Seorang ibu rumah tangga juga bekerja sebagai pembuat dodol di Desa Penglatan |FOTO : EDY NURDIANTORO|
Singaraja, koranbuleleng.com | Wayan Artawan, seorang wirausahawan dodol di Desa Pengelatan, Kecamatan Buleleng, tampak sibuk merapikan dodol yang sudah terbungkus daun jagung kering. Dodol Pengelatan ini terkenal di seantero Bali, dan jadi “etalase” oleh-oleh kuliner tradisional khas Buleleng.
Dia mulai bercerita, “Tahun lalu, menjelang hari raya Galungan, rumah kami ini setiap hari penuh dengan dodol. Tapi sekarang kami kurangi produksi karena COVID 19, takut tidak ada yang memesan,” tutur Artawan.
Artawan mewarisi usaha Dodol dari ibunya, Luh Astini. Namun ditengah situasi Pandemo Corona Virus Deases (COVID) ini, dia sengaja menurunkan jumlah produksinya karena kekhawatiran itu.
“Tapi saat kami turunkan julah produksi, beberapa hari lalu tiba-tiba saja ada yang pesan hingga 100 kilogram, kami jadi kewalahan juga,” katanya.
Ketidakpastian karena wabah COVID 19 ini memang membingungkan para produsen dodol di Desa Penglatan. Mereka berfikir, COVID ini benar-benar menghentikan segala transaksi ekonomi, sehingga produksinya terpaksa diturunkan sementara hingga dirasa situasi kembali normal.
Artawan menceritakan, usaha dodolnya sudah berjalan hampir 10 tahun. Awalnya hanya hanya mempekerjakan 3 orang karyawan. Saat ini, sudah mempekerjakan 15 orang ibu-ibu rumah tangga dari desa Penglatan.
Nyaris, semua ibu rumah tangga di desa Penglatan punya pekerjaan sebagai buruh pembuat dodol. Mereka biasanya datang ke tempat usaha pembuatandodol setelah segala bentuk pekerjaan rumah tangganya di rumah-masing-masing telah selesai dikerjakan.
Menjelang hari raya Galungan dan Kuningan ini, harga harga dodol mencapai Rp28.000/kilogram. Harga dodol biasanya fluktuatif menyesuaikan dengan harga bahan baku.
“Kalau bahan bakunya harganya turun kami jual lebih murah. Begitu juga kalau harga bahan naik, kita naikan juga harganya” imbuhnya
Pria 35 tahun ini menambahkan, dodol yang ia produksi di pasarkan hingga ke Gianyar, Denpasar, Jembrana, Bangli, Klungkung dan Badung. Jenis dodol hitam biasanya paling laris dicari konsumen. Dodol Penglatan kini bukan lagi dibeli hanya untuk keperluan hari raya Hindu di Bali. Namun sudah menjadi oleh-oleh khas tradisional asal Buleleng. Bahkan, banyak yang memesan dodol Penglatan dari luar Pulau Bali.
“Kalau pesanan dari Bali, sudah sering. Biasanya pemesan bukan menjelang hari raya namun untuk konsumsi biasa seperti dari Jakarta dan Surabaya,” terangnya.
Di Kabupaten Buleleng sebenarnya banyak sentra produksi dodol melalui industri-industri rumah tangga. Namun desa yang paling popular sebagai penghasil dodol adalah Desa Penglatan.
Dengan jumlah penduduk sekitar 4300 orang, sebagian besar masyarakat di Desa Penglatan memiliki industri rumah tangga produksi dodol.
Saat ini tercatat secara resmi di administrasi Pemerintahan Desa Penglatan, terdapat 32 usaha dodol dan telah memiliki perijinan sebagai usaha kecil dan menengah. Ada delapan usaha produksi dodol yang belum terdaftar.
Proses produksi dodol membutuhkan tenaga kerja yang tidak sedikit, sehingga masyarakat desa Pengelatan mempunyai pekerjaan tetap khususnya bagi ibu rumah tangga.
“Mulai dari mengolah bahan baku, hingga produksi di atas tungku sampai membungkus butuh tangan terampil manusia. Jadi orang tua juga bisa dipekerjakan. Apalagi dekat hari raya seperti sekarang, produksi biasnaya meningkat dan butuh tenaga kerja banyak ,” terang Perbekel Penglatan, Nyoman Budarsa.
Budarsa menuturkan dulu banyak warga Desa Penglatan yang kurang mampu dan memilih mencari pinjaman untuk memenuhi kebutuhan untuk hari raya maupun kebutuhan hidup sehar-hari.
Namun, semenjak banyaknya perusahaan dodol tidak ada lagi ada keluhan masyarakat mencari pinjaman untuk membeli keperluan hari raya.
“Ini damapk positif ketika banyak warga membuat usaha dodol di desa Penglatan, saya merasa bangga karena serapan tenaga kerja banyak. Sekarang tidak ada lagi istilah masyarakat ngebon belanja. Apalagi untuk keperluan hari raya,” lanjut Budarsa ketika ditemui di kantornya, Selasa 8 september 2020
Meski tidak banyak, kata Budarsa jumlah UMKM Produksi Dodol ini semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Namun Budarsa juga harus menghela nafas ketika Pandemi ini menyerang. Dia merasa sedih karena banyak produsen dodol harus mengurangi produksinya karena ketakutan tidak ada pesanan. Situasi ekonomi yang tidak menentu ini menjadikan, produsen dodol di Desa Penglatan lebih banyak berhitung supaya tidak merugi.
Menurut Budarsa, dalam kondisi normal tanpa serbuan COVID 19, pengusaha dodol biasanya bisa menghasilkan dodol paling rendah sebanyak 2 ton dan paling banyak hingga 7 ton.
“Saya cek ke pengusaha dodol banyak membatasi jumlah produksinya karena takut tidak ada yang membeli karena dampak corona, tapi ternyata menjelang Galungan ini banyak juga konsumen yang tidak kebagian dodol,“ pungkasnya.
Pewarta : Edy Nurdiantoro
Editor : Putu Nova A.Putra