Gedong Kirtya, Museum Pelestari Pemikiran Nusantara

Singaraja, koranbuleleng.com| Susunan rapi ratusan kropak di dalam Gedong Kirtya, di Jalan veteran, Singaraja, menarik bagi sejumlah kalangan. Mereka yang pastinya tertarik dengan isi kropak itu adalah kaum cendekiawan, peneliti, akademisi, bahkan para Balian (paranormal) sekalipun.  Isi Gedong Kirtya ini mungkin tidak akan masuk dalam daftar ketertarikan bagi kaum anak muda milenial, karena bisa jadi itu bukanlah latar menarik untuk spot swafoto.

Gedong Kirtya adalah salah satu museum lontar di Bali, bahkan diklaim sebagai museum lontar satu-satunya di dunia. Kropak-kropak itu isinya lontar berumur ratusan tahun.

- Advertisement -

Lontar sebagai manuskrip masyarakat Bali, telah mengangkat citra tradisi peradaban Bali, di tengah-tengah peradaban intelektualitas peradaban dunia. Untuk di Bali, warisan dan tradisi lontar sudah sangat tua. a.

Bediri sejak 2 Juni 1928, Museum Gedong Kirtya memiliki ribuan koleksi manuskrip daun lontar, prasasti, manuskrip kertas dalam bahasa Bali dan huruf Romawi termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial. Khusus untuk lontar di Museum Gedung Kirtya ada lontar tentang Tantri, Babad, Itihasa (Wiracarita), Wariga, Agama, dan Weda (Bali). Gedong Kirtya dulu didirikan oleh seorang tokoh asal Belanda di jaman Pemerintah Hindia bElanda menguasai Nusantara, yakni L.J.J Caron.

Walaupun menyimpan sebuah keunikan karena Gedong Kirtya ini juga disebut sebagai satu-satunya museum lontar di Dunia, namun museum yang berlokasi di kawasan Sasana Budaya Singaraja ini memang bukan menjadi salah satu tempat berwisata yang favorit untuk dikunjungi.

Untuk pengunjung lokal saja misalnya. Mereka yang datang secara khusus biasanya mengkaji lontar yang diinginkan sebagi referensi. Bahkan, tak jarang pengunjung yang datang  untuk meneliti dan mengkaji berbagai jenis lontar untuk menunjang studi akademik.

- Advertisement -

Selain pengunjung lokal, museum yang beralamat di Jalan Veteran Singaraja ini juga kerap kali mendapat kunjungan dari wisatawan mancanegara. Sebagian besar wisatawan yang datang berkunjung masih didominasi dari Eropa.

Hal itupun diakui oleh Sugi Lanus. Pria yang dikenal sebagai seorang budayawan sekaligus peneliti lontar ini menyebut jika Gedong Kirtya cukup popular di Eropa khususnya Belanda dan juga di Amerika. Bahkan, para peneliti dan akademisi Belanda yang ingin menyelesaikan studi doktornya di Leiden untuk belajar Sejarah Nusantara, maka rujukannya adalah datang ke Gedong Kirtya untuk melakukan riset.

Menurutnya, Gedong Kirtya tak hanya menyimpan tentang sejarah Bali. Tetapi juga menyimpan peninggalan Jawa Kuno yang rentang waktunya sampai dengan 14 abad. Mulai dari jaman Medang, Majapahit, Kediri, hingga Singosari.

“Jadi bukan hanya menyimpan pemikiran Bali, tetapi juga pemikiran Nusantara, baik dalam bentuk mantram, pengobatan dan lain-lain” jelasnya. Disini, bagaimana rekaman masa silam Indonesia Bagian Barat (Jawa, Sumatera, Kalimantan, Red) ini tercatat di Gedong Kirtya, lewat Kitab Negara Kertagama yang termuat dalam lontar,” jelasnya.

Sugi Lanus mengatakan, Gedong Kirtya disebutkan sebagai harta bagi Buleleng. Hanya saja, masih banyak masyarakat khususnya anak-anak muda yang belum menyadari hal itu. Lihat saja, seperti apa tingkat kunjungan anak-anak muda Buleleng ke Gedong Kirtya yang memang masih minim.

Hal itu dikarenakan persoalan yang dihadapi generasi muda saat ini memang enggan membaca lontar. Sehingga, pengelola Gedong Kirtya harus menyiapkan format baru demi menarik minat pembaca dari kalangan milenial.

“Sekarang yang perlu dikerjakan adalah mentranskrip, menyadur ke dalam bahasa yang lebih memadai, mencetak menjadi buku digital, dan formatnya harus ramah milenial seperti Instagram, dan masuk media sosial. Sehingga kian tertarik berkunjung dan membaca lontar,” ujarnya.

Nah ternyata, keberadaan ribuan jenis lontar ini menarik Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI untuk membuat Anotasi Bibliografi dari manuskrip lontar yang ada di Gedong Kirtya. Hal itu terlihat saat Direktur Sejarah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Triana Wulandari mengunjungi Museum Lontar Gedong Kirtya, Jumat 26 Juli 2019. Hal itu dilakukan untuk menindaklanjuti Undang-Undang Kemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017.

Dalam salah satu pasal disebutkan jika ada sepuluh objek pemajuan kebudayaan mulai dari tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, dan ritus. Sejalan dengan itu, di Gedong Kirtya sendiri sudah menyimpan ribuan manuskrip lontar berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Menurut Triana Wulandari, untuk membuat generasi muda kian bergairah belajar sejarah lewat manuskrip, pihaknya pun berencana membuat Anotasi Bibliografi. Artinya akan membuat bentuk tulisan yang memaparkan kajian atau ringkasan singkat dari beberapa buku dan artikel yang saling berkaitan di seluruh titik wilayah.

“Manuskrip itu kan hakikatnya ruh dari pengetahuan, yang seharusnya dikenalkan pada generasi muda. Ini sebagai sumber dalam memahami sejarah bangsa, sejarah masyarakat,”terangnya.

Rencananya akan ada 103 cakep lontar yang berasal dari babad yang akan dituangkan dalam Bibliografi yang disusun Kemendikbud. Bibliografi itu akan dicetak dalam bentuk buku. Selain itu akan diunggah dalam bentuk buku elektronik. Sehingga masyarakat luas dapat mengaksesnya dengan bebas sebagai sebuah pustaka budaya.

Dalam kunjungannya itu, Triana juga mengisyaratkan Gedong Kirtya akan menerima bantuan untuk proses digitalisasi lontar. Ia bahkan telah menginstruksikan Balai Pelestari Nilai Budaya (BPNB) Bali mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang ada di Gedong Kirtya.

“Salah satu poin perlindungan manuskrip ya digitalisasi. Seharusnya ada titik tolak untuk perlindungan manuskrip. Kami di Bali punya BPNB Denpasar. Sehingga setelah hari ini, ada titik awal kerjasama yang bisa memuat program-program prioritas yang dibutuhkan,” tegasnya. |Rika Mahardika|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts