Singaraja, koranbuleleng.com | Krama (warga) Desa Adat Cempaga sedang melaksanakan pujawali satu hari setelah hari raya Kuningan atau dalam penanggalan kalender Bali bertepatan dengan hari Redite Umanis Langkir, Minggu 4 Agustus 2019. Pujawali ini diyakini secara turun temurun sebagai cara untuk merayakan kemenangan dharma atas adharma.
Untuk merayakan itu, selama pujawali yang berlangsung selama seharian atau 24 jam, ditarikan tari-tarian wali yang disakralkan oleh warga desa adat setempat. Ada Tari Jangkang, Tari Baris Jojor, Baris Dadab, Tari Pendet, Tari Rejang. Semua tari itu ditarikan secara berurutan karena mempunyai makna sebagai puncak kemenangan dharma.
Bendesa Adat Cempaga, I Nyoman Dira menjelaskan tari-tarian ini hanya bisa dipentaskan di Pura Puseh, Desa, Dalem lan Bale Agung yang menjadi dalam satu pura.
“Dengan acuan pertempuran dharma melawan adharma, sebagai kisah kemenangan dharma makna daripada hari raya Galungan dan Kuningan. Maka diadakanlah penyambutan dengan tari wali berupa tari Jangkang Baris Jojor, Baris Dadab dengan Taksu Banyol, Tari Banyol dan Tari Rejang,” terang Dira.
Tari Jangkang ditarikan paling awal setelah krama melaksanakan persembahyangan pada pujawali. Tari Jangkang ini sebagai simbol prajurit muda yang berperang mengalahkan adharma. Setelah itu, ditarikan tari Baris Jojor, merupakan gambaran prajurit perwira gagah berani yang mempunyai pasukan prajurit yang pemberani.
Kegagahan dan kegigihan para prajut yang dibina oleh prajurit perwira nan gagah itu digambarkan dalam tarian Tari Baris Dadab. Tari Baris Dadab ini diiringi juga dengan tari Taksu Banyol. Para penari Taksu Banyol ini menggunakan topeng khas Desa Pedawa. Tari Taksu Banyol ini sebagai bentuk kelemahan manusia yang tidak mampu mengendalikan diri menghadapi adharma.
Setelah itu, ditarikanlah Tari Pendet dan terakhir Tari Rejang. Tari Pendet ini menyimbolkan pesta setelah kemenangan dharma. Dalam pesta itu menggambarkan godaan oleh para bidadari. Godaan bidadari itu digambarkan dalam Tari Rejang, yang ditarikan oleh sejumlah perempuan.
Menurut Dira, memang ada beberapa acuan untum menarikan beberapa tarian wali tersebut. Misalnya, Tari Jangkang harus ditarikan oleh anak-anak yang sudah ketus atau tanggal (pergantian, red) gigi.
Sementara Tari Baris Jojor dan Baris Dadab, ditarikan oleh pria 17 tahun keatas atau sudah berkeluarga. Sementara Tari Rejang adalah ditarikan krama dee, atau bisa perempuan yang masih lajang. “Mereka yang menari rejang ini belum jalani perkawinan dan tidak boleh sebel.” kata Dira.
Kata Dira, Pujawali dan tari-tarian wali yang dipentaskan ini tidak bisa dilaksanakan bilamana desa adat sedang mengalami cuntaka. Ada tiga kategori cuntaka yang dipercayai oleh warga desa adat setempat, yakni, cuntaka desa ketika terjadi proses pengabenan. Kedua cuntaka kahyangan desa, yaitu apabila ada para hulu yang mempunyai kedudukan meninggal (laki atau perempuan). Cuntaka kahyangan desa ini selama 42 hari.
Lalu ada cuntaka dadia dan cuntaka perseorangan. Kalau cuntaka dadia atau perseorangan, keluarga dadia (satu keluarga besar) tidak diperkenankan untuk melakukan persembahayangan ke pura.
Para penari tari wali tersebut adalah warga desa adat Cempaga. Mereka, sudah berpengalaman menghaturkan ngayah setiap kali ada pujawali di desanya.
Pada umumnya, gerakan tari-tarian ini sangat sederhana dan nyaris sama. Begitupun dari sisi pakaian, menggunakan sejumlah selendang penuh warna-warni yang membalut tubuh serta menggunakan gelung pada bagian kepala.
Salah satu pemuda desa yang seringkali menari untuk tari-tarian wali ini adalah Kadek Juli Agus Suryawan. Juli sudah menari sejak masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.
“Saya hanya ingin ngayah dan melestarikan tarian ini sebagai warisan leluhur. Kalau bukan kita lalu siapa lagi yang melestarikan,” kata Juli.
Juli menarikan tari Baris Jojor. Tari Baris Jojor ini ditarikan oleh seorang lelaki sebagai makna seorang perajurit perwira yang gagah berani untuk berperang dengan adharma.
Menurut Juli, gerakan tari Baris Jojor memang sederahana dan tergantung dari pembawaan tarian oleh penarinya sendiri. Namun, ada arah gerakan tari yang tidak boleh ditinggalkan. “Setiap gerakan tari itu harus menuju pada titik dari masing-masing bangunan bale di dalam area madia mandala pura,” ucapnya.
Menurut Juli, ada beberapa sisi penari saat menarikan tarian ini. Ada yang memang belajar, namun ada juga karena mendapatkan wahyu ataupun karena keturunan sebagai penari sakral di desa itu. Intinya, memang para penari itu menari atas dasar ngayah dan pelestarian seni budaya desa yang dilahirkan oleh leluhur di desa adat Cempaga.
Struktur Desa Adat Cempaga
Desa Cempaga adalah salah satu desa tua di wilayah Bali aga di Kabupaten Buleleng. Struktur pemerintahan desa adat juga masih menggunakan struktur dari warisan leluhur mereka. Kedudukan tertinggi dalam desa setiap upacara adat disebut Hulu Apad atau Hulu Desa.
Sementara Bendesa Adat bersama prajuru berada dibawahnya membantu Hulu Desa dalam pelaksanaan upacara. Bendesa adat bertanggungjawab pada bidang Parahyangan (upacara dan pembangunan) Pawongan (pelayan krama) dan bidang Palemahan (wilayah desa).
Ada beberapa tingkatan dalam hulu desa, yakni Bankenawan (tidak terlihat), Bankekee (tugu), Takin Kenawan, Takin Kekee, Keban, dan Penglungguan.
“Dan dibawah itu ada Pasek dan klian tempekan, lalu ada krama ngarep,” terang Dira. |NP|