Singaraja, koranbuleleng.com| Jika menyebut nama Desa Pekraman Bratan Samayaji memang jarang orang yang mengetahui, namun jika menyebut Kelurahan Beratan tentu akan banyak orang yang mengetahuinya. Apalagi daerah yang dikenal sebagai tempat kelahiran salah satu Pahlaman yakni Mayor Metra ini, memang dikenal sebagai salah satu wilayah dengan komposisi pedesaan yang unik di Kota Singaraja.
Desa ini adalah daerah dengan potensi kerajinan emas dan perak termasuk pula kerajinan tenun songket terbaik yang dimiliki Gumi Panji Sakti. Diyakini sekali, situasi itu erat kaitannya dengan profesi turun-temurun sebagai warisan leluhur mereka, karena itulah desa ini juga diketahui sebagai salah satu desa tua di Bali yangkini sudah mulai digempur dengan moderninsasi.
Luas wilayah Desa Bratan Samayaji ini tidak terlalu besar, hanya memiliki lahan seluas 14 hektar. Untuk masyarakatnya pun dibagi menjadi dua bagian, yakni Krama Asli dan Krama Tamiu atau Nyama Sampingan, yang memang datang dari beberapa Kabupaten di luar Buleleng.
Menurut Klian Desa Pekraman Bratan Samayaji Ketut Benny Dirgariawan Desa Pekraman Bratan Samayaji memiliki sejumlah keunikan yang kini justru sudan ditinggalkan. Beberapa keunikan itu diantaranya bahwa warga Beratan Samayaji dulunya pernah meyakini dan melakukan tradisi perkawinan endogami. Endogami adalah suatu perkawinan antara etnis, klan, suku, atau kekerabatan dalam lingkungan yang sama. Atau lebih jelasnya, perkawinan endogami ini adalah perkawinan antar kerabat atau perkawinan yang dilakukan antar sepupu (yang masih memiliki satu keturunan).
“Kalau dulu, perkawinan endogamy harus dilakukan karena ini memang sudah berjalan sejak turun temurun dari para leluhur. Namun dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, tradisi ini justru sudah hilang. Kalau sekarang kita minta generasi muda untuk melakukan malah boyanine,” Ujarnya.
Hal senada diungkapkan Pangliman Desa Pekraman Bratan Samayaji Made Ngurah Wedana. Ngurah Wedana adalah salah satu warga setemat yang melakukan perkawinan endogami ini meyakini bahwa ada maksud tertentu yang ingin dilakukan para tetua terdahulu. Hanya saja, kini krama Desa pun bisa memaklumi jika banyak generasi muda di Bratan Samayaji mulai meninggalkan tradisi ini.
“Kalau secara medis mungkin perkawinan ini memang tidak diperbolehkan, karena mungkin nanti keturunannya itu mengalami kelainan fisik karena kesamaan gen atau apapun namanya. Jadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki anak-anak muda disini, kami bisa memaklumi hal itu. Dan kita juga tidak bisa memaksakan untuk meneruskan tradisi itu,” ujarnya.
Keunikan lain yang dimiliki Desa Pekraman Bratan Samayaji yakni dari sisi upacara kematian. Dulu, Bratan Samayaji tidak pernah melakukan upacara pengabenan. Jika ada Krama yang meninggal, hanya dilakukan prosesi penguburan, kemudian dilanjutkan dengan metuunan dan ngerapuh.
Kini, tata upacara untuk kematian itu pun mulai ditinggalkan oleh Krama Desa. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir, banyak krama yang sudah melakukan posesi upacara pengabenan. Otomatis, dengan tidak melakukan penguburan, banyak tata upacara yang tidak dilakukan. Salah satunya adalah prosesi penghormatan yang dilakukan saat mengantarkan jenazah menuju kuburan, pada pohon bunut kembar yang ada di Pura Dalem.
“Kalau upacara penguburan, dalam perjalanan biasanya krama yang mengiringi jenazah itu mesandekan di Pura dalem, tepatnya di pohon bunut kembar. Nah saat itulah dilakukan prosesi pernghormatan terakhir bagi yang meninggal,” jelas Klian Beratan Samayaji Benny Dirgariawan.
Kemudian, setelah sebelas hari prosesi penguburan, ada satu lagi prosesi yang dulu wajib dilaksanakan yakni dengan datang ke Pura dalem. Disana ada sebuah pohon asem besar untuk menempatkan foto, dan juga membawa pajegan yang berisi buah buahan, makanan, hingga lainnya termasuk simbar, yang ditempatkan diatas pohon asam tersebut.
“Nah setelah proses upacara selesai, makanan yang ada di pajegan itu kita ambil dengan mejaragan (berebut, red). Itu sekarang yang sudah jarang dilakukan. Padahal tradisi itu harus kita lestarikan,” imbuh Benny.
Seiring dengan berjalannya waktu, memang banyak tradisi unik yang semakin ditinggalkan oleh Krama Desa. Selain dalam hal perkawinan Endogami maupun tentang upacara kematian, ada satu hal lagi yang kini semakin ditinggalkan. Keunikan itu adalah dalam merayakan Hari raya Galungan. Tidak seperti umat Hindu lainnya, yang melaksanakan upacara hari Galungan pada saat Hari Rabu Wuku Dungulan. Krama Desa pada saat dulu, justru melakukan persembahyangan tepat pada saat penampahan Galungan.
“Kalau dulu, kita melaksanakan persembahyangan pada saat penampahan. Entah apa maknanya kami tidak tahu, namun itu sudah berlangsung sejak dulu. Kini banyak Krama yang juga meninggalkan hal itu. Walaupun masih ada tetua yang menerapkan apa yang mereka yakini sejak dulu,” Jelas Benny Dirgariawan.
Desa Pekraman Bratan Samayaji meyakini sebagai salah Satu Desa Tua atau Bali Kuno atau Bali Aga. Hal itu setelah merujuk pada beberapa referensi ataupun penelitian yang pernah dilakukan sejumlah budayawan yang langsung datang, salah satunya Nyoman Argawa. Sejumlah peneliti melihat komposisi pelinggih di Pura Desa Pekraman Bratan Samayaji. Setelah melihat, Budayawan tersebut pun memastikan bahwa Pura itu dibangun paling lambat pada abad 11, dan mengadopsi dari sistem yang diterapkan oleh Mpu Kuturan.
Selain itu, ada hasil penelitian yang dilakukan Penulis Dari Belanda, Van Bloeman dengan judul Buku History of Bali juga yang menyinggung tentang Keberadaan Bratan Samayaji. Secara umum, Penulis tersebut menceritakan sejarah tentang Desa Tenganan di kabupaten Karangasem. Hanya saja, pada beberapa paragraph disebutkan bahwa salah satu Klan yang ada di Tenganan yakni Klan Pande melkaukan perpindahan ke Desa Beratan Samayaji, di Buleleng.
Berdasarkan beberapa referensi itulah, beberapa bulan lalu, Prajuru Desa bersama dengan beberapa Krama melakukan Study Banding ke Desa Tenganan Karangasem. Dalam study banding itu diketahui bahwa Tenganan memiliki kesamaan adat istiadat, Tradisi, termasuk hudaya yang selama ini pernah ada di Desa Bratan Samayaji.
“Kita Study banding ke Tenganan, hasilnya memang sama, perkawinan endogami, termasuk tidak melaksanakan upacara pengabenan. Itu makanya kita yakin bahwa Bratan ini adalah Desa Bali Aga,” terang Klian Desa Pekraman Bratan Samayaji Ketut Benny Dirgariawan.
Beberapa ciri-ciri Desa Beratan Samayaji diyakini sebagai salah satu desa bali tua, mulai dari Parahyangan (Tempat Suci,red), Palemahan (lingkungan, Red) dan Pawongan (masyarakat, Red).
Dari sisi Parahyangan, Desa Pekraman Bratan Samayaji memiliki sebuh Pura Desa dengan jumlah pelinggih yang cukup banyak, yakni berjumlah 58 pelinggih dengan system Nyatur Bhuana. Artinya, beberapa pelinggih yang menghadap empat penjuru arah, mulai dari Utara, Selatan, Timur dan mengarah ke Barat.
Sementara dari sisi Palemahan, beberapa masyarakat Desa Pekraman Bratan Samayaji masih mempertahankan konsep rumah dengan yang berpola tradisional yang terdiri dari 3 unsur, dengan latar belakang norma-norma dan nilai-nilai tradisional yang melandasinya.
Pada sisi Pawongan, Bratan Samayaji dketahui pernah memiliki adat istiadat, tradisi, maupun kebudayaan yang selama ini masih dilakukan oleh sejumlah Desa yang masuk dalam Bali Aga. Hanya saja, seiring dengan perkembangan jaman, hal tersebut sudah mulai tergerus.
Karena itulah, sangat diyakini Desa Pekraman Bratan Samayaji merupakan salah satu jejaring Desa Tua atau Bali Aga yang ada di bali dan terletak did alam Kota Singaraja. Hingga kini, pihak Prajuru Desa masih terus melakukan penggalian untuk mengatahui dan memastikan sejarah keberadaan Desa Pekraman tersebut. Upaya ini dilakukan untuk mengetahui seluk beluk dan juga tradisi, adat istiadat, dan budaya yang masih dimiliki untuk bisa dipertahankan.|RM|