Hilangkan Kesenjangan Wujudkan Keadilan lewat Pengarusutamaan Gender

|FOTO : ilustrasi/arsip koranbuleleng.com|

Singaraja, koranbuleleng.com| Tidak dapat dipungkiri jika sampai dengan saat ini, kesetaraan gender yang diharapkan, belum sepenuhnya tercapai. Padahal, berbagai usaha telah dilakukan, dan telah pula terjadi perubahan dalam segala bidang kehidupan.

- Advertisement -

Kesenjangan gender tampak masih terjadi di berbagai bidang pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan di bidang pemerintahan. Gender diartikan sebagai konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan sebagaimana dituntut oleh masyarakat. Gender berkaitan dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat.

Kemudian di masyarakat pun juga tercipta pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki diposisikan pada peran produktif, publik, sedangkan perempuan diposisikan pada peran reproduktif, domestik. Dari perbedaan itu, kemudian muncul sebuah rasa ketidak adilan yang nyatanya memang lebih banyak menimpa kaum perempuan.

Dari kondisi itu, maka sudah selayaknya jika ada sesuatu untuk sekedar mengurangi ataupun bisa menghilangkan kesenjangan tersebut. Sasarannya jelas, adanya keadilan dan kesetaraan gender.

DPRD Buleleng sedang berporses untuk menerbitkan peraturan daerah tentang Pengarusutamaan Gender. Beberaa tahapan untuk menggodok Ranperda sudah dilalui di gedung dewan, bahkan melibatkan beberap akademisi. Komisi IV DPRD Buleleng yang mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Inisiatif tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) ini.

- Advertisement -

Ranperda Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu strategi untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan program yang memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan laki-laki dan perempuan ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.

Melalui rapat paripurna di gedung DPRD Buleleng, Komisi IV pun diminta secara khusus untuk membahas ranperda itu bersama dengan instansi terkait di Pemkab Buleleng.

Ketua Komisi IV DPRD Buleleng Luh Hesti Ranitasari menjelaskan, gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Ketidakadilan gender  terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan yang mencakup proses marjinalisasi sikap, perilaku yang berakibat pada ketidakadilan dan diskriminasi.

Pengarusutamaan Gender baginya bukan sekedar untuk mendapatkan pemahaman tentang perempuan itu sendiri tetapi juga pemahaman tentang laki-laki dari sistem sosial dalam suatu masyarakat. Namun dalam praktik penyelenggaraan Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Buleleng terdapat beberapa ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender antara lain di bidang pendidikan, Kesehatan, ekonomi, pemerintahan, politik.

Di bidang Bidang Pendidikan misalnya, jika dilihat dari angka partisipasi (APK), dominasi laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Kemudian pada bidang Kesehatan terdapat ketimpangan gender pada peserta KB aktif, dimana lebih banyak perempuan sebagai peserta ketimbang laki-laki, ini seolah-olah tanggung jawab melaksanakan KB dibebankan kepada perempuan.

Pada bidang ekonomi yang terkait dengan mata pencaharian penduduk masih didominasi oleh laki-laki. Dimana laki-laki lebih banyak yang memiliki mata pencaharian ketimbang perempuan. Ini sejalan dengan pandangan bahwa laki-laki bertugas mencari nafkah di sektor publik dan perempuan bertugas di sektor domestik mengurus rumah tangga.

Kemudian pada bidang Pemerintahan menunjukkan adanya ketimpangan gender. Pada jumlah anggota perempuan DPRD Kabupaten Buleleng belum mencapai 30 persen, jumlah anggota KPU dan Bawaslu didominasi oleh laki-laki dan Aparatur Sipil Negara juga masih didominasi oleh laki-laki.

“Permasalahan yang dihadapi dalam Pengarusutamaan Gender di Kabupaten Buleleng perlu ditangani dan tidak bisa diserahkan pelaksanaannya hanya kepada Organisasi Pemerintah Daerah (OPD)  yang memiliki tugas dan fungsi pemberdayaan perempuan. Perlu adanya komitmen dari otoritas yang lebih tinggi dan peran masyarakat secara terencana untuk mengadakan sosialisasi dan konsultasi publik untuk meningkatkan kesadaran hukum berkaitan dengan Pengarusutamaan Gender,” jelasnya Rani.

Menurutnya, sudah banyak yang mengetahui jika dalam realitas kehidupan bahwa perempuan dan laki-laki adalah berbeda, sedangkan kesempatan yang sama tidak harus berarti menghasilkan hasil yang sama. Karena perbedaan bukan hanya menyebabkan adanya pembeda dalam pengalaman, kebutuhan, pengetahuan, perhatian tetapi berimplikasi pada perbedaan antara keduanya dalam memperoleh akses dan manfaat dari pembangunan, berpartisipasi dalam pembangunan serta memperoleh manfaat yang adil dari hasil pembangunan.

Untuk mengetahui kesenjangan gender, maka dilakukan analisis dan mengintegrasikan hasil tersebut dalam kebijakan, program, atau kegiatan hingga dalam proses penyusunan rencana aksi dengan Model Gender Analysis Pathway (GAP), Model Problem Based Approach (PROBA) yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan untuk menetapkan masalah gender yang terjadi di tiap instansi atau wilayah.

“Dari model analisis itu, maka monitoring dan evaluasi dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan langkah-langkah dan mengadakan perbaikan apabila diperlukan. Laporan monitoring evaluasi menjadi bahan masukan untuk analisis kebijakan yang diperlukan berikutnya,” ujarnya.

Hesti Ranitasari menyebut jika pemikiran mengenai Pengarusutamaan Gender di Indonesia telah berkembang sejak Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta pada 22 Desember 1928 yang kemudian diperingati sebagai Hari Ibu. Deklarasi Komitmen Bersama Negara dan Masyarakat untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan ditetapkan dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 yang ditindaklanjuti dengan PERMENDAGRI Nomor 15 Tahun 2008 yang didalamnya dimuat tahapan dalam Pengarusutamaan Gender di Daerah, dari mulai perencanaan, pelaksanaan, tahapan pelaporan, pemantauan dan evaluasi termasuk didalamnya diatur tentang pembinaan dan pendanaan pelaksanaan Pengarusutamaan Gender.

Selama ini, mempelajari perempuan tidak akan terlepas dari tiga proses sosial dalam pembentukan realitas perempuan, yaitu konstruksi, dekonstruksi dan rekonstruksi. Pada awal perkembangannya perempuan memang selalu diposisikan pada wilayah domestik, dimana seorang wanita harus berada di rumah mengurusi suami dan anak sehingga muncul konsep bahwa Perempuan yang baik atau sempurna adalah perempuan yang dapat menjadi istri dengan penuh pengabdian melayani suami dan juga menjadi pendidik anak-anak sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Inilah yang selalu ditanamkan pada perempuan sepanjang hidupnya.

“Dengan perkembangan zaman saat ini, dimana perempuan sudah mulai merambah ke wilayah publik, tentunya ada banyak perubahan pada sistem sosial masyarakat. Seperti adanya pembagian peran dalam mengurus anak, termasuk tampilnya perempuan dalam dunia politik. Perempuan yang berusaha keluar dari mitos-mitos penomorduaan kelasnya sebenarnya sedang memperjuangkan haknya sebagai manusia bebas sebagai perempuan dan memperjuangkan eksistensinya untuk sejajar dengan laki-laki,” tegas Rani.

Sementara itu, Rektor Universitas Panji Sakti (Unipas) Singaraja Gede Made Metera juga melihat ada kesenjangan gender dalam berbagai bidang. Hanya saja menurutnya, selama ini kesenjangan itu justru muncul dari kaum perempuan itu sendiri. Salah satu alasannya adalah adanya kesadaran semu.

“Kalau diinterpretasikan ada semacam kesadaran semu di kalangan perempuan, tidak greget mengejar kompetensi karirnya, apalagi kalau laki-lakinya sudah berkarir, biar suami saja berkarir, atau merasa kurang mampu bersaing,” jelasnya.

Kesadaran semu itu memang sudah terbentuk oleh pendidikan dan masyarakat. Seolah, seperti ada kesadaran diri bagi kaum perempuan untuk tidak membuat keseimbangan. Kesadaran semu menimbulkan sebuah kesadaran bahwa beban pekerjaan domestic memang ada pada kaum perempuan.

Menurut Gede Made Metera, aturan mengenai pengarusutamaan gender ini memang penting untuk diterapkan. Namun fungsinya bukan untuk melemahkan posisi kaum laki-laki, atau memperkuat posisi kaum perempuan. Pengarusutamaan gender ini mengatur tentang kesetaraan dan keadilan sesuai dengan potensi masing-masing orang.

“Perempuan dan laki-laki biarkan berkembang sesuai dengan potensinya. Tapi bukan berarti kesetaraan harus 50 berbanding 50, tapi prinsip keseimbangan sesuai dengan potensi yang dimiliki,” ujarnya.

Pandangan berbeda disampaikan Ketua Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI) Kabupaten Buleleng Nyonya Ida Ayu Wardhany Sutjidra menyebut jika pengarusutamaan gender bukan hanya konteks menyetarakan saja, melainkan juga dalam konteks memberikan perlindungan yang luas.

Karena selama ini, masih ada anti feminism yang ingin mempertahankan hegemoni privilege, sehingga hak-hak perlindungan seorang perempuan pun terganjal. Padahal selama ini, dalam ajaran Agama Hindu sudah disebutkan jika sebenarnya perempuan mengambil perannya sebagai ibu rumah tangga dan yang lainnya adalah perempuan yang berperan menjadi pelaku di luar rumah. Sehingga ketika nantinya peran yang kedua dijalani, perempuan Bali akan bisa membagi waktunya dengan baik.

“Bisa dilihat di dharmasastra bab 9 sloka 29, pilihan untuk peran wanita menjadi sadwi at Dharmawadini. Sadwi adalah pilihan untuk menjadi wanita seutuhnya yang mengurus rumah tangga, sedangkan dharmawadini menjadi wanita karir di luar rumah. Jadi untuk pengarusutamaan gender adalah bagian yang sudah menjadi hak kita,” kata Ayu Wardhany.

Sementara itu, sebagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan, Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Buleleng sudah melakukan sejumlah upaya. Melalui berbagai kegiatan penyuluhan juga sudah dilakukan hingga turun langsung ke masyarakat.

Salah satu sasarannya adalah bagaimana perempuan berani bersaing, kemudian bagaimana juga laki-laki bisa menghargai. Hanya saja apa yang selama ini sudah berjalan adalah, kaum perempuan merasa jika posisinya berada satu titik dibawah laki-laki sudah menjadi kodrat.

“Salah satu contohnya adalah soal KB. Yang selama ini diketahui oleh masyarakat luas kan KB itu hanya untuk perempuan, padahal untuk pria kan bisa ber KB namanya Vasektomi. Ini belum banyak yang tahu, karena selama ini kan pemahaman masyarakat yang kodratnya harus ber KB adalah perempuan,” jelas Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Buleleng Made Arya Sukerta.

Keberadaan Ranperda tentang Pengarusutamaan Gender ini diharapkan nantinya menjawab segala keraguan perempuan untuk bisa mengembangkan dirinya menjadi lebih baik. Tanpa harus melupakan kewajibannya sebagai seorang perempuan dan juga istri.

“Perempuan harus berani berkembang, harus berani melangkah menjadi lebih baik. tetapi kan tetap ada kewajiban yang harus dijalani. Selama bisa berimbang, kan akan lebih baik,” tegas Arya Sukerta.

Pewarta : Putu Rika Mahardika

Editor  : I Putu Nova A.Putra

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts