Tradisi Wanaralaba Persembahkan Makanan Berlimpah untuk Duwe Pura Pulaki

Tradisi Wanara Laba. Anak-anak ngayah memberikan makanan secara berlimpah terhadap kawanan kera yang berada di wilayah Pura Pulaki |FOTO : I Putu NOVA A.Putra|

Singaraja, koranbuleleng.com | Beberapa anak-anak, perempuan dan lelaki, tampak berbalut pakaian adat Bali di beberapa sudut area Pura Pulaki, Desa Banyupoh, Gerokgak.

- Advertisement -

Mereka adalah anak-anak sekolah yang satiap hari ngayah di pura Pulaki, untuk menjaga dan mengantar para pemedek (umat) yang tangkil ke Pura Pulaki agar tidak diganggu kerumunan kera-kera di wilayah itu.

Ribuan kera yang ada di Pura Pulaki ini diyakini sebagai mahkluk duwe (mahkluk halus) sebagai pasukan dan penjaga dari Ida Bhatara Lingsir yang bersthana di Pura Pulaki. Kera-kera ini disebut sebagai wanara.

Tepat pada saat Purnama Sasih Kapat, yang jatuh pada Kamis 1 Oktober 2020, saat Pujawali di Pura Pulaki ribuan wanara atau kera di Pura Pulaki, Desa Banyupoh, Kecamatan Gerokgak diberikan makanan berlimpah. Mulai dari buah-buahan, pisang, bunga gumitir, dan telur ayam yang dihaturkan pemedek saat pujawali di Pura Pulaki. Prosesi pemberian makanan ini disebut sebagai tradisi wanara laba.

Tradisi wanara laba ini diawali dengan persembahyangan oleh pengempon dan dipimpin langsung oleh Pemangku di Pura Pulaki. Usai persembahyangan, ribuan butir telur, pisang, bunga gumitir, buah-buahan langsung diberikan kepada ribuan kera.

- Advertisement -

Kelian Ageng Pengempon Pura Agung Pulaki,, Jro Nyoman Bagiarta menjelaskan, tradisi wanaralaba rutin dilaksanakan saat pujawali di Pura Pulaku untuk memberikan makanan bagi kera yang diyakini sebagai duwe Ida Nak Lingsir atau Dang Hyang Nirartha.

Tradisi ini sebagai sebagai ungkapan syukur atas anugerah anugerah kesejahteraan yang diberikan kepada umat Manusia. “Sarananya dari hasil bumi, buah-buahan, telor, jagung,” ujar Bagiarta.

Menurut Bagiarta, kawanan kera di Pura Pulaki erat kaitannya dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di masa lalu.  Dalam Purana dicatat,Dang Hyang Nirartha melakukan perjalanan spiritual dari pulau Jawa menuju Bali sekitar Caka 1411.

Ketika melewati hutan di wilayah Purancak, Jembrana, Dang Hyang Nirartha kebingungan mencari arah angin. Kala itu, tujuan utamanya menuju Gelgel.

Ditengah kebingungannya, Dang Hyang Nirartha justru bertemu dengan sekelompok kera. Dang Hyang Nirartha sempat melkaukan percakapan dengan salah satu kera dan mendapatkan sebuah petunjuk. Kala itu, juga terjadi sebuah perjanjian antara kera tersebut dengan Sang Dang Hyang Nirarta.

“Perjanjiannya, jika seketurunan Danghyang Nirartha tidak akan menyakiti kera. Disamping itu, sang kera juga berjanji akan setia mendampingi dimanapun Dang Hyang Nirartha melinggih” ujar Bagiarta.

Setelah menemukan arah ke timur, maka Dang Hyang Nirata kembali menemukan seekor Naga. Lalu masuklah beliau ke dalam mulut Naga tersebut dan memetik tiga buah Bunga teratai kemudian memakainya.

Sementara, anak dan istrinya menunggu di luar. Setelah beberapa lama, Dang Hyang Nirarta keluar dari mulut naga dengan wajah kehitam-hitaman dan kekuning-kuningan. Melihat perubahan wajah suaminya, istri dan anaknya lari tunggang langgang. Sang Istri yang bernama Sri Padmi Keniteng kemudian berada di Pulaki sedangkan anaknya yang bernama Dewa Ayu Swabawa berada di Melanting.

Sang istri tidak mau melanjutkan perjalanan ke Gelgel. Begitu pula dengan anaknya. Karena keberadaan Dewa Ayu Swabawa di Melanting telah diketahui masyarakat, maka penduduk desa yang waktu itu berjumlah 8.000 orang diberikan panugrahan menjadi Wong Gamang agar tak terlihat di dunia manusia. Tugasnya yakni menjaga Dewa Ayu Swabawa dan Istrinya Sri Padmi Keniteng.

Mengingat perjanjian yang dibuat antara kera dan Dang Hyang Nirarta, maka sang kera tidak berani mengingkari janji. Maka, berjagalah kera-kera tersebut di Pura Pulaki untuk turut menjaga Istri Dang Hyang Nirarta.

Berkaca dari Purana kisah kesetiaan kera itulah saat Pujawali di Pura Pulaki, pengempon membuatkan upacara Wanara Laba. Bahkan, tidak yang berani mengganggu maupun menyakiti kawanan kera di pura yang kini jumlahnya mencapai 2 ribu ekor lebih.

Selain diberikan makan besar saat pujawali, ribuan kera duwe tetap diberikan makan tiga kali sehari oleh pengempon. Anggaran pembelian makanan sehari-hari sebut Jro Bagiarta bersumber dari dana pemedek. Namun adajuga warga yang secara iklas menghaturkan buah-buahan untuk kawanan kera disana.

Rupanya pemberian makanan yang dilakukan secara teratur tersebut membuat kera menjadi lebih jinak dan tidak mengganggu pemedek yang nangkil. “Pagi berikan jagung, siang ketela, tomat, pisang. Karena pola makan sudah diatur, sehingga tidak mengganggu pemedek dan merusak kebun masyarakat sekitar,” imbuhnya.

Banyak keunikan dankeanehan diluar nalar manusia. Menurut Jro Bagiarta, tak pernah melihat kera-kera disana beranak pinak. “Tiba-tiba, keranya membawa anak. ini agak unik dan tidak bisa kami ketahui. sangat rahasia sekali,” tuturnya.

Begitupula, jarang melihat bangkai kera hingga membusuk di areal pura. Uniknya, ketika melihat mayat kera, pengempon pura tidak boleh mengambil untuk dikubur.

“Kalau diambil kami bisa diserang. Keranya bisa galak. Biasanya bangkainya itu ditarik oleh kawanan kera dibawa ke atas bukit. Makanya sering dikenal di atas bukit ada setra kera. Saat itu biasanya suasana berkabung dan tak satupun ada kera kelihatan di wilayah pura,” tutup Bagiarta.

Upacara Pujawali Pura Agung Pulaki yang biasanya digelar selama tujuh hari, namun untuk tahun ini berlangsung selama tiga hari terhitung mulai tanggal 1 sampai 3 Oktober 2020 mendatang. Pengurangan waktu Pujawali ini untuk membatasi kerumunan kerumunan dan interaksi ditengah Pandemi COVID 19.

Pada hari yang sama, Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana bersama jajaran pemerintahan lainnya melakukan persembahyangan di Pura Pulaki. Bupati merasa, masyarakat Buleleng sudah mulai lebih adaptip kembali memanfaatkan buah-buah lokal baik untuk sarana uacara dan konsumsi sehari-hari. Termasuk untuk tradisi Wanara Laba di Pura Pulaki.

“Penggunaan buah lokal di Kabupaten Buleleng nampaknya sudah mulai dilakukan oleh kalangan masyarakat Buleleng, baik sebagai sarana upacara maupun konsumsi pribadi. Buah lokal seperti buah jeruk, pisang, anggur serta bunga gumitir dan telur ayam kali ini digunakan sebagai sarana upacara Wanaralaba di Pura Agung Pulaki,” jelas Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana |NP|

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts