Singaraja, koranbuleleng.com| Ngaben di Bali sudah menjadi tradisi unik dan turun temurun. Namun, nuansa berbeda sering ditemui di sejumlah desa karena menyesuaikan dengan pola dan tradisi masing-masing desa.
Seperti di Desa Pedawa, di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Des aini tergolong salah satu desa Bali aga atau desa tertua di Bali ini. Seperti desa lainnya, des aini juga mempunyai tradisi Ngaben namun dengan sarana Ngangkid. Upacara ngangkid dilakukan di Tukad Pengangkidan ini, dilakukan dengan cara mengangkat roh dari Sungai Pengangkidan. Tidak ada penggunaan wadah dalam ritual tersebut, hanya menggunakan adegan (simbol fisik tubuh manusia) sebagai identitas orang yang telah meninggal.
Kelian Desa Adat Pedawa Wayan Sudiastika mengatakan, sebelum dilakukan ritual Ngangkid. Keluarga akan melakukan ritual nyurat lau-lau atau pemanggilan roh di sanggah kemulan (pura keluarga). Ritual tersebut, akan dipimpin oleh Balian (pemuka agama) dengan menulis di daun lontar nama orang yang akan di upacarai. Daun lontar tersebut, kemudian akan diwujudkan ke adegan.
“Nama yang meninggal itu, ditulis di Lau-lau (lontar) pakai aksara Bali. Disana juga ada nama dewa-dewa yang dimintai jalan untuk menuntun hidupnya,” ujar Sudiastika ditemui Senin, 27 Februari 2022.
Setelah ritual nyurat laulau itu selesai, keluarga yang ikut dalam ritual Ngangkid itu akan berjalan menuju Sungai Pengangkidan. Dengan membawa adegan dan sarana banten untuk digunakan upacara, mereka juga diiringi gamelan gong.
Sudiastika menyebut, setelah sampai di Sungai Pengangkidan, roh orang yang telah meninggal tersebut akan dipanggil oleh Balian melalui ritual Ngangkid. Selanjutnya, setelah prosesi itu adegan tersebut kemudian dilanjutkan ke bale pengangkidan. Disana, adegan tersebut kembali di upacarai.
“Setelah datang dari sungai, dibawa ke rumah untuk upacara natab banten pengangkidan. Kemudian kembali ngeluwer. Kemudian dilepas lagi roh tersebut ke alam bebas, kemana dia maunya menghaturkan ayahan,” kata dia.
Kata Sudiastika, Tukad Pengangkidan ini memang disucikan oleh masyarakat di desa setempat. Namun masyarakat dapat menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari, selama tradisi ngangkid belum dilaksanakan. Sementara apabila tradisi ngangkid akan dilaksanakan, konon masyarakat enggan untuk menggunakan air tersebut bahkan melintas di tukad tersebut. Mengingat air yang ada di tukad tersebut telah disucikan dengan berbagai macam ritual, serta dibendung dengan menggunakan beberapa batang pohon pisang.
“Kalau tradisi ngangkid hendak dilaksanakan, tukadnya mulai disucikan karena akan digunakan untuk upacara ngaben. Kalau sudah mulai disucikan, masyarakat bahkan takut melintas. Pernah ada kejadian warga dari desa lain tidak tau akan ada tradisi ngangkid. Dia cuci kaki di tukad ini, kemudian meninggal. Kalau ada tradisi ngangkid, tukad ini tidak boleh digunakan satu hari saja, selanjutnya boleh dipakai untuk kebutuhan sehari-hari,” terangnya.
Selain itu, upacara ngaben ini tidak dilakukan oleh perseorangan. Hanya dilakukan massal oleh dadia atau desa. Upacara ngaben massal ini dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sehingga bila ada masyarakat yang meninggal dunia, maka jenazahnya hanya dikubur dan tidak boleh dikremasi. Dalam prosesi penguburan itu, keluarga yang ditinggalkan hanya menghaturkan banten punjung serta dupa yang tidak boleh dinyalakan selama tiga hari.
“Setelah tiga hari berkunjung ke kuburan, sudah tidak ada proses apa-apa lagi. Namun sebelannya berlaku selama 42 hari. Kalau punya dana bisa upacara mepegat, kalau tidak bisa dicarikan waktu hari baik. Karena ngaben di Pedawa dilaksanakan sekali dalam 5 tahun,” kata Sudiastika.|YS|