Denpasar, koranbuleleng.com | Kelompok seni Burdah Burak Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng merasa lega setelah bisa tampil memukau di kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar dalam rangkaian Pesta Kesenian Bali ke-40.
Pentas ini menjadi catatan sejarah tersendiri bagi warga Desa Pegayaman, yang sebagian besar warga muslim. Pementasan burdah dari Desa PEgayaman ini adalah yang pertama kalinya.
Di pentas ini, mereka mampu menunjukkan pementasan yang berbeda dibandingkan yang lain sebagai cermin sebuah akulturasi budaya kehidupan masyarakat Bali dengan ajaran-ajaran islam yang telah hidup sejak ratusan tahun silam.
Pentas burdah, adalah sebuah pementasan seni musik kasidahan khas Desa Pegayaman. Menggunakan alat music rebana berukuran besar sebagai pengiring tetabuhan. Diameter rebana lebih dari 80 centimeter dan bunyinya cukup keras.
Rebana ini mengeluarkan bunyi bertalu-talu dengan hentakan yang cukup berwibawa, Dipukul oleh 20 orang pemain sehingga memunculkan music yang khas.
Lalu diiringi dengan kekidungan sebagai shalawat, yang syairnya diambil dari ayat-ayat suci surat albaranji, berbahasa Arab.
Shalawat  yang dinyayikan dalam pentas Burdah ini juga mirip dengan kidung-kidung Bali yang biasa ditembangkan oleh masyarakat Bali ketika ada upacara yadnya dengan bahasa yang berbeda.
Ketua Kelompok Seni Burdah Burak Desa Pegayaman, Muhammad Suharto berharap ini bisa memberikan dampak positif  dalam upaya pelestarian seni dan budaya yang ada di Bali.
Konsep yang dibawakan oleh Kelompok Seni Burdah Burak dalam pementasan ini yakni sprit api perdamaian dan menyamabraya.
Bagi Suharto, pementasan ini menjadi catatan penting, karena warga desa Pegayaman mampu memberikan tontonan yang selaras dengan kehidupan majemuk di Pulau Bali.
âDan hari ini kami cukup bangga, karena konsep menyama braya yang ada di Buleleng khususnya di Pegayaman bisa dilihat oleh banyak orang dari berbagai daerah di Bali. â ujar Suharto usap pementasan.
Konsep akulturasi budaya dan menyama braya ini tercermin dari pakaian khas yang digunakan oleh pemain burdah menggunakan destar atau udeng, kamen lelancingan dan saput, serta baju kemeja batik.
Penggunaan destar atau udeng bukan semata karena hanya pentas di PKB saja, namun pakaian lengkap dengan destar itu sudah menjadi pakaian resmi dari kelompok seni  Burdah Burak Desa Pegayaman sejak lama.
âKami hanya mewariskan dari pendahulu kami, leluhur kami,â ujarnya.
Dalam pementasan itu, juga secara fisik dirangkai dengan gerakan seni bela diri khas Desa Pegayaman, dinamakan Pencak Silat Bletbet.
Pencak silat Bbletbet ini juga warisan turun temurun dari leluhur warga Desa Pegayaman. Pencak silat bletbet ierat kaitanya dengan tugas leluhur warga Desa Pegayaman di masa lalu sebagai prajurit-prajurit tangguh dari Kerajaan Buleleng, dibawah kepemipinan Ki Barak Panji Sakti.
Sebagai prajurit kerajaan, penjaga wilayah dibagian selatan Buleleng, leluhur mereka melahirkan seni bela diri yang sangat kuat dan ampuh. Menggunakan senjata yang disebut bletbet, semacam tongkat yang dibuat dari bahan rotan.
Permainan seni pencak bletbet ini juga cukup keras, jika salah menangkis, tentu darah bisa bercucuran. Namun, pemain seni burdah ini mewarisi seni bela diri dari leluhurnya dengan sangat baik.
Pemain burdah lainnya, Amir mengaku bangga bisa pentas di panggung PKB Bali ke-40. Pementasan ini juga berkesan baginya, karena harapan dan cita-cita kelompok seni burdah bisa tampil di PKB bisa terwujud.
âAkhirnya saat ini, kami bisa membawa nama desa Pegayaman dari Buleleng, Menandakan bahwa kehidupan kami di Buleleng dalam keadaan baik-baik saja. Tidak ada sekat, kami dari dulu sudah terbiasa hidup berdampingan dengan warga yang lain berbeda agama, tetapi kami tetaplah orang Bali,â ujar Amir.
Kata Amir, warga Desa Pegayaman adalah warga yang sudah berdarah Bali, kulit yang melekat ditubuhnya adalah kulit orang Bali.
Walaupun dimasa lalu, asal muasal leluhurnya adalah warga dari wilayah Kerajaan Mataram, dan wilayah Lombok. Tetapi sampai kini,mereka sudah âmereinkarnasiâ sebagai warga Bali, warga- warga Desa Pegayaman sudah beranak cucu di Gumi Den Bukit.
âKami tidak ada istilah mudik kemanapun, tanah kelahiran kami di Pegayaman. Mereka yang merantau keluar Bali yang mudik ke Desa Pegayaman,â tutur Amir. |NP|