Singaraja, koranbuleleng.com | Tradisi Nyakan Dirurung atau memasak dipinggir jalan raya masih lestari di sejumlah desa di Kabupaten Buleleng. Salah satunya, di Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu. Tradisi ini biasa dilaksanakan saat Hari Ngembak Gni, satu hari setelah umat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian.
Tradisi nyakan dirurung ini sebagai wujud kegembiraan warga menyambut tahun baru saka. Dalam kegembiraan ini juga ada tradisi saling menyapa atau silaturahmi antar warga desa.
“Ini wujud kebersamaan, kegembiraan kita menyambut tahun baru saka 1939. Bahwa tradisi ini berlangsung sampai sekarang karena warga berniat untuk melanggengkan tradisi yang sudah diturunkan oleh nenek moyang kita. Dalam tradisi ini bisa kita lihat, warga desa memasak diluar rumah, lalu secara tidak sadar mereka berkumpul, mengobrol dan bersilaturahmi.” ucap seorang tokoh desa, Nyoman Jata, Rabu 29 Maret 2017.
“Ini sudah terjadi bertahun-tahun ditengah kehidupan kita, dan harus disadari sebagai sebuah tradisi yang baik untuk membangun komunikasi antar warga desa. Apalagi ditengah era modern saat ini kita sering kali bersikap individualistis,” tambahnya.
Apa yang dikatakan Nyoman Jata, memang hal itulah terjadi saat ini. Ditengah era gadget, banyak warga atau kawan bisa berkumpul dalam satu tempat namun mereka sibuk dengan gadgetnya sendiri, entah melihat dunia yang lebih jauh atau sekedar untuk bergaya perlente.
Tradisi nyakan dirurung ini masih lestari di beberapa desa. Di kecamatan Banjar, yakni di Desa Banjar, Desa Dencarik, Desa Banjar Tegeha, Desa Munduk, Desa Banyuatis. Di Kecamatan Busungbiu, yakni Desa Pelapuan, Desa Bengkel dan Desa Umejero dan beberapa desa lain.
Salah seorang warga di Desa Bengkel, Ketut Astika menyampaikan tradisiini sudah ditemunya sejak lahir, sejak kakek dan neneknya tinggal di Desa Bengkel.
Dari sisi tradisi, peristiwa nyakan dirurung ini sangat mengharukan karena semua warga did esa keluar dari rumah di pagi hari sambil membawa peralatan memasak dan bahan-bahan yang dimasak. Warga memasak seperti biasa, tanpa ada kecurigaan akan disi oleh barang-barang terlarang seperti racun.
“Biasanya, warga desa kan lebih sering disibukkan dengan aktifitas masyarakat sebagai petani, sibuk disawah, diladang dan menjadi buruh petik. Sore baru pulang ke rumah, biasanya jarang bisa berkumpul dengan warga lain. Tradisi nyakan dirurung ini menjadi hari penting bagi warga desa, bercerita dan ada yang berbagi pengalaman soal pengolahan pertanian, dan lain-lainlah topik pembicarannya. Ini bagian dari konsep menyama braya, silaturahmi untuk lebih mempererat kebersamaan,” ujar Astika.
Warga yang memasak diluar rumah bukan hanya di pinggir jalan raya, namun juga dilihat sampai di gang sempit tempat pemukiman warga. Aktifitas memasak ini dilakukan seperti halnya memasak di dalam dapur rumah. Mulai dari memasak nasi, atau menggoreng lauk pauk untuk konsumsi makanan.
Warga membuat bungut paon atau tungku perapian secara sederhana. Dari batu bata atau dari bahan lainnya. Tetapi ada juga yang sudah meletakkan tungku perapian yang sudah jadi terbuat dari tanah liat. Mereka hanya memasak dengan kayu bakar semata, yang jelas tidak ada kompor. Warga biasanya memasak di jalan ini sejak pagi hari hingga siang harinya. Sore harinya, mereka kembali beraktifitas di dapur rumahnya masing-masing.|