Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., M.Hum.
Ada seribu satu cara dalam merayakan kemerdekaan Negara Indonesia. Mendaki puncak-puncak dunia dan menancapkan Merah Putih di atas salju abadi. Seribu satu cara juga dalam menggelar upacara detik-detik proklamasi, seperti apel di dasar laut dengan hamparan karang nan memesona. Mengecat gapura kampung dan masih banyak lagi.
Pemerintah memang paling wajib merayakan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia atau Negara Kesatuan Indonesia. Gerak jalan dengan variasi peserta dan jarak tempuh yang berkaitan dengan titimangsa Proklamasi Indonesia; identik dengan agustusan dan sederet agenda lainnya.
Di luar pemerintah dan masyarakat para perajin jahit bendera di sekitar Bandung melihat Agustus sebagai bulan penuh rezeki. Sudah tiga bulan lalu para penjual bendera dan berbagai pernik agustusan, meningglakan kampung-kampung sentra industri kecil jahit bendera di seputaran Bandung. Mereka menyebar ke semua kota di tanah air.
Perusahan komidi putar, pasar malam, atau sering disebut tong edan, dari Kota Lumajang (Jawa Timur) memang telah melakukan pertunjukan keliling sepanjang tahun, dari setiap tanah lapang hingga ke kota kecamatan. Namun demikian, rasanya lebih afdol jika menyaksikan pasar malam pas bulan Agustus.
Para penjual bendera yang biasa memajang barang dagangannya di tepi jalan, dari pukul 06.00 sampai pukul 17.00, tetap harus realistis karena Agustus tidak selalu memberi jaminan berkarung-karung bendera akan ludes beberapa hari menjelang 17 Agustus. Pemandangan di jalan-jalan kota menunjukkan, banyak sekali bendera mereka dilipat kembali dan dimasukkan ke karung karena hingga tanggal 16, belum habis.
Itu cerita biasa!
Tapi tahun ini ada cerita lain dari sebuah kota. Kota ini tentu telah memiliki sejumlah agenda perayaan agustusan, seperti lomba gerak jalan, apel, pasar malam, dan yang paling dinanti biasanya gerak jalan bencong atau waria.
Tahun ini ada acara yang sangat mulia, yakni donasi bendera merah putih. Kegiatan ini dilakukan oleh ASN di kabupaten tempat kota. Tapi bukan atas inisiatif sendiri. Pemerintah setempat seperti menginstruksikan para pegawai untuk membeli bendera ukuran tertentu. Bendera yang terkumpul akan disebar ke seluruh desa. Karena itu, tahun ini wajah kabupaten ini lebih semarak merah putih, sampai ke jalan-jalan desa.
Bahkan hingga tiang-tiang jembatan berhias bendera merah putih. Model perayaan agustusan ini yang berupa instruksi donasi bendera tentu akan sangat menguntungkan para penjual bendera di pinggir jalan. Kemungkinan besar bendera-bendera mereka akan terjual habis sebelum tanggal 17. Tahun depan tentu akan datang lagi barisan pedagang bendera lebih banyak. Instruksi donasi merah putih tentu sangat menguntungkan UKM perajin bendera agustusan. Andai saja semua bupati di seantero tanah air merayakan agustusan dengan instruksi donasi bendera!
Di satu sisi model perayaan ini terasa sangat populis. Berpihak kepada UKM dan barisan penjahit dan sepasukan penjual bendera. Tapi pemerintah juga tidak boleh lupa perasaan para pegawai. Apakah mereka rela? Apakah mereka tidak merasa dipaksa?
Siapa nyana mereka terpaksa beli bendera untuk didonasikan. Bukan lantaran hati mereka terketuk! Mereka berdonasi karena takut atasan! Perasaan ini tidak boleh diabaikan lantaran pemerintah menganggap harga bendera itu tidak seberapa. Suatu kebijakan pemerintah yang mengenai orang banyak dan dirasakan sebagai suatu paksaan tergolong pungli. Pemerintah tidak baik memanfaatkan kepatuhan pegawai akibat rasa takut!
Pada ghalibnya suatu tindakan berdonasi dilakukan dengan sukarela. Dari hati yang paling dalam! Jadi, sekecil apapun tidak bisa dipaksakan oleh pihak lain. Lihat saja para kasir toko Alfamart atau Indomaret, selalu menawari setiap pelanggan kalau-kalau mereka berdonasi, padahal ini karena kendala tidak tersedia uang pecahan 50 atau 100 rupiah. Artinya, petugas kasir tidak boleh sepihak mendonasikan uang konsumen tanpa persetujuan.
Sejalan dengan itu, donasi bendera juga sama. Sepanjang memaksa, ya seharusnya dipikir dulu.
Pada model perayaan Agustusan di kabupaten ini dengan donasi bendera yang khusus bagi pegawai, tidak hanya diterima sebagai paksaan walaupun mungkin ada pegawai yang ”cuek saja” karena tahu diri sebagai bawahan. Tapi pemerintah juga tidak boleh tutup telinga dari keluhan-keluhan pegawai yang merasa dipaksa untuk berdonasi bendera.
Pemerintah perlu menjelaskan, alasan dan tujuan kegiatan ini. Minimnya penjelasan menimbulkan dugaan, misalnya pemerintah tidak memiliki uang untuk pengadaan bendera. Karena itu, pemerintah menempuh jalan pintas: donasi bendera oleh pegawai. Donasi yang memaksa tidak perlu terjadi kalau pemerintah sudah merencanakan setahun atau dua tahun sebelumnya bahwa untuk perayaan tahun ini akan ada pemberian bendera kepada seluruh kecamatan hingga desa-desa. Uang bisa diambil dari kas daerah dan bukan minta dibelikan bendera oleh pegawai atau pekerja karena tidak ada hak pemerintah untuk mengatur belanja pegawai dari gaji yang mereka terima. Juga kan gaji itu bukan donasi sosial tetapi upah atau harga kerja mereka sesuai aturan resmi.
Di luar pembelian bendera oleh pemerintah, tetap bisa dibuka donasi bendera bagi pegawai yang ingin secara sukarela. Mungkin ada banyak pegawai dengan nasionalisme yang luar biasa dan ada kesadaran, ketulusan bahwa satu cara untuk merayakan kemerdekaan Indonesia adalah cukup hebat dengan berdonasi bendera. Jadi tak perlu summit Merah Putih atau apel bawah laut. Kan banyak juga warga masyarakat yang sukarela beli bendera untuk rumah atau modilnya? Ini bisa dijadikan modelnya. Jadi, tidak perlu dipaksakan.
Demikianlah, jalan-jalan di kabupaten semarak merah putih. ”Jreng”, bendera baru. Selamat tinggal bendera kumal! Merah Putih menghiasi sampai jalan-jalan yang menuju ke pelosok-pelosok kabupaten, bahkan hingga tiang-tiang jembatan di perbatasan desa.
Sementara itu, para pedagang bendera tersenyum lega karena Agustus tahun ini bendera mereka terjual habis. Tapi bagi sebagain besar pegawai di kabupaten ini bisa jadi sedih karena mereka dipaksa membeli bendera untuk didonasikan lewat pemerintah.
Yang baik adalah, pada tahap paling pertama, dalam melakukan kemuliaan, apalagi untuk negara dan bangsa; kerjakanlah untuk diri sendiri (bisa lembaga atau pemerintah) yang punya gagasan dan konsekuensinya adalah membiayainya hingga terwujud sebagai kebaikan dan kemuliaan, dipersembahkan sebagai kado untuk Republik Indonesia. Bukan menyeret-nyeret orang lain.
Nilai kemuliaan atau ketulusan berdonasi bendera dengan menggerakan pihak lain, siapapun mereka, dan apalagi dengan paksaan: akan menodai niat baik tersebut.
Yang baik ketika kebaikan, kemuliaan, atau ketulusan itu menjadi pemantik atau inspirasi bagi tindakan serupa secara lebih luas. Demikian pun dalam perkara yang dibahas pada esai ini, berdonasi bendera; semua dimulai dari jantung pemerintahan dan ini menjadi inspirasi di seluruh lingkungan kerja pegawai. Bukan ”instruksi”!. (*)