Hidup Bergantung Dari Sadapan Nira

Wayan Jaya memproduksi arak secara sederahana di dapur rumahnya. |FOTO ; PUTU NOVA A PUTRA|

Singaraja, koranbuleleng.com | Pagi hari, Wayan Jaya, warga Banjar Celagi Batur, Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula menjalani rutinitasnya, mengambil nira dari sadapan kemarin sorenya. Jaya hanyalah warga miskin yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari pohon enau atau aren.

Dia tinggal diatas lahan pinjaman milik seorang warga di desa setempat. Dia hidup bersama keluarganya, satu istri dan dua orang anaknya. Satu orang perempuan baru menamatkan sekolah tingkat atas, dan satu lagi seorang lelaki masih duduk di bangku SMP.

- Advertisement -

Ada anak-anak lainnya, namun sudah menikah dan tidak tinggal bersamanya. Jaya sudah tua, tubuhnya sebenarnya sudah terlihat agak ringkih, namun dia masih tetap berusaha kuat memanjat aren untuk menyadap nira. Nira inilah yang dijadikan tuak dan arak.

Sore menyadap, dan memasangi sadapan itu dengan ember plastik, keesokan paginya diambil. Tuak itu di produksi sebagai arak khas Bali. Namun, jika ada yang memesan khusus sejerigen tuak, maka Jaya akan membersihkannya langsung dari atas pohon mulai dari sadapan, supaya ketika diminum, tuak ini serasa lebih nikmat.

Sementara produksi untuk arak, dikerjakan dengan cara fermentasi secara tradisional. Cukup memanaskan tuak diatas tungku dengan bara api kayu bakar. Lalu hawa panas tuak ini akan mengalir menjadi arak dan dialirkan melalui pipa. Diujung pipa, sudah disediakan jerigen berkapasitas sekitar 5 liter.  Prosesnya kurang lebih selama lima jam. Jaya bersama istrinya, harus tetap menjaga bara api itu tetap stabil untuk menjaga kualitas arak.

Kapasitas jerigen lima liter itu terkadang tidak bisa terisi penuh dengan arak. Jaya menjual arak dengan harga Rp 10 ribu per 600 ml. Dia tuang arak produksinya ke botol-botol bekas air mineral yang sudah dibersihkan.

- Advertisement -

“Maksimal dalam satu hari bisa menghasilkan 10 botol saja. Harga perbotol saya jual Rp 10 ribu tetapi ada yang mencari langsung ke rumah,” terang Jaya di rumahnya.

Jaya memproduksi arak ditengah dapur yang amat sederhana. Dinding dapurnya terbuat dari rumbai daun kelapa dan lantainya masih dari tanah. Dia membuat satu tungku tradisional untuk memfermentasi arak tersebut. Untuk memanaskannya menggunakan bahan kayu bakar.

Hasil dari produksi arak dan tuak ini digunakan Jaya hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Dia tidak bisa menabung lebih dari hasil penjualan arak dan tuak yang disadap dari pohon aren itu. Bukan hanya untuk kebutuhan pokok saja, namun ada biaya lain yang harus dia tanggung juga.

Wayan Jaya naik Pohon aren atau enau |FOTO : PUTU NOVA A PUTRA|

Musim kemarau adalah musim rejeki bagi Jaya. Di musim ini, Pohon aren biasanya mengeluarkan nira yang banyak. Berbeda bila musim hujan, cairan nira biasanya sangat sedikit. Selain itu, memanjat aren di musim hujan penuh resiko, yakni batang Pohon aren biasanya licin.

“Banyak yang terjatuh, bahkan ada yang terjatuh memanjat aren karena licin di musim hujan. Musim hujan memang tidak bagus juga, karena produksi tuak sedikit,” ujarnya.

Selama bertahun-tahun menggantungkan hidup dari pohon aren, belum membuat Jaya sejahtera. Harga produk arak ataupun tuak ditingkat perajin atau petani masih jauh dari kata layak. Apalagi, bila bermodal sedikit, tentu perajin arak ini hanya bisa mengandalkan produksi dengan sangat terbatas.

Ditengah kerunyaman ini, perajin arak memang merasa terlindungi dengan Pergub Bali nomor 1 tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi Khas Bali. Dalam regulasi itu, minuman khas bali yang diatur yakni Tuak Bali, Brem Bali, Arak Bali, Brem atau Arak Bali untuk Upacara Keagamaan.

Pergub Bali tersebut muncul untuk mendukung ekonomi Bali yang berkelanjutan dengan berbasis budaya sesuai dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali.  Pergub ini dilahirkan dengan tujuan untuk membangun standardisasi produksi untuk menjamin keamanan dan legalitas produk minuman fermentasi dan/atau destilasi khas Bali dan melindungi masyarakat dari pangan yang tidak memenuhi syarat mutu dan keamanan.

Namun bila melihat kondisi Jaya sebagai perajin arak selama bertahun-tahun, belum membuatnya sejahtera. Pergub Bali ini juga baru sebatas membuat Wayan Jaya gembira karena tidak lagi harus secara sembunyi-sembunyi menjual produksi arak yang dibuatnya.

Wayan Jaya adalah keluarga penerima manfaat dari Program Keluarga Harapan (PKH) di kecamatan Tejakula. Sebagai peserta KPM PKH, ini menjadi keberuntungan. Kebutuhan keluarganya terbantu.  Dia juga didampingi oleh Pendamping Sosial PKH, Putu Wiwid Setiadi. Sebagai pendamping sosial dari Wayan Jaya, Wiwid seringkali ikut memasarkan produk arak yang dibuat oleh Wayan Jaya kepada konsumen.

“Produk Arak ini kan sudah menjadi bagian dari kearifan lokal Budaya Bali. Kami sebagai pendamping sosial juga ikut membantu memasarkan, minimal menunjukkan kepada orang-orang yang membutuhkan arak untuk kebutuhan upacara agar membeli kepada keluarga Wayan Jaya,” terang Wiwid.

Menurut Wiwid, banyak keluarga yang tidak mampu di wilayahKecamatan tejakula menggantungkan hdup dari produksi arak. Arak diproduksi dalam jumlah terbatas sebagai produk rumah tangga. “Mereka tidak mempunyai modal, dismaping itu tergantung dari hasil sadapan tuak, banyak atau sedikitnya,” kata Wiwid. |NP|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts