Warung Bokir, dari Sepiring Ikan Bakar hingga Jadi Kuliner Favorit di Pantai Kerobokan

Singaraja, koranbuleleng.com | Di balik kepulan asap dan aroma sedap dari warung ikan bakar yang kini jadi favorit banyak orang, tersimpan kisah haru penuh perjuangan sepasang suami istri yang tak pernah lelah mengejar mimpi. Dari keringat dan doa, mereka membangun usaha dari nol hingga dikenal luas masyarakat.

Inilah kisah Warung Ikan Bakar Bokir yang terletak di tepi Pantai Kerobokan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng. Menyajikan berbagai olahan laut dengan cita rasa autentik, warung ini tak hanya dikenal karena kelezatan masakannya, tapi juga karena suasana kekeluargaan yang hangat.

- Advertisement -

Eksistensi Warung Bokir tak lepas dari pasangan suami istri Nyoman Sumanasa dan Putu Ayu Darmini, warga asli Desa Kerobokan. Perjalanan mereka di dunia kuliner dimulai tahun 2004, saat Ayu mencoba berjualan kecil-kecilan sambil menunggu suaminya yang gemar memancing. Dengan modal Rp1 juta, ia menyewa warung dan membeli kebutuhan dasar.

Saran sang suami agar mencoba berjualan jagung bakar menjadi langkah awal. Mereka lalu mengajukan pinjaman dari LPD. Kondisi saat itu masih sulit, pelanggan hanya dari kalangan nelayan, sementara mereka juga harus merawat orang tua yang sakit. Namun semangat sang ibu membuat Ayu tetap bertahan.

Tahun 2005, Desa Adat Kerobokan membuka pendaftaran untuk penyewa kios di tepi pantai. Ayu mendapat kios paling timur, lokasi yang masih sepi. Keadaan mulai berubah ketika Pemkab Buleleng mulai menata pantai sebagai objek wisata. Akhir pekan pun mulai ramai pengunjung.

Melihat peluang itu, Ayu mulai membakar ikan hasil tangkapan Sumanasa. Dengan bumbu sederhana racikan sendiri, ia menyajikan ikan bakar ditemani jagung. Seorang pelanggan tua kemudian menyarankan agar fokus pada menu ikan bakar. Itu menjadi titik balik.

- Advertisement -

“Tahun 2005, saya mulai berjualan ikan bakar secara serius. Waktu itu harganya Rp25.000 per porsi. Langsung laku 10 porsi di hari pertama,” kenang Ayu.

Dengan alat seadanya, Ayu tetap melayani pelanggan sambil mengasuh anak. Perabot warung dibeli dengan cicilan harian. Saat pesanan mendadak datang hingga 40 porsi, sang suami membuat panggangan baru. Dari sana, usaha makin berkembang.

Kakek pelanggan yang dulu memberi semangat, kembali datang dan berkata aroma masakan Ayu kini tercium dari jauh. Ia kembali berpesan agar keluarga tetap rajin berdoa dan sembahyang. Ayu menyebutnya sebagai “penolong keluarga.”

Berbekal tekad dan doa, mereka mampu menyekolahkan anak-anak hingga sukses. Kini, meskipun anak-anak sudah mapan, Ayu dan Sumanasa tetap mengelola warung dengan penuh cinta.

“Selagi saya masih sehat dan mampu, saya akan tetap semangat bekerja,” ujar Sumanasa.

Lebih dari dua dekade berlalu. Warung Bokir bukan hanya tempat makan, tetapi juga simbol perjuangan dan harapan sepasang suami istri dari Bali Utara. (*)

Kontributor : Komang Septiana Dewi

Catatan : Berita ini ditayangkan untuk melengkapi tugas mata kuliah di STAH Negeri Mpu Kuturan, Singaraja. Tulisan ini telah melalui seleksi dan tahapan editing agar sesuai dengan kaidah jurnalistik. Kami terbuka menerima tulisan hasil reportase dari mahasiswa dan harus mengikuti ketentuan/kebijakan redaksi kami.

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts