Singaraja, koranbuleleng.com | Pura Desa Bratan Samayaji, memiliki keunikan tersendiri. Di dalam pura ini ada sebuah pelinggih yang sangat dikramatkan oleh Krama Pura. Pelinggih itu adalah pelinggih Klepa yang ada di Jeroan Pura Desa. Selain karena Pelinggih itu menghadap ke Selatan, di depan pelinggih itu terdapat sebuah lubang kecil dengan diameter 25 centimeter yang diyakini sebagai sumur oleh Krama setempat.
Konon, lubang yang diduga berhubungan langsung dengan sebuah sungai di bawah tanah itu, digunakan sebagai tempat untuk menghaturkan Pekelem. Tidak ada yang mengetahui persis seberapa dalam lubang itu. Krama desa meyakini keberadaan sungai bawah tanah dibawah lubang itu dipercayai tembus hingga ke daerah Labuan Aji Desa Temukus Kecamatan Banjar.
Menurut Klian Desa Pekraman Bratan Samayaji Ketut Benny Dirgariawan, lubang itu diperuntukkan untuk aturan Pekelem dengan sarana itik dan Ayam Putih. Kepercayaan bahwa lubang itu sangat dalam terbukti karena tidak adanya bau busuk pada kedua binatang yang dimasukkan ke dalam lubang itu. Untuk upacara pekelem sendiri terakhir kalinya dilakukan pada 11 tahun silam.
“Setelah bebek dan ayam putih itu dimasukkan, itu tidak terdengar apa apa, kemudian setelah beberapa hari juga tidak ada bau busuk yang timhul dari lubang itu. Itulah yang menjadi kepercayaan kami, bahwa memang lubang itu memang sangat dalam,” Terang Benny.
Menurut penuturan Penyarikan Desa Pekraman Bratan Samayaji Nyoman Ngurah Suharta, dalam sebuah kesempatan ngayah mebersih di Pura Desa, ada seorang krama yang membuka lubang itu lantaran ingin membersihkan pinggiran lubang dari tumbuhnya ilalang.
“Kebetulan salah satu jari dari krama yang sempat membuka lubang itu terluka. Hanya saja luka itu tidak kunjung sembuh bahkan semakin parah. Hingga kemudian Ia menanyakan ke orang pintar. Ternyata krama itu sisip karena membuka tutup lubang di Pelinggih Klepa. Krama itu kemudian diminta untuk Ngaturan Guru Piduka di Pelinggih Klepa dan alhasil Lukanya pun sembuh,” ujar Suharta.
Sima
Desa Pekraman Bratan Samayaji kini tengah berupaya menggali sejarah tentang keberadaan Bratan Samayaji. Upaya ini dilakukan untuk bisa mempertahankan tradisi budaya serta adat istiadat yang telah ada sejak dulu. Walaupun beberapa diantaranya sudah ada yang dilupakan.
Kelurahan Beratan khususnya Desa Pakraman Bratan Samayaji, menyimpan banyak keunikan seni, budaya hingga adat istiadat dan disebut menganut konsep Purusa Pradana. Salah satunya yakni keberadaan Pura Desa sekaligus Pura Puseh Desa Pakraman Bratan Samayaji yang terletak di tengah-tengan desa. Keunikan yang sangat menjolok yang ditunjukkan oleh bangunan Pura Desa Pakraman Bratan Samayaji jika dibandingkan dengan Pura Desa yanga da pada umumnya, adalah memiliki puluhan pelinggih di tiga mandala pura.
Total ada sebanyak 51 pelinggih tercatata berstana di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji yang disungsung oleh keturunan krama dari klan Pande. Uniknya, tata letak pelinggih tidak hanya menghadap ke Utara dan ke Barat, tetapi ada juga palinggih yang menghadap ke Timur dan ke Selatan.
Disisi lain, dari puluhan palinggih yang ada di pura Desa itu, ada sembilan pelinggih yang diperkirakan dibangun pertama kalinya oleh leluhur krama setempat. Sedangkan sisanya disesuaikan dan dibangun secara bertahap. Sembilan pelinggih tersebut yakni Palinggih Gesong Aun-Aun, yang merupakan stana keris pajenengan yang memiliki luk sebelas dnegan gagang berlapis emas.
Kemudian ada pelingguh Luhur Ring Akasa, yang merupakan stana manifestasi Tuhan tertinggi berwujud Siwa, yang juga melambangkan Purusa. Pelinggih Klepa yang berhadapan dengan palinggih Luhur Ring Akasa, yang melambangkan simbol Pradana stana Dewi Durga. Pelinggih Dewa Bagus Manik Wayan, Pelinggih Ida Bhatara Dalem Sagening, Pelinggih Gunung Beratan, Pelinggih Ida Batara di Sakti, Pelinggih Mutering Jagat, dan Pelinggih Ida Batara Gunung Agung.
Sisi unik dengan keberadaan Pelinggih di Pura Desa Pekraman Bratan Samayaji yakni pelaksanaan piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji, pada zaman dahulu berlangsung selama sembilan bulan tanpa terputus. Dari sembilan pelinggih yang diutamakan tersebut, dilaksanakan piodalan dalam delapan sasih secara sambung menyambung.
Kebenaran dari pelaksanaan Piodalan di Pura Desa itupun belakangan ini diperkuat dengan ditemukannya Sima tentang Tata Upacara Pura Desa dalam Lontar milik warga yang diidentifikasi oleh penyuluh Bahasa Bali. Dalam sima tersebut juga dijelaskan secara mendetail, sarana upakara apa saja yang digunakan hingga keterangan nama pelinggih dan waktu piodalannya.
Dalam sima itu dijelaskan bahwa seluruh urutan upacara ngodalin di pura desa Pakraman Beratan Samayaji, dimulai sejak sasih karo yang dimulai dari pelinggih Paakan di Tubung. Selanjutnya pada sasi katiga odalan dilanjutkan di palinggih Ida Batara Dalam Segening dengan menghaturkan upacara Usaba Asuji. Upacara terus dilanjutkan pada Sasih Kapat, di palinggih Klepa, dengan upacara Dangsil Suun, menghaturkan pakelem bebek putih Jambul dan ayam putih tulus yang dilakukan tepat pada tengah malam.
Pada sasih kalima dilakukan upacara Ngusaba Dangsil Mategen di palinggih I Ratu Gunung Agung, palinggih I Ratu Batara Sakti, palinggih Karang Wisnu, dan Palinggih Pasar Agung. Sementara pada sasih kaenem dengan piodalan palinggih I Ratu Sakti, dengan menggelar tahu rah keklecam. Selanjutnya pada sasih kapitu piodalan di palinggih I Ratu Taman dengan upacara Ngusaba Ngawolu.
Pada sasih Kasanga dilakukan aci piodalan di palinggih Ratu Pakandi Tegal, yang juga dilaksanakan Nyepi Desa yang jatuhnya bersamaan dengan Nyepi Tahun Baru Saka. Dalam penyepian tersebut akan dilaksanakan upacara pacaruan dan upacara magpag, bersarana perahu atau rakit. Sementara untuk pelaksanaan piodalan, berakhir pada sasih ke dasa, dilakukan piodalan di pelinggih I Ratu Gunung Agung dan I Ratu Bukit Tegeh.
Klian Desa Pekraman Bratan Samayaji Ketut Benny Dirgariawan menjelaskan, pelaksanaan piodalan selama delapan sasih atau Sembilan bulan kalender tanpa terputus yang terungkap dalam Sima, memang sudah tidak pernah dilakukan selama puluhan tahun silam. Hal itu terjadi karena memang tidak ada yang mengetahui persis tentang tata upacara, selain karena factor kesibukan krama dan biaya yang harus dikeluarkan sangat tinggi.
“Kalaupun sekarang tata upacara itu harus kembali dilakukan, kita harus melakukan Paruman Agung dulu, dengan melibatkan seluruh karma penyungsung. Karena untuk kserang ini, kita tahu sendiri akan memakan banyak waktu, termasuk juga biaya yang tidak sedikit,” Ujar Benny.
Pun demikian, keinginan untuk mengembalikan tradisi termasuk tata upacara piodalan di Pura Desa sesuai dengan sima masih sangat kuat. Hanya saja, keinginan itu akan diwujudkan secara bertahap.
“Dalam sima kan sudah dijelaskan, ada delapan sasih untuk piodalan di Pelinggih. Jadi untuk sementara yang bisa kita gelar piodalannya akan dilakukan. Kalau yang dirasakan memakan waktu dan biaya yang tinggi, nanti kita rembugkan dulu kesiapan karma,” Imbuh Benny Dirgariawan. |RM|