Miskin Bukan Takdir Sosial

Di tengah santer pengembangan sekolah merdeka, merdeka belajar, dan guru penggerak, justru dunia pendidikan di Bali sedang terjebak kredo “keterbatasan anggaran” sebagai alasan kuat dan paling tidak bisa ditawar lagi, yang dihembuskan oleh Pemprov Bali. Alasan atau dalih itu untuk menutup atau paling tidak mengubah status SMAN Bali Mandara ini menjadi SMA negeri biasa-biasa saja. Mengapa (dulu) sekolah bagi siswa miskin Bali terwujud? Hal ini sangat bergantung kepada keinginan politik. Kasarnya, jika seorang pemimpin mau, selalu ada jalan!

Kabar santer beredar bahwa SMAN Bali Mandara akan tutup atau setidaknya tetap beroperasi dengan menjadikannya SMA sebagaimana pada umumnya. Kalau ini terjadi, artinya Pemprov Bali menempuh jalan yang paling moderat, tentunya paling aman secara sosial. Pengalihan sekolah dengan idealisme khusus, pernah dilakukan terhadap SMA Sidemahan.           

- Advertisement -

SMAN 1 Sidemen bermula bernama SMA Siddamahan yang didirikan oleh yayasan Siddamahan pada tanggal 1 Juli 1987 sampai dengan tahun 1996. Pada tahun 1997 yayasan Siddamahan menyerahkan sekolah kepada pemerintah untuk dinegerikan. Mulai tanggal 29 Januari 1998 SMAN 1 Siddamahan berubah nama menjadi SMAN 1 Sidemen. Kebijakan pendidikan pemerintah yang rata-rata biasa saja menjadikan sekolah ini tidak khas lagi.

Pada awal esai ini, lagi-lagi pertanyaan ini muncul: “Mengapa Bapak Mangku Pastika bisa membangun sekolah bagi anak miskin seperti ini, dengan biaya sangat mahal, namun sama sekali bukan proyek mercusuar?’; Mengapa Pak Darta, selaku kepala sekolah, dan timnya sanggup mewujudkan visi pendidikan semacam itu?”

Di tengah iklim politik dan birokrasi Bali yang datar, kehadiran proyek pendidikan di tengah jantung politik adalah pencapain yang hebat dan terbukti sangat mengagumkan. Pembangunan sektor pendidikan untuk kepentingan kaum politisi yang mengkavling sejarah sosial secara diakronik, adalah sangat tidak populis karena dampak nyata pembangunan pendidikan tidak cepat, seperti yang dikemukakan oleh seorang filsuf besar dari China, Confucius, “if your plan is for one year, plant rice; if your plan is for ten years, plant trees; if your plan is for one hundred years, educate children.”

Namun demikian, Bali memiliki sebuah SMA yang kemudian ditambah SMK, yang telah diakui kualitasnya sangat hebat, baik siswa, guru, kepemimpinan, dan pengelolaannya. Kehebatan SMAN Bali Mandara tidak dibangun dengan melabeli potensi-potensi kognitif dan bakat hebat (calon siswa) dan memilih mereka secara ketat dan angkuh. Sekolah ini menjatuhkan pilihan pada siswa miskin. Hal ini bukan jargon semata di tangan I Nyoman Darta dan timnya.  Miskin adalah syarat wajib! Bukan prestasi akademik atau talenta!

- Advertisement -

Setiap bulan-bulan musim penerimaan siswa baru, sekolah ini “tutup” karena, bahkan kepala sekolah sendiri, semua guru dan pegawai pergi ke pelosok desa dan lorong-lorong kota dengan pemukiman padat, untuk menemukan dan memastikan siswa-siswa yang telah mengirim lamaran berupa berkas administrasi, adalah siswa yang memenuhi syarat: benar-benar miskin. Dari pengalaman para guru yang turun ke lapangan terungkap bahwa sangat sulit mendapatkan siswa miskin karena di kalangan mereka telah terbentuk paradigma bahwa mereka adalah warga masyarakat yang luput dari perhatian pemerintah. Kaum miskin kehilangan kepercayaan kepada pendidikan. Pendidikan bagi mereka adalah praktik yang menyita waktu untuk kerja menyambung hidup.

Demikian hambatan terkuatnya dan harus dipecahkan agar sekolah ini mendapat siswa baru.

Singkat cerita, lewat serangkain seleksi, target jumlah calon siswa baru sudah terpenuhi, dan mereka semua dinyatakan lulus, maka proses pendidikan di SMAN Bali Mandara pun baru dimulai. Proses pendidikan di sekolah ini sejatinya bukan di sekolah tetapi di suatu komunitas kaum miskin yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektar. Kelas-kelas formal yang berlangsung lebih daripada delapan jam sehari, hanyalah bagian dari sistem asrama yang menjadi fondasi hubungan sosial dan interkasi guru-siswa, siswa-siswa dalam suatu masyarakat belajar yang dibangun.

Proses pendidikan di SMAN Bali Mandara terjadi di atas ruang dan waktu yang independen namun visioner dan bukan pengasingan sosial. Di dalam ruang dan waktu ini siswa tumbuh dan belajar dan para guru menjalankan pendidikan. Pendidikan berjalan holistik, kontekstual, disiplin tinggi, dan semuanya bukan formal.

Bulan-bulan awal pastilah sangat sulit bagi para guru dan staf sekolah. Para siswa-baru belum sepenuhnya mengerti dan meyakini jalan pendidikan “pembebasan bagi kaum miskin” yang dikembangkan. Mereka masih merasakan kalau kemiskinan adalah kondisi-kondisi struktural sebagai takdir sosial. Hambatan siswa miskin adalah mereka pesimis. Guru belum mengajarkan materi-materi di tengah kurikulum yang sudah disiapkan. Guru bekerja membangun optimisme. Guru bekerja keras siang dan malam, di kelas, di tempat makan, di ruang-ruang asrama, di bawah pohon intaran yang rindang, membebaskan anak-anak dari keluarga miskin ini dari pemahaman bahwa mereka miskin dan itu menjadi alasan untuk tidak bersekolah, belajar, dan mengenyam pendidikan yang bagus.

Tanpa tindakan tersebut dari para guru, maka persoalan baru akan muncul di sekolah, yakni siswa akan frustrasi dan tidak betah, lalu ingin keluar. Guru-guru SMAN Bali Mandara menempatkan tugas mengajar untuk mencapai tujuan kognitif pada urutan nomor sekian. Yang menjadi perioritas adalah proses menghapus memori siswa bahwa mereka lahir di keluarga miskin, meyakinkan bahwa dengan bersekolah di SMAN Bali Mandara, mereka sudah memasuki jalan pembebasan dari kondisi miskin.

Tidak hanya soal perasaan rendah diri dan pesimis sebagai anak miskin tetapi juga mereka tidak semua pandai dan berbakat. Anak miskin yang pandai dan penuh bakat mungkin hanya ada dalam dongeng-dongeng klasik. Hanya sedikit siswa SMAN Bali Mandara yang IQ di atas rata rata atau tinggi. Maka tugas guru adalah membimbing mereka dan mengajarkan pengetahuan-pengetahuan dasar, seperti matematikan, bahasa, dan menggunakan komputer.

Ibarat bercocok tanam, tanah tidak langsung siap ditanami. Pelajaran di SMAN Bali Mandara diawali dengan mempersiapkan “lahan”.

Banyak ada proyek pendidikan bagi rakyat miskin. Proyek ini tidak esensial dan seperti pembagian BLT atau sembako murah. Semua partai politik, politisi, dan pejabat pemerintah dapat melakukan, misalnya memberi bia siswa. Harga proyek pendidikan ini murah dan semua politisi dapat membelinya. Namun dari segi itulah, proyek pendidikan bagi kalangan miskin, dalam bentuk SMAN Bali Mandara, amat jauh bedanya dan merupakan suatu anomali.

I Nyoman Darta, tim gurunya, sukses besar menerjemahkan ide Bapak Mangku Pastika, dan meyakinkan para siswa miskin. Dalam hitungan di bawah lima tahun hasil sudah tampak. Popularitas sekolah ini melejit di Indonesia. Masyarakat mengakui pola asuh di SMAN Bali Mandara sangat mumpuni.

Sejalan dengan berbagai prestasi yang diraih dan tingginya penghargaan atas keberhasilan proyek pembangunan pendidikan, berbagai fasilitas fisik dan saranan pendukung terus dibangun sehingga sekolah ini terkesan sangat mewah. Di kalangan siswa miskin, cerita-cerita sukses kakak-kakak kelas mereka mampu membangun motivasi untuk membebaskan diri dari pesimisme dan membangun prinsip baru bahwa miskin bukan lagi takdir sosial. Maka ini kelak menjadi pemicu semakin populernya sekolah ini di kalangan siswa miskin. Siswa miskin di sekolah-sekolah berlomba untuk bisa tembus SMAN Bali Mandara, sebagai jalan meniti masa depan.

Akhir-akhir ini atas segala dalih keterbatasan anggaran, Pak Gubernur akan mengembalikan anak-anak kaum miskin di Bali kepada sikap pesimis dan prinsip bahwa menjadi anak miskin adalah sebuah takdir sosial; mungkin karena infrastruktur fisik  lebih nyata ketimbang pendidikan, apalagi pendidikan bagi kaum miskin! (*)

Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali)

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts