Denpasar, koranbuleleng.com, Tradisi Megebeg-gebegan dari Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga, Buleleng dipentaskan di panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 di kalangan Krya dan panggung terbuka Ksirarnawa, Taman Budaya-Art Center, Denpasar, Minggu 3 Juli 2016.
Pementasan ini dikemas dalam sebuah drama pendek, namun seluruh rangkaian dari tradisi megebeg-gebegan dituangkan dalam ceritanya. Tradisi megebeg-gebegan merupakan ritual pecaruan agung yang biasanya digelar pada Hari Pengerupukan sebagai rangkaian Hari Raya Nyepi. Tradisi ini erat kaitanya dengan sejarah desa setempat dimasa lalu.
Dalam cerita yang dibawakan, dimasa lalu, Desa Tukad Mungga pernah mengalami bencana atau gerubug. Di masa lalu, Desa Tukad Mungga adalah desa yang subur makmur, rakyatnya juga rajin bekerja sebagai petani dan berdagang.
Namun, tiba-tiba saja bencana terjadi. Air Sungai meluap dan menenggelamkan desa. Disitulah, turun pawisik bahwa Desa Tukad Mungga harus menggelar upacara pecaruan agung dengan menggunakan sarana sapi betina muda. Sapi inipun tidak boleh cacad secara fisik.
Kelian Desa Pekraman Dharma Jati, Ketut Wicana mengatakan dari sejarah itu akhirnya Desa Tukad Mungga terus melaksanakan ritual megebeg-gebegan ini dengan mengambil lokasi di catus pata desa setempat.
Dalam upacara pecaruan ini, sapi yang dikurbankan nantinya direbut oleh seluruh warga desa secara beramai-ramai. Siapa yang mendapatkan kepala sapi tersebut, berarti itulah pemenangnya. Disinilah puncak dari tradisi megebeg-gebegan itu.
“Dimasa kekinian, tradisi megebeg-gebegan ini juga sebenarnya untuk mempersatukan masyarakat desa, saling asah saling asuh. Tidak ada dendam,” terang Ketut Wicana saat ditemui di Taman Budaya, Denpasar.
Wicana mengatakan Desa Pekraman Dharma Jati sampai saat ini tidak pernah absen dalam melaksanakan tradisi megebeg-gebegan ini.
Membangkitkan Tradisi
Selain tradisi Megebeg-gebegan, Desa Tukad Mungga sebenarnya banyak mempunyai tradisi dan keunikan lain. Tradisi-tradisi dan keunikan desa sebagai kekhasan desa ingin dibangkitkan kembali. Ketut Wicana mengatakan, beberapa tradisi khas dari desa Tukad Mungga seperti Ngelawang Barong Bangkal, Tari Sanghyang Memedi, Tari Sanghyang Dedari dan beberapa keunikan desa lainya.
Seperti halnya Ngelawang, di masa lalu Desa Tukad Mungga memang mengenal tradisi ini. Barong Bangkal di masa lalu sangat disakralkan. Tradisi ini dijalankan untuk menyucikan wilayah desa adat.
Salah satu Seniman Buleleng, Wayan Sujana juga mengatakan bahwa beberapa wilayah di Buleleng juga mengenal tradisi Ngelawang namun tidak sepopuler di wilayah Bali selatan. Namun terlepas dari itu, pemaknaan ngelawang juga sama yakni menyucikan kawasan desa. Ngelawang berasal dari kata lawang berarti pintu. Barong yang digunakan sebagai media untuk ngelawang mendatangi masing-masing jalan atau gang untuk menyucikan kawasan.
“Makna Ngelawang menyucikan, mendatangi dari pintu ke pintu, atau dari ujung desa ke ujung desa yang lain.” terang Sujana.
Selain Ngelawang yang ada di Tukad Mungga, desa ini juga mempunyai tarian unik seperti Sanghyang memedi, sang Hyang dedari. Kini, kedua tarian itu nyaris punah dan tidak pernah ditarikan lagi. Sujana mengatakan pihaknya akan berupaya dengan tokoh-tokoh desa untuk kembali menggali dan membangkitkan tradisi dan keunikan desa-desa di Buleleng. |NP|