Singaraja, koranbuleleng.com|Pementasan tarian Janger Menyali disesaki seribuan penonton ketika Paguyuban Sudamala Menyali (PSM) menggelar acara malam hiburan rakyat di Lapangan Umum Desa Menyali bertepatan dengan puncak Hari Raya Galungan pada hari Rabu 5 April 2017 malam hari. Konon, Janger Menyali ini sudah puluhan tahun tidak ditarikan lagi. Beberapa penarinya mengaku terakhir kali menarikan Janger menyali sekitar tahun 1972.
Pementasan yang bertepatan dengan Hari Raya Galungan kemarin itu, karena kebetulan juga berkaitan dengan upaya Pemerintah Desa Menyali bersama Pemkab Buleleng melakukan proses rekonstruksi Janger Menyali. Rekonstruksi sudah dilakukan sekitar Pebruari 2017 lalu. Proses rekonstruksi ini tergolong cukup singkat dan hasil rekonstruksi ini akan dipentaskan di Pesta Kesenian Bali 2017.
Sejak pukul 18.00 wita, satu per satu warga tampak mulai berdatangan hingga tak berselang lama areal Lapangan Umum Desa Menyali dipenuhi manusia.
Antusias pengunjung datang dari berbagai kalangan. Bahkan mereka rela berjam-jam menunggu atraksi para seniman Janger Menyali yang tergabung dalam Sekaa Janger Saraswati binaan Pemerintah Desa Menyali.
Nah, tepat pukul 21.00 wita, sorak sorai penonton langsung bergemuruh saat para Parik (penari putri) dan Jipak (penari putra) Janger Menyali yang telah berusia sepuh memulai pentas diatas panggung malam hiburan rakyat tersebut.
Para Parik berjumlah 12 orang satu per satu keluar dari balik tirai, disusul para Jipak yang juga berjumlah sama. para Parik dan Jipak ini rata-rata sudah cukup sepuh. Umurnya yang paling kecil yakni 46 tahun.
Para Parik dan Jipak ini tampak sangat bergembira melakukan gerakan-gerakan tari janger ini. Maklumlah, puluhan tahun mereka tak pernah lagi menarikan Janger Menyali ini, dan kini dimulai lagi.
Kegirangan mereka semakin bertambah, ketika decak kagum hingga riuh tepuk tangan semakin berkumandang. Para Jipak yang mengenakan seragam mirip serdadu Belanda dengan atribut baju putih, dasi bahkan baret itu semakin bersemangat melenggang di atas panggung pertunjukan. Atraksi itu pun semakin seru tatkala para Jipak memakai kacamata hitam saat pentas hiburan rakyat tersebut.
Salah seorang Jipak yang menarikan Tari Janger Menyali, I Gede Suriaka ketika ditemui usai acara tersebut menuturkan bahwa dirinya mulai ikut bergabung menarikan Janger Menyali sejak usia 12 tahun. Namun, ia kemudian sempat berhenti lantaran harus mengenyam pendidikan sekolah pendidikan guru (SPG) di Singaraja. Sedangkan, sosok yang pertama kali mengenalkan tarian Janger kepadanya yakni, mantan kepala desa setempat bernama I Gede Intaran.
Pria kelahiran 1963 juga menjelaskan bahwa busana penari Janger Menyali memang sejak dahulu kala memakai pakaian ala serdadu belanda.
“Pertama baret warna merah di kepala, kemudian baju putih lengkap dengan dasi panjang berwarna hitam. Lalu, memakai sabuk, bunga di telinga, mengenakan pangkat serta sepatu lengkap dengan kaos kaki panjang. Tak lupa, kacamata hitam sebagai kejutan, dipakai ketika sedang pentas,” terangnya.
Suriaka kembali mengungkapkan bahwa penari Janger Menyali yang ada saat ini merupakan gabungan generasi ketiga dan keempat. Para Jipak dan Parik berjumlah masing masing sebanyak 12 orang.
“Kalau Jipak, usianya paling tua namanya Ketut Subrata lebih dari 70 tahun. Sedangkan untuk Parik tertua Ni Ketut Seruti juga umurnya lebih dari 70 tahun. Jipak paling muda, saya sendiri dan Gede Utara, sedangkan Parik paling muda itu Ni Luh Murni umurnya 46 tahun,” jelasnyanya.
Suriaka menyebutkan, ada tujuh gending kuno yang dibawakan yakni, gending pembuka berjudul Ida Dane, kemudian Dewa dewa Ayu Janger, Krempyangkrempyang, Saudara-Saudari, Mekacamata, Adi Cangcang dan Ratu Gusti.
Selain itu, Janger Menyali sebut Suriaka memang sempat meredup dalam beberapa dekade terakhir. Namun akhirnya berusaha dibangkitkan lagi oleh para tokoh masyarakat desa setempat bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Buleleng melalui proses rekonstruksi. Janger Menyali kemudian mulai direkonstruksi sejak Februari lalu. Proses rekonstruksi dilakukan dengan mencari tahu gending-gending pada era 1938.
“Para pelatih pun berusaha menggali kembali ingatan para penari sepuh dan mencatatnya secara detail. Penata tari, Luh Sri Susanti alias Bu Dede, sedangkan penata tabuh Ketut Rediasa,mereka berusaha melakukan pengggalian dengan lebih dalam,” ungkapnya.
Menurut rencana, hasil proses rekonstruksi yang telah berjalan secara intens sejak Februari lalu akan dipentaskan dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) yang akan digelar pada bulan Juni mendatang.
Sementara Perbekel Menyali, Made Jaya Harta menjelaskan Konon Janger Menyali memiliki perbedaan dari segi pakaian, gending, bahkan lakon yang dibawakan.
“Keunikan Janger Menyali ini kalau dibandingkan dengan modern, itu dari pakaian. Selain itu unsur lirik lagu ada perbedaan. Kalau gerak, saya rasa ada banyak kemiripan dengan Janger yang berkembang sekarang ini,” ungkap Perbekel Menyali, Made Jaya Harta.
Lebih lanjut Jaya Harta menjelaskan, Janger memang diyakini lahir di Desa Menyali. Pada era tahun 1938, Janger Menyali begitu tersohor. Namun seiring dengan perkembangan jaman, Janger Menyali kalah pamor dengan janger modern atau yang lebih dikenal dengan janger kreasi. Akibatnya janger yang berkembang kini, banyak berkiblat pada janger kreasi, ketimbang Janger Menyali.
Fakta itu pun membuat Jaya Harta jengah, dan menyanggupi untuk merekonstruksi Janger Menyali. Ia berharap agar Janger Menyali kembali dikenal di masyarakat, dan menjadi aset seni budaya di Desa Menyali.
“Dulu desa kami memang punya janger dari awal, dari tahun 1938. Sudah hampir puluhan tahun hilang. Ini baru pertama kali dari tahun 1938, baru sekarang bisa kami lakukan. Kami ingin bangkitkan kembali semangat penglingsir kami. Beliau sudah merintis dari dulu, sekarang tugas generasi muda yang membangkitkan dan melestarikan apa yang jadi sejarah bagi desa kami. Ini akan jadi aset kami untuk ke depannya,” tegasnya.
Rupanya, Janger Menyali memang menjadi pertunjukan paling dinanti oleh masyarakat sehingga banyak orang rindu dengan suasana dan budaya khas Desa Menyali tersebut.
Tak terkecuali bagi Ketut Bujaman (30) warga yang tinggal di Dusun Kanginan. Ia mengungkapkan bahwasannya bukan hanya dirinya yang dirundung rasa penasaran ingin menyaksikan penampilan para sesepuh penari Janger Menyali.
Bujaman bersama keluarganya sengaja menyempatkan waktu untuk hadir menikmati tarian maupun pertunjukan kesenian dan budaya yang diselenggarakan Paguyuban Sudamala Menyali (PSM).
“Bukan hanya saya, rasanya seluruh masyarakat Desa Menyali rindu dan ingin menyaksikan pentas Janger Menyali. Memang jarang dipentaskan, mungkin kalah pamor dengan janger modern hingga semakin meredup,” kata Bujaman.
Ia pun mengharapkan acara serupa bisa terus dihadirkan untuk mengobati kerinduan masyarakat. Selain itu, atraksi seni yang disuguhkan akan mengembalikan lagi ingatan kejayaan dan kepopuleran Janger Menyali di masa keemasannya dahulu.
“Mendengar cerita dari kakek dan nenek tentang kejayaan Janger Menyali, katanya dulu sangat populer. Kalau bisa, pertunjukan ini berlangsung terus. Selain menghibur dan obat kangen masyarakat, juga mengenalkan Janger khas Menyali secara utuh ke masyarakat,” ungkapnya. |NH|