Singaraja, koranbuleleng.com| Desa Pegayaman, yang berada di Kecamatan Sukasada, merupakan desa tua yang mayoritas warganya beragama Islam. Inilah pedesaan yang mempunyai penduduk muslim terbesar di Bali utara. Walaupun dengan mayoritas penduduk Muslim, desa yang sudah diperkirakan ada sejak tahun 1648 ini, juga lekat dengan kehidupan budaya Bali.
Di hari ketigapuluh, suasana terakhir bulan Ramadhan, di rumah masing-masing warga desa Pegayaman tampak sibuk. Para perempuan muda maupun ibu-ibu yang ada di desa setempat sibuk mempersiapkan makanan atau hidangan. Makanan tersebut, yang sudah dimasak sejak pagi itu. Nantinya akan diserahkan ke sanak saudara, tertua dan tetangga mereka. Semua yang telah disiapkan seperti nasi serta lauk pauk, jajan uli, ketan serta makanan lainnya tersebut, ditaruh di piring dan dijadikan satu di sebuah nampan.
Masyarakat pegayaman menyebut tradisi tersebut dengan tradisi Ngejot atau Pengroah. Tradisi ngejot sendiri diadopsi dari Bahasa Bali, yang diartikan bersedekah kepada tertua, keluarga, maupun tetangga. Biasanya tradisi ngejot tersebut, akan dilaksanakan pada H-1 sebelum hari lebaran maupun pada pagi harinya di hari lebaran.
“Tradisi ini kita maknai dengan bersedekah kepada orang lain. Apa yang kita buat apa yang kita miliki berikan kepada tetangga sebagai bentuk amal atau sedekah. Yang dikenal dengan istilah menyama braye,” jelas Kepala Desa Pegayaman, Agus Asgor Ali ditemui di rumahnya Minggu, 1 Mei 2022.
Ali menyebut, dalam pelaksanaan tradisi ngejot ini tidak dikhususkan diberikan kepada tetangga yang beragama islam saja. Masyarakat pegayaman yang sering disebut dengan nyame selam ini, juga melaksanakan tradisi ngejot tersebut dengan nyame bali atau masyarakat Hindu Bali.
Kata Ali, di Desa Pegayaman terutama di wilayah Banjar Dinas Amertasari. Sebanyak lima puluh persen warga yang ada di banjar tersebut merupakan warga Beragama Hindu. Di banjar tersebut pula toleransi antar agama terus terjalin dengan baik. “Apa yang diberikan karena kentalnya bertoleransi disini, apa yang diberikan juga sudah disesuaikan. Baik oleh nyame selam maupun bali. Supaya tumbuh keakraban itu. Itu lah yang diwariskan oleh leluhur supaya tetap tumbuh keakraban dan toleransinya,” kata dia.
Ali menambahkan, dalam pelaksanaan tradisi ini juga tidak ditentukan harus dilaksanakan beberapa hari. Selain itu, tradisi ngejot tersebut tidak dilakukan secara berbondong-bondong oleh masyarakat. Selain itu, tradisi ngejot tersebut juga tidak dilaksanakan saat hari raya Idul Fitri saja.
“Pada acara orang menikah atau meninggal pun tetap ada acara ngejot. Kalau hari raya sudah dipastikan yang dijot itu adalah makanan.Tidak ada ketentuan dilakukan beberapa hari, tergantung keinginan masyarakat. Keluarga per keluarga, jadi tidak harus berbondong-bondong baru itu dinamakan sah, tidak harus begitu,”terang Ali.|YS|