Pancasila Sebagai Gaya Hidup, Agama?

Indra Andrianto |Sumber FOTO : Arsip pribadi|

Setiap negara pasti memiliki yang  namanya ideologi sebagai pedoman hidup dalam kehidupan bernegara. Sebagai bangsa yang dibekali akal pikiran tentu sewaktu-waktu akan muncul pertanyaan dalam dirinya “ideologi itu apa sih?” mengingat ideologi merupakan hal penting yang harus dimiliki suatu bangsa.

- Advertisement -

Jika jawaban tersebut dijawab ala kadarnya bahwa ideologi sebagai pedoman hidup dalam konteks kehidupan ber-bangsa dan ber-negara, tentu akan kembali memicu suatu tanya, “apa tidak cukup dengan adanya ajaran agama dan kitab suci sebagai pedoman ?”.

Hal-hal seperti ini harus segera ditanggapi dengan kejelasan jawaban yang tepat, jangan sampai pertanyaan tersebut bertemu pada jawaban yang justru menimbulkan cikal-bakal kesesatan berpikir dalam tanda kutip akan menyebabkan generasi bangsa ini, mengarah pada paham disintegrasi yang justru mengancam eksistensi dan esensi ideologi Pancasila untuk beberapa tahun kedepan.

Bisa-bisa kita yang hidup dalam keberagaman ini ribut dan tidak harmonis hanya karena memperdebatkan tentang ideologi dan hal tersebut akan terlihat konyol mengingat negara-negara yang sudah maju sudah tuntas tentang perdebatan ideologi. Mereka hanya fokus pada peradaban yang kondusif dengan penekanan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Menanggapi pertanyaan di paragraf pertama. Agama dan kitab suci memang merupakan suatu pedoman dalam diri manusia untuk menjalankan keyakinannya (sesuai ajaran agama masing-masing). Tetapi, bukan berarti kita sebagai manusia yang menjadi suatu bangsa tidak membutuhkan lagi yang namanya ideologi, khususnya ideologi yang mampu membawa kebahagian bagi semua yakni ideologi Pancasila. Mengingat kita tumbuh dan besar di negara Indonesia tercinta ini.

- Advertisement -

Mengutip argumentasi dari cindekiawan muslim sekaligus intelektual muslim Dr. Yudi Latief (Pembina Yayasan Nurcholis Madjid Society) yang menyangkut tentang Agama dan ideologi Pancasila. Tentunya, dua hal tersebut baik ajaran agama dan Pancasila tidak bisa dipisahkan atau memilih salah satu dari keduanya, sebab diantara agama dan ideologi Pancasila ibaratkan satu tarikan nafas sekaligus,  yang berisi nilai-nilai kebaikan bersama,  yakni nilai-nilai Ketuhanan.

Jadi tidak bisa kita memisahkan atau pun memilih dan mengorbankan diantara salah satu. Ketika kita sebagai bangsa Indonesia sudah ber-Pancasila secara otomatis kita menjalankan ajaran baik dalam agama.

Jika mengamati keadaan negara Indonesia yang majemuk dengan pluralitas yang begitu tinggi baik dalam meliputi keberagaman suku, agama, budaya dan bahasa setiap daerah di Indonesia, tentu sangatlah rentan dengan konflik namun semua dapat terhindari jika kita memahami dengan betul tentang ajaran nilai-nilai dari Pancasila yang selaras dengan ajaran agama.

Dan dibalik keberagaman tersebut, bagaimana kita menyatukan perbedaan yang ada tanpa harus menimbulkan suatu pertentangan dan perpecahan dalam negara kesatuan Indonesia? Disinilah peran dan letak fungsi, mengapa kita harus berpegang teguh pada tujuan baik dari adanya ideologi Pancasila.

Meminjam analogi Muzayyin dalam buku Pendidikan Pancasila yang diterbitkan oleh Kemenristek Dikti pada tahun 2016:

“Pancasila seperti jalan aspal yang memberikan arah kemana kendaraan itu dapat dibawa tanpa kerusakan. Berbeda dengan jalan yang tidak diaspal (tanpa ideologi), meskipun kendaraan dapat berjalan tetapi dalam waktu yang singkat kendaraan anda akan cepat rusak. Oleh karena itu, Pancasila merupakan pandangan hidup dan kepribadian bangsa yang nilai-nilainya bersifat nasional yang mendasari kebudayaan bangsa, maka nilai-nilai Pancasila merupakan perwujudan dan aspirasi (cita-cita hidup bangsa)”

Meyakini dan mengamalkan Pancasila dengan sungguh-sungguh tentunya juga akan sejalan dengan ajaran agama yakni ajaran ketuhanan (tidak sama sekali bertentangan), tanpa bermaksud untuk mendikotomi (memisahkan antara dan agama). Karena Pancasila pada konteks tersebut sudah sangat-sangat dijiwai oleh nilai-nilai agama dan Katuhanan. Tanpa nilai-nilai Ketuhanan, sila-sila yang ada dibawahnya tidak akan pernah bersinergi antara satu dengan yang lainnya (ada yang terputus).

Secara resmi ada enam agama yang diakui di negara Indonesia. Namun bagaimana ditengah masyarakat yang berisi multi agama di Indonesia agar tetap hidup saling rukun dan berdampingan dengan damai dalam bingkai persatuan.

Lagi-lagi Pancasila sebagai pedoman hidup bersama, memberikan suatu solusi untuk mempersatukan semua nilai-nilai baik dari semua agama yang diyakini bangsa Indonesia hingga menjadikan nilai tersebut bersifat universal yang mampu diterima oleh semua ajaran agama dan tentunya membawa kebahagian sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Moh. Hatta pada sidang  BPUPKI melalui suara kebatinannya yang mengatakan bahwa negara ini harus membentuk suatu ideologi yang membawa kebahagian bagi semua.

Dan Pancasila pun tidak seenak perut dalam penetapannya sebagai dasar negara yang sifatnya  ideologis, yang pasti terjadi suatu proses dan peristiwa panjang dan pertimbangan yang cukup  alot pada sidang BPUPKI hingga sidang PPKI dan dalam penetapannya pun dihadiri dan disaksikan oleh perwakilan masing-masing dari keberagaman baik itu dari kaum kebangsaaan maupun kalangan tokoh-tokoh agama.

Jadi logika sederhana yang perlu kita pakai, jika sila pertama itu tidak ada atau dihapus, maka akan menjadi suatu permakluman dan tentu akan sangat jelas bahwa negara ini tidak mengutamakan nilai-nilai ketuhanan layaknya negara liberal, namun nyatanya tidak begitu. Ekstrimis seringkali memutar dan salah menafsirkan apa yang menjadi ikhtikad baik dari nilai-nilai dalam ideologi Pancasila. Seakan-akan Pancasila adalah produk kufur yang dimana efek yang ditimbulkan akan merusak stabilitas nasional yang akan berujung perang sodara.

Pancasila sebagai Gaya Hidup

Mari kita rawat apa yang menjadi hal baik dalam negara ini dengan menjadikan Pancasila sebagai gaya hidup. Sebagai pendukung kalimat tersebut saya meminjam pendapat dari Muzayin yang berpendapat bahwa perpecahan bangsa Indonesia akan mudah dihindari karena pandangan Pancasila  bertumpu pada pola hidup yang berdasarkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian sehingga perbedaan apapun yang ada dapat dibina menjadi suatu pola kehidupan yang dinamis penuh dengan keanekaragaman yang berada dalam suatu keseragaman yang kokoh (Muzayin, 1992:16)

Menjaga keutuhan negara tentu harus berpegang teguh pada nilai-nilai ideologi Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dengan bangsa ini mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebaik mungkin menjadi suatu prilaku dalam kebiasaan sehari-hari.  Perlu kita sepakati bersama, bahwa di negara ini tidak ada dan tidak bisa kita tentukan tentang siapa manusia yang paling pancasilais, karena akan sama susahnya ketika kita mencari siapa manusia paling benar di negara ini. Namun bukan itu tujuan dan cita-cita ideologi Pancasila.

Per-hari ini, bangsa kita sedang dihadapkan pada suatu permasalahan yang berkaitan dengan disintegritas maupun masalah perpecahan. Negara ini masih disibukkan dengan perdebatan ideologi yang dirasa belum kunjung selesai. Masalah ideologi sudah ada sejak jaman Indonesia pra kemerdekaan, yakni dimulai dari pemberontakan DI/TII maupun komunisme PKI. Namun Pancasila tetap menjadi pilihan untuk dijadikan dasar negara dan pedoman hidup bersama karena sangat sesuai dengan keadaan keberagaman di Indonesia dan satu-satunya ideologi yang bisa merangkul semua. Sekarang kembali kepada individu masing-masing, tinggal bagaimana kita melestarikannya dalam hal mengamalkannya.

Suatu bangsa akan membentuk negara yang tangguh apapbila budaya yang Ia bangun memiliki apa  yang telah dikatakan oleh Arnold J.Toynbee dalam salah satu aspek teori radiasi budaya yang menjelaskan bahwa negara yang kokoh ketika suatu bangsa memiliki visi Spritualitas, etika, estetika, sains dan tekhnologi.

Dan Pancasila memiliki itu semua jika kita mampu mengamalkan nilai-nilai yang ada didalamnya sebagai suatu gaya hidup manusia yang berketuhanan dan berkebudayaan. Gaya hidup seperti apa yang dikehendaki dan dimaksud dalam Pancasila ?. Tentu manusia yang seutuhnya atau sepenuhnya (istilah yang sering dipakai oleh Ir. Soekarno) atau menjadi seorang manusia yang memiliki integritas (istilah yang sering dipakai ketika hidup di rezim orba). Suatu integritas dan keutuhan menjadi manusia yang toleran dan yang lapang merujuk pada kebiasaan dengan mengedukasi diri baik itu secara indvidu maupun di lingkungan formal bahwa secara biologis semua manusia adalah sama, tidak ada yang rendah tidak ada yang paling tinggi derajatnya.

Kedua, Semua manusia punya sisi kerohanian atau spritualitas, cinta dan kasih tuhan. Maka dalam koneks ini kita harus mengembangkan paham yang welas asih dari ajaran nilai-nilai ketuhanan yang kita yakini sebagai perwujudan watak Tuhan dalam karakter manusia Indonesia yang mejemuk ini. Yang selanutnya adalah menjadi manusia yang memiliki dimensi sosial. Manusia yang bisa hidup saling bersama, saling menghargai, saling menghormati, saling merangkul, saling bekerja sama dan mampu berbaur dengan manusia lain dengan baik. Maka ketika tiga dimensi tersebut kita cerna dengan sungguh-sungguh melalui prilaku dalam kehidupan sehari-hari, maka secara tidak langsung kita telah telah menjadi bagian dari manusia yang pancasilais, yakni bergaya hidup sesaui dengan ajaran nilai-nilai Pancasila. (*)

Penulis : Indra Andrianto.  Juga penulis buku “Kumpulan Opini: #merawatingat” yang terbit tahun 2018 di Pataba Press, Blora.  Lahir di Bondowoso Maret 1995.   Penulis merupakan demisioner ketua umum Komisariat FIS HMI Cabang Singaraja (2015-2016) dan alumni Universitas Pendidikan Ganesha yang saat ini menjalani profesi guru di JB School, Badung-Bali

Komentar

Related Articles

spot_img

Latest Posts