Singaraja, koranbuleleng.com | Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya secara perdana digelar di panggung Rumah Belajar Mahima Jalan Pantai Indah, Singaraja, Rabu 22 Maret 2017.
Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya ini akan digelar sepanjang tahun 2017 secara bergiliran di sembilan kabupaten dan kota di Bali. Singaraja, menjadi kota pementasan paling awal.
Festival Monolog ini digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap sastrawan dan dramawan Putu Wijaya atas hasil karyanya. Dia adalah sastrawan yang paling banyak menelorkan karya diantara sastrawan lainnya di Indonesia. Sehingga tahun 2016 lalu, Putu Wijaya membukukan hail-hasil karya sastranya dalam sebuah buku 100 Monolog.
Di sisi lain, ada alasan penting pula dibalik pilihan Singaraja sebagai kota paling awal disinggahi sebagai pementasan monolog ini. Selain sambutan yang luar biasa, karena ada sekitar 62 monolog yang akan dimainkan oleh sastrawan dari Bali utara diberbagai tempat, juga karena Putu Wijaya mengenal teater modern pertama kali di Singaraja, saat Dia bermain dalam sebuah sanggar teater pelajar di SMAN 1 Singaraja.
“Ini sebagai bentuk apresiasi terhadap Putu Wijaya dan karyanya yang sangat banyak sekali. Singaraja menjadi tempat pertama pementasan Monolog ini karena Putu Wijaya memang pertama kali mengenal teaater modern di Singaraja. Kala itu, Dia bersekolah di SMAN 1 Singaraja, dan kepala sekolah sanya saat itu Ibu Gedong Oka memanggil seorang drawman asal Jogja untuk menggarap dan menyutradari tetater uang diikuti oleh Putu Wijaya saat di SMAN 1 Singaraja dulu. Itu jaman dodol (jaman dulu, red) , hingga dari sana dia terus berkarya,” papar Putu Satria Kusuma, salah satu penggagas Festival Monolog 100 Putu Wijaya.
Bukan hanya itu juga, Festival monolog dimanfaatkan untuk menggelorakan teater murni, terlepas dari even pemerintah. Selama ini, even pemerintah dibidang teater juga sangat minim dan terbatas. Disi sisi lain, jikapun harus memaksa pemerintah untuk menggelar even maka harus ada relasi kekuasaan atau birokrat.
“Sehingga dari kondisi ini teater tidak bisa diakomodasi secara penuh. Karena itu kami melakukan gerakan teater swadaya supaya teater ini tidak mati. Ternyata secara swadaya, mulai dari zonasi pementasan secara mandiri, mencari pemain dan lainnya mendapat sambutan positif dari banyak kalangan. Donasi juga ada yang masuk dan itu lebih banyak bersifat pribadi,” terang Putu.
Festival monolog ini akan dipentaskan di seluruh Bali. Pementasan terakhir akan digelar di Kota kelahiran Putu Wijaya di Kabupaten Tabanan. Namun pementasannya dihelat di sebuah desa di Kecamatan Marga. Pementasan terakhir akan menggarap monolog dengan latar budaya pertanian.
Sementara itu, salah satu Sastrawan Buleleng, Hardiman juga menyambut positif Festival Monolog 100 ini. Menurutnya, Festival Monolog di Singaraja ini mencerminkan –perkembangan dunia sastra, di Buleleng semakin baik.
—
Selain orasi budaya Putu Wijaya yang dibacakan oleh Putu Satriya Kusuma, ada tiga pementasan di hari pertama, diantaranya “Kemerdekaan” yang dimainkan oleh Julio Saputra. Monolog Kemerdekaan garapan sutradara Kadek Sonia Piscayanti dari Komunitas Mahima.
Ada juga lakon monolog “Ih” garapan Putu Satriya Kusuma. Putu Satriya menyerahkan lakon ini kepada seorang aktris drama gong, Ayu Sri Damayanti. Serta lakon ketiga yakni, monolog dengan judul “Surat Kepada Setan” yang dimainkan seniman Teater Kalangan, Anak. Agung Ngurah Anggara Surya dan I Ketut Manik Sukadana.
Pentas monolog dari ketiga lakon itu memang cukup ciamik hingga mendapat sambutan hangat dari para pecinta seni teater. Apalagi, sebuah aksi panggung mengejutkan memang datang dari Pentas Ayu Sri Damayanti. Putu Satria mempercayakan lima peran sekaligus dalam satu dialog monolog itu kepada Ayu Sri Damayanti.
Awalnya, kata Putu, Dirinya hendak memainkan dua pemain dalam Monolog “Ih” itu. Namun, ketika melihat potensi akting Ayu, justru dirinya merasa berani untuk memberikan lima peran itu terhadap Ayu.
“Beruntungnya, Dia mau berserah dan mendengarkan arahan saya. Saya berikan gambaran tentang akting teater. Saya juga ingin agar dia tidak hanya terjebak dengan akting dari drama gong. Biasanya pemain drama tradisional itu agak kaku, tetapi ternyata dia punya potensi yangluar biasa untuk itu.” jelas Putu Satriya.
Menurut Putu, Ayu digembleng selama kurang lebih satu bulan. Dia pemain drama gong yang sudah terbiasa melakoni peran drama stereotipe, atau peran-peran seorang tuan putri. Akting seperti itu, kata Putu, sangat Pop dan tidaklah banyak tantangan.
“Kecuali menangis-menangis seperti itu. Maka itu saya merubah karakter agar dia bisa memainkan peran dalam monolog ini dengan akting realis,” ujar putu yang juga telah mendapatkan berbagai penghargaan dalam bidang film dokumenter.
Dibalik proses penggemblengan tehadap Ayu untuk pementasan Monolog 100 Putu Wijaya ini, Putu Satriya justru menemukan pintu masuk untuk merubah karakater akting drama gong Bali utara. Dan itu memungkinkan sekali, kata Dia.
Berbeda dengan pakem drama gong Bali Selatan, yang sudah didoktrin dengan pakem sendratari sehingga aktingnya sangat klise. Drama gong Bali utara yang dominan dipengaruhi oleh tehnik stambul sangat memungkinkan untuk merubah gaya atau akting.
“Drama gong Bali utara, pakemnya dipengaruhi dari tehnik stambul. Tehnis stambulan sama dengan akting realis. Selama ini akting drama gong Bali utara nyaris terjebak dan mengikuti gaya Bali Selatan karena pengaruh kekuatan dari Bali Selatan.” Ujarnya.
Beberapa bulan kedepan, Putu dipercaya Dinas Kebudayaan untuk menggarap sebuah drama dengan latar kolaborasi gaya Bali utara dan Bali selatan. Seperti apa nantinya, kita tunggu bersama karya maestro tetaer dari Banyuning ini. |NP|