangkap oleh Gerakan APE (Anti Pejuang) sebuah gerakan yang menentang pejuang dari Sangsit. Mereka senang sekali mengadakan penindasan-penindasan para pejuang maupun rakyat yang tidak berdosa.
Ketika TKR berubah nama menjadi BKR, Mayor Metra mengadakan perundingan-perundingan dengan pemimpin Jepang dengan tujuan meminta senjata Jepang untuk dipakai pejuang dalam melawan NICA. Jepang meminta syarat bahwa selama mereka berada di Indonesia, segala biaya dan keperluan Jepang dibiayai penuh oleh Bangsa Indonesia. Agar rakyat memiliki senjata sendiri, syarat ini disetujui oleh para pemimpin. Maka, Mayor Metra diutus untuk menemui Pemerintah Jepang untuk datang ke perundingan. Hasil perundingan sudah saling sepakat, dan pihak Jepang sudah menentukan hari penyerahan senjata tersebut.
Namun, Jepang ingkar dengan janji yang telah disepakati. Dia tidak mau memberikan senjata tersebut dengan dalih bahwa pemimpin-pemimpin rakyat Buleleng tidak kompak, dan jika senjata berhasil didapatkan oleh pejuang, maka kedudukan Jepang akan sangat bahaya serta orang-orang Belanda akan marah kepada mereka. Karena Mayor Metra merasa sangat memerlukan senjata tersebut, dia berusaha membujuk pemerintah Jepang untuk melakukan perundingan kembali.
Tipu muslihat dilakukan Jepang untuk mengelabuhi Mayor Metra dan pasukannyaa. Jepang akan memberikan senjatanya kepada Metra dan pasukannya dengan caranya sendiri. Mereka akan melakukan perang-perangan, dan para pejuang diminta untuk pura-pura menyerang ke tangsi Banyumala. Senjata-senjata tersebut akan ditaruh di tangsi Banyumala. Namun tentu saja perang-perangan ini menyebabkan rakyat kalah, dan semua pemimpin ditawan. Orang-orang Jepang meminta untuk menghubungi semua pejuang agar menyerah, dan kata Jepang penangkapan ini tidak sungguh-sungguh. Jepang ingkar terhadap janjinya, yang membuat para pejuang dikepung oleh Belanda.
Mayor Metra dan keluarganya ketika itu berhasil lolos ke pedalaman yakni di wilayah Asah Gobleg. Namun mereka harus pergi ke tempat penyingkiran secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh gerombolan APE Sangsit, yang diketuai oleh I Nengah Medere.
Keganasan APE saat itu sangat terkenal. Para pejuang yang berhasil ditangkap oleh mereka akan disiksa sampai mati. Mayor Metra , istri dan anak-anaknya, beserta sebelas orang lainnya tinggal di Gobleg. Mereka masuk ke Gobleg dari Munduk dan ke Asah Gobleg. Ketut Jasa adalah orang yang menerima mereka di sana, serta yang menjamin makanan dan keamanannya.
Rasa kecewa muncul dalam diri Mayor Metra karena tempat persembunyiannya dibocorkan kepada pihak Belanda oleh salah satu pasukan dari Mayor Metra. Belanda kemudian mengepung dan mengurung wilayah Ringdikit sampai Kayu Putih, yang menyebabkan beberapa pejuang lainnya gugur.
Mayor Metra dan keluarganya langsung dibawa ke Tinga-Tinga, tapi arah gerak mereka tetap dimatai-matai oleh Pan Made, perbekel desa Gobleg. Belanda semakin menjadi-jadi dalam mengurung desa Gobleg dan desa lainnya sampai keluarga Mayor Metra tidak bisa makan. Pohon keladi yang harusnya mereka makan umbinya, namun mereka makan pohonnya. Orang yang mengirimkan mereka makanan tidak diijinkan masuk ke wilayah tersebut.
Pada tanggal 4 Mei 1946, segerombolan pasukan laki-laki bergerak ke arah Munduk dan di sana ada orang Cina mempunyai Kerben (jenis senjata), dan pasukan meminta dan diberinya. Malamnya pasukan tersebut mengadakan perundingan untuk bergerak ke Markas mereka membawa senjata-senjata tersebut.
Dalam catatan ibu Metra, tepat pada tanggal 5 Mei 1946, rombongan mereka berangkat ke alas Gintungan yaitu tempat markas mereka. Di sana hanya ada mesin-mesin, sedangkan senjata lainnya belum datang dari Jawa. Markas mereka diketahui oleh pihak Belanda karena ada mata-mata yang berasal dari Pedawa dan masuk ke dalam pasukan Mayor Metra. Jam 16.30, markas mereka dikurung oleh Belanda, dan tepat pukul 17.00 Mayor Metra ditembak dan gugurlah bunga bangsa di tanam bakti. Mayor Metra gugur tepat di hari ulang tahunnya yang ke-44 tahun, dan tepat dengan hari raya Saraswati. Rumahnya yang berada di Kelurahan Beratan, Buleleng dibakar habis-habisan oleh APE Sangsit dan Gajah Merah dan hanya menyisakan sanggah mereka.
Mayor Metra dikuburkan di Selat Gintungan, dan perjuangannya dilanjutkan oleh sang istri. Ibu Metra sempat berpikir untuk ikut gugur bersama sang suami, namun dia melihat kedelapan anak-anaknya yang masih kecil.
Jika dia ikut gugur, siapa yang akan menjaga dan merawat anak-anaknya. Apalagi, Mayor Metra tidak mewariskan harta benda apapun. Semua hartanya dia korbankan untuk membeli senjata dan mengadakan perundingan-perundingan demi kedaulatan kemerdekaan rakyat Buleleng.
Sang istri sangat tegar tanpa rasa takut kembali berjuang untuk kemerdekaan dan membersihkan roh sang suami dalam upacara pengabenan. Banyak penolakan yang harus dia terima dari raja maupun kepolisian dan tentara Belanda dalam hal ijin untuk mengabenkan suaminya. Karena tidak ada ijin dari siapapun, Ibu Metra bertekad untuk membakar di kebun sendiri di desa Beratan setelah perlengkapan yang diperlukan telah disediakan. Dia juga bertekad untuk mengabenkan 6 pejuang lainnya yang sangat setia pada Mayor Metra. Berkat kegigihan Ibu Metra, Mayor Metra berhasil diabenkan oleh rakyat Buleleng.
Rumah yang sempat dahulunya dibakar sudah terbangun dan ditinggali oleh anak beserta cucu Mayor Metra.
Menurut penuturan dari Sri Ardiati Datraja, menantu Mayor Metra dari putra ketiganya yakni Ngurah Datraja Metraatmaja, rumah tersebut belum sempat ditempati oleh Mayor Metra. Pohon mangga dan kolam ikan yang berada di rumah tersebut menjadi saksi bisu perjuangan Mayor Metra dan keluarganya.
Ruangan di dalam rumah masih bertahan dengan desain di masa lampau dan masih terpampang jelas foto kusuma bangsa kita. “Beliau tidak hanya sekedar sebagai seorang guru tapi sebagai pejuang juga. Harta benda dan hidupnya beliau korbankan untuk kemerdekaan Indonesia.” tutur Sri Ardiati, Kamis 12 Agustus 2021.
Sri juga tidak terlalu hapal perjuangan dari Mayor Metra. Dialah yang memberikan catatan perjuangan dari Ibu Metra, kisah yang sangat heroic untuk memperahankan kemerdekaan RI dari tangan penjajah.
Untuk mengenang jasa-jasa besar dari Mayor Nengah Metra, Pemerintah Daerah Buleleng memberikan beberapa penghargaan. Nama Mayor Nengah Metra dipakai untuk menamai lapangan olahraga di Kota Singaraja dan jalan raya Singaraja- Sukasada, tepatnya dari Kelurahan Liligundi hingga di Kelurahan Beratan.
Dan yang paling terbaru adalah Tugu Tri Yudha Sakti yang memajang patung tiga pejuang asal Buleleng, salah satunya merupakan Mayor Nengah Metra. Penghargaan lain juga diberikan oleh seorang Veteran yang juga berasal dari Desa Beratan, Ni Made Witning. Beliau menciptakan sebuah lagu sederhana yang berjudul “Bapak Metra”. (*)
Pewarta : Luh Sinta Yani
Editor : I Putu Nova A.Putra