Singaraja, koranbuleleng.com | Menjalankan bisnis kopi sambil kuliah bukan sekadar tentang meracik minuman, tetapi juga perjalanan menaklukkan tantangan. Tiga mahasiswa Buleleng, Ardana, Wahyu, dan Feby, membuktikan bahwa tekad dan kreativitas mampu menembus keterbatasan dengan mendirikan Mai Nongki, bisnis kopi keliling yang tumbuh di berbagai lokasi strategis, termasuk di Pantai Pidada.
Prinsip yang dipegang teguh oleh para pendiri Mai Nongki adalah, “Di mana ada ruang, di sana kami berusaha.” Filosofi ini menjadi dasar bagi mereka dalam menjelajahi peluang dan menyajikan kopi berkualitas kepada pelanggan. Ardana, salah satu pendiri, menuturkan bahwa bisnis ini lahir dari minat besar terhadap kopi yang kemudian diwujudkan bersama dua sahabatnya.

“Kami memulai bisnis ini sejak semester 7 dan hingga kini sudah berjalan sekitar enam bulan. Selama perjalanan ini, kami terus belajar dan berkembang agar bisnis ini semakin dikenal dan diminati oleh banyak orang,” ungkap Ardana.


Motivasi yang melandasi mereka tidak sekadar mengejar keuntungan finansial, tetapi membangun ruang diskusi bagi para pelanggan. Nama Mai Nongki sendiri memiliki makna mendalam, diambil dari kata “Mai” dalam bahasa Bali yang berarti “ke sini”, dan “Nongki” yang merupakan kependekan dari nongkrong, ngopi, dan diskusi. Ardana menjelaskan, “Dengan nama ini, kami ingin menciptakan lingkungan di mana pelanggan tidak hanya datang untuk menikmati kopi, tetapi juga bisa berdiskusi dan berbagi ide.”
Selain menawarkan kopi, Mai Nongki juga membuka peluang bagi mahasiswa dan pelajar untuk belajar tentang bisnis, manajemen keuangan, serta strategi pemasaran. Waktu operasional yang fleksibel, hanya 4 jam per hari (16.00-20.00 WITA), memungkinkan mereka menyeimbangkan antara kewajiban akademik dan pengembangan usaha. Tim Mai Nongki pun telah bertambah dengan tiga anggota baru yang memperkuat operasional bisnis.
Namun, perjalanan membangun bisnis ini tak selalu mulus. Feby berbagi pengalaman pahit ketika mereka mendapat penolakan saat menawarkan dagangan di beberapa tempat usaha. “Kami pernah diusir dan dibentak karena beberapa lokasi sudah memiliki aturan dagang tertentu. Tidak semua tempat menerima pedagang baru dengan mudah,” tuturnya.

Persaingan bisnis pun semakin ketat seiring dengan meningkatnya popularitas Mai Nongki di Pantai Pidada. “Awalnya, Mai Nongki belum banyak dikenal, tetapi setelah kami membangun branding dan mulai menarik pelanggan, tiba-tiba muncul usaha serupa yang langsung bersaing dengan kami. Itu sempat membuat kami down, tetapi kami sadar bahwa persaingan adalah hal yang wajar dalam dunia bisnis,” ujar Wahyu.
Selain kompetisi, jadwal perkuliahan yang padat seperti KKN dan skripsi juga sempat membuat operasional terhenti. Ardana mengakui, “Ada masa di mana kami harus berhenti sementara karena tanggung jawab akademik. Membagi waktu antara kuliah dan bisnis bukan hal yang mudah, tetapi kami tetap berusaha agar Mai Nongki tetap berjalan.”
Di tengah berbagai tantangan, ketiga mahasiswa ini tetap optimis dan terus berinovasi. Dengan strategi pemasaran yang semakin kuat, mereka yakin Mai Nongki akan berkembang lebih jauh. “Kami percaya bahwa setiap tantangan adalah bagian dari proses belajar. Dengan kreativitas dan ketekunan, kami yakin bisa membawa Mai Nongki ke tingkat yang lebih tinggi,” tutup Ardana.
Kisah Mai Nongki menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya bahwa keterbatasan bukanlah penghalang untuk berkembang. Semangat kewirausahaan yang mereka bawa membuktikan bahwa tekad dan kreativitas mampu membuka jalan bagi peluang baru di tengah kesibukan akademik. (*)
Kontributor Lepas : Febi Lorensa