Krama Desa Pakraman melaksanakan melasti ke sungai sebagai segara alit | Foto: Gustri|
Singaraja, koranbuleleng.com | Ribuan warga Desa Pakraman Busungbiu menjalankan tradisi Melasti di Sungai, Selasa 5 Maret 2019.
Keyakinan masyarakat setempat,
Sungai sebagai “Segara Alit” atau “Pakiisan”. Jika ada ritual Pujawali di desa setempat, tradisi pakiisan juga dilaksanakan di lokasi yang sama.
Ribuan krama desa tampak turut serta mengiringi Pralingga Ida Bhatara dengan berjalan kaki sejauh lebih kurang 2 kilometer dari Pura Puseh Desa menuju Pura Segara Alit. Pura Segara alit dimaksud terletak di sebelah utara Desa Busungbiu, berbatasan dengan Desa Mayong, Kecamatan Seririt.
Kelian Desa Pakraman Busungbiu I Nyoman Dekter menuturkan, tradisi Melasti ke Segara Alit ini sudah menjadi tradisi turun temurun, yang diyakini dilaksanakan sejak desa Busungbiu terbentuk.
Selain karena faktor Desa Busungbiu tidak memiliki laut atau pantai, dia juga meyakini bahwa ada faktor niskala yang dijadikan pertimbangan oleh leluhurnya terdahulu sehingga memilih Segara Alit ini sebagai tempat Melasti.
“Bagi kami, air sungai ini juga akan bermuara ke laut. Secara alami, air sungai berhulu di danau dan bermuara di laut. Sungai juga bisa menghanyutkan leteh atau menuju laut,” jelasnya.
Masih ungkap Dekter, upacara Melasti diawali dengan mendak Serajeg Due Ida Bhatara (Pralingga) yang berstana di Pura Kahyangan Tiga dan Pura Penawing dari rumah Pemangku masing-masing pura, selanjutnya dibawa ke Pura Puseh Desa.
Pura Penawing sendiri merupakan beberapa pura pendamping yang ada di wewidangan Desa Pakraman Busungbiu.
“Yang mendak itu para Kraman (teruna teruni). Setelah itu dilaksanakan upacara Biakala Dewa, baik untuk Pralingga Ida Bhatara dari Kahyangan Tiga dan Penawing, maupun dari masing-masing merajan,” lanjutnya.
Taenan (simbolisasi) pengiring dari masing-masing merajan sendiri diperkirakan mencapai lebih dari 75 buah. Itu berasal dari seluruh Merajan yang ada di wewidangan Desa Pakraman Busungbiu.
Setelah Pengogongan atau Palinggihan Pratima sampai di Pura Segara Alit, pengusung wajib mencuci kakinya terlebih dulu di sungai sebelum akhirnya pengogongan dimaksud diletakan pada altar yang sudah disediakan.
Dulunya, di sekitaran Pura Segara Alit ini hanya ada satu buah batu besar sebagai tempat menghaturkan sesaji. Barulah sekitar 2 tahun yang lalu dibangun Pura Segara Alit dengan satu buah Padma sebagai pelinggih utama.
Sisi unik lainnya dari tradisi Melasti Desa Pakraman Busungbiu ini yaitu harus adanya rangkaian Nedunang Ida Bhatara, ditandai dengan terjadinya Kerauhan sejumlah orang yang menjadi petapakan Ida Bhatara.
Menurut Dekter, Nedunang Ida Bhatara ini menjadi ritual wajib untuk dilaksanakan dalam setiap upacara yadnya yang digelar oleh Desa Pakraman Busungbiu. Kepercayaan masyarakat adat, kerauhan ini menjadi pertanda diterimanya upacara yadnya yang dilaksanakan oleh Krama Desa Busungbiu. Warga sering menyebut Kerauhan ini sebagai tradisi daratan.
“Tanpa adanya Daratan (orang kerauhan) yang menandakan Ida Bhatara sudah turun dan menyaksikan, rasanya upacara itu kurang pas, masih ada yang kurang. Daratan ini dianggap menjadi penantu sah atau tidaknya upacara yang kami laksanakan,” tutup Dekter. |NP|