Singaraja, koranbuleleng.com| Warga eks Timor-Timur (timtim) di Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, mendorong pemerintah daerah untuk ikut menyelesaikan konflik reforma agraria di desa setempat. Warga berharap, penerbitan sertifikat hak milik (SHM) bisa berbarengan antara lahan pekarangan dan lahan garapan.
Perwakilan Warga I Nengah Kisid, 60 tahun, mengatakan penyelesaian konflik reforma agraria di untuk warga eks timtim, tidak hanya tanggung jawab pemerintah pusat. Dimana selain pemerintah pusat, keberangkatan 107 KK ke wilayah Timor-Timur atau yang saat ini sudah menjadi negara Republik Demokratik Timor-Leste juga ada peran pemerintah daerah.
Warga berharap selain menyelesaikan untuk lahan pekarang, pemerintah langsung menyelesaikan persoalan terkait lahan garapan. Pemerintah juga diharapkan bisa mencarikan lahan lain, untuk memindahkan status hutan yang saat ini menjadi lahan garapan warga eks timtim.
“Bagi saya bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat, ada solusi-solusi yang bisa ditempuh oleh pemerintah daerah. Kalau kawasan hutan itu belum bisa dilepaskan, bisa saja pemerintah daerah untuk mencari lahan pengganti untuk lahan hutan yang ditempati eks timtim,” ujarnya, ditemui usai menyampaikan tuntutan ke Pj Bupati di Rumah Jabatan Bupati Buleleng, Senin, 6 Mei 2024.
Adapun total luas lahan garapan yang saat ini dikelola oleh 107 KK tersebut, seluas 136 hektar are. Lahan tersebut merupakan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Dimana status laha itu, saat ini dipegang oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kisid menyebut, meski warga telah setuju untuk penerbitan lahan pekarang. Namun mereka khawatir, jika sertifikat untuk pekarangan ditertibkan status lahan garapan warga akan berubah menjadi Perhutanan Sosial (PS). Sehingga, pengusulan SHM nantinya harus menunggu hingga puluhan tahun lagi.
“Pasti (khawatir) kalau terima lahan pekarangan lahan garapan itu pasti kehutanan sosial. Perhutanan sosial itu tidak bisa dimohon, 7 turunan tidak bisa dimohon. Disitu peran pemerintah daerah kami harapkan untuk menyelesaikan, karena keberangkatan ke timor timur itu tidak hanya peran pemerintah pusat, juga peran pemerintah daerah,” kata dia.
Sementara, Pj Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana mengatakan, selama ini pemerintah daerah dalam penyelesaian konflik agraria tersebut telah memfasilitasi warga untuk memperjuangkan hak mereka. Dimana beberapa kali, pemerintah daerah mengantarkan warga ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Perhutanan untuk mengetahui sampai mana usulan mereka.
Selain itu, saat ini lahan garapan itu masuk dalam wilayah hutan. Sehingga perlu adanya aturan yang mengatur untuk mengeluarkan wilayah tersebut dari status hutan. “Keluarkan dulu jadi wilayah hutan, itu ranah RTRW. Kalau itu sudah keluar, jadi tanah negara. Disana dimohonkan lagi. Kalau sekarang Kementerian Kehutanan tidak akan berani untuk memberikan lahan garapan karena statusnya masih hutan,” kata dia.
Lihadnyana menyebut, kewenangan untuk mengubah Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) ada di pemerintah Provinsi. Warga tentu khawatir dengan belum keluarnya usulan terkait lahan garapan tersebut. Dimana lahan tersebut merupakan sumber mata pencaharian mereka selama puluhan tahun.
“Kekhawatiran itu pasti ada karena sudah lama, kita sudah maklumi. Ini RTRW dulu rubah, itu kewenangan provinsi. Untuk penerbitan sertifikat, BPN sudah pegang SK, dari SK itu nanti dicari diukur kembali. Setelah diukur kembali baru disidangkan. Pada saat sidang masyarakat hadir, saat masyarakat punya happydent tunjukan. Saya inginnya bulan Juni sudah selesai,” ujarnya.
Ditempat yang sama, Kepala Seksi Penataan dan Pemberdayaan BPN Buleleng Kus Sanyoko mengatakan, pihaknya akan segera turun untuk melakukan pemetaan dan pengukuran di lahan pekarangan warga tersebut. Setelah diukur, nantinya data yang telah didapat akan disidangkan untuk penerbitan sertifikat.
“Secepatnya kami rencanakan, akan turun segera. Khusus untuk lahan pekarangan. Lahan garapan itu karena milik Kehutanan, belum kewenangan kami,” kata dia.
Sanyoko menyebut, lambatnya penerbitan sertifikat karena selama ini ada dua pendapat berbeda yang disampaikan warga. Sebagian warga disebut telah terima diterbitkan sertifikat untuk lahan pekarangan terlebih dahulu. Sedangkan sebagian warga menginginkan agar penerbitan sertifikat dilakukan berbarengan antara lahan pekarangan dan garapan.
“Karena ada dua pendapat itu yang harus kita hormati. Kami harapkan masyarakat sadar karena ini sudah jadi program pemerintah. Kedepannya jangan ada kendala yg menghambat program pemerintah,” kata dia.(*)