Jro Gede Yudiawan alias Jro Dalem Suci menuangkan arak dari sebuah guci tua |FOTO : I Putu Nova A.Putra|
Singaraja, koranbuleleng.com | Deretan guci tua berjejer rapi. Isinya arak. Arak dalam guci tua itu tertutup dengan sangat rapat, tidak oleh dibuka jika belum waktunya untuk dibuka.
Arak di dalam guci tersebut sengaja disimpan dalam rentang waktu satu tahun hingga dua tahun. Penyimpanan arak di dalam guci tersebut, untuk menjadikan rasa arak lebih nikmat ketika diminum.
Jika arak di dalam guci itu tersimpan selama dua tahun, namun ratusan guci tua sebagai wadah penyimpan arak justru umurnya lebih tua. Menurut Pemiliknya, Jro Gede Yudiawan, guci tersebut diduga sudah berumur ratusan tahun dari masa Bali Kuno.
Jro Yudiawan adalah seorang spiritual yang kini sebagai Pemangku di Pura Dalem Suci, Desa Les. Sebutan sucinya, Jro Mangku Dalem Suci. Dia adalah pemilik Dapur Bali Mula di Desa Les, tempat guci-guci tersebut berjejer rapi. Selanjutnya, nama Bali Mula juga dijadikan nama Koperasi Bali Sejahtera Bali Mula.
Mangku Dalem Suci mengaku mendapakan guci-guci tersebut dari warga sekitar di Desa Les, Desa Penuktukan dan Desa Tembok serta Desa Sambirenteng. Desa-desa tersebut adalah desa-desa tua di wilayah Buleleng Timur.
Dia juga mempunyai tiga warisan guci tua milik leluhurnya. Konon masih banyak warga lain di desa-desa tersebut menyimpan guci tua.
Jro Yudiawan memperkirakan, guci-guci tua tersebut memang dibawa langsung oleh para pedagang Cina di masa lalu. Keberadaan Pedagang Cina di masa lalu di wilayah desa-desa tersebut tidak lepas dari kondisi perdagangan masa lalu. Diperkirakan pantai di wilayah pesisir Buleleng diduga pernah ada pelabuhan kuno yang menjadi pusat perniagaan di masa Bali Kuno. Banyak pedagang Cina, Arab dan Negara lain, berlabuh di wilayah pesisir itu terjadi hubungan kemasyarakatan dengan masyarakat lokal di wilayah setempat.
Diperkirakan, banyak pedagang Cina juga yang ekspansi berdagang ke wilayah Kintamani. Mereka berlabuh di pelabuhan kuno di wilayah pesisir lalu naik ke wilayah Kintamani untuk berjualan. Bahkan, hubungan antar ras manusia di masa lalu di wilayah pesisir Buleleng timur terutama Desa Les dan Penuktukan erat kaitannya dengan keberadaan Pura Balingkang, di Desa Pingan, Kintamani.
Di Pura Balingkang, juga ada sebuah tempat peribadatan berupa kelenteng bernama Pura Ratu Ayu Mas Subandar. Diduga kuat, di masa lalu terjadi pertukaran budaya di pura Balingkang yang konon dulunya adalah pusat kerajaan dimasa Bali Kuno. Sampai sekarang masyarakat adat Les Penuktukan juga menjadi krama pengempon dari Pura Balingkang karena hubungan dari masa lalu.
Sebenarnya Balai Arkeolog Denpasar di tahun 2018 pernah melkaukan identifikais terhadap temuan-temuan benda dari masa Bali kuno. identifikasi di lakukan di sejumlah desa di Buleleng timur meliputi 12 desa.
Identifikasi berdasarkan temuan arkeologi, menhir, sarkofagus, mangkuk keramik, arca, relief batu dan pura dari masa Bali Kuno. dari temuan arkeologi itu, balar Denpasar memastikan bahwa di masa lalu wilayah pesisir Buleleng timur pernah ada pelabuhan besar yang dijadikan menjadi pusat persinggahan bagi sejumlah pedagang dari berbagai daerah, termasuk luar negeri. Juga disebut banyak pemukiman kuno dari masa lalu karena banyaknya temuan tempat pemujaan atau pura yang diduga sudah ada sejak Bali kuno.
“Ini saya kurang tahu persis, tapi ada salah satu teman yang pernah menyatakan kepada saya bahwa di wilayah pesisir Les Penuktukan ini dulu pernah ada pelabuhan besar yang disebut Pelabuhan Naga. Saya agak kaget, saya tidak tahu soal itu tetapi di Desa Les memang ada yang namanya Pura Naga, dan ke utara sudah pantai.” tutur Jro Yudiawan.
Nah, guci-guci tersebut, kata Yudiawan memang diperkirakan sudah ada sejak Bali kuno. Secara fisik, guci tersebut sangat kuat dan tahan pecah. Ketika ada warga yang menawarkan, guci tersebut, langsung dibeli dan disimpan dengan baik. Kini digunakan untuk menyimpan arak buatan warga Desa Les.
“Seperti di Cina, guci memang sangat bagus digunakan untuk menyimpan arak. Suhunya sangat terjaga.” ujarnya.
Jro Yudiawan yang lama merantau dan malang melintang dalam dunia memasak, akhirnya memilih pulang karena tugas khusus. Dia dipercaya secara sekala dan niskala untuk menjadi seorang pemangku di Pura Dalem Suci. Namun, sembari menjalankan tugas spiritualnya, dia berkeinginan kuat untuk membangun desanya.
Salah satunya, memanfaatkan potensi alam di desanya, yakni memproduksi minuman arak secara berkualitas. Dia belajar banyak dari berbagai referensi dan cukup lama hingga mampu memproduksi arak dengan kualitas yang sangat bagus.
Di Desa Les, pohon aren penghasil tuak sangat banyak. Pohon ini tumbuh di wilayah perkebunan milik masyarakat hingga di hutan. Kualitas Aren di Desa Les juga dinilai sangat baik karena kadar airnya rendah.
Sejak pandemi melanda, banyak warga Desa Les yang kembali ke desa dan menjalankan tradisi pembuatan arak ini. Tradisi dimulai dengan tata cara pengirisan tuak hingga melakukan proses fermentasi dan penyulingan arak di dapur.
Anak-anak muda juga sudah mulai terbiasa mengiris tuak, menjalankan apa yang sudah dilakoni orang tua mereka sebelumnya.
Dapur Tempat penyulingan arak di dapur Bali Mula |FOTO : I Putu Nova A.Putra|
Jro Yudiawan mengakui jika masyarakat sudah memahami bahwa pohon aren ini mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, setiap hari bisa memproduksi minuman khas Bal ini, maka generasi pembuat arak di Desa Les tidak akan terputus. “Semua bermuara pada ekonomi. Jika Pohon aren ini sudah dipahami akan menjadi bagian dari kehidupan dan bermanfaat ekonomi, maka generasi pembuat arak tetap akan ada. Saya percaya itu,” ucapnya.
Di Dapur Bali Mula, Jro Yudiawan memproduksi arak dalam empat varian. Varian original, kelor, Nangka dan Mangga. Namun, dua varian yakni mangga dan nangka menyesuaikan dengan musimnya. Sementara Varian kelor yang paling istimewa dan langka.
Arak original produksi Dapur Bali Mula adalah varian dengan rasa arak yang sebenarnya. Sementara varian kelor yang lebih istimewa, menjalani porses yang berbeda. Dalam proses penyulingan dari tuak menjadi arak, pengapian menggunakan kayu bakar dari tanaman kelor yang sudah mati dan kering.
“Saya sendiri belum paham maknanya, pembuatan arak dengan kayu bakar kelor itu memang warisan tetua dulu. Tetapi arak kelor ini memang rasanya sangat haluslah kalau saya bilang. Pokoknya beda, kalau diucapkan agak susah ya tapi harus dinikmati untuk mengetahui rasanya. Coba saja,” terangnya dengan yakin.
Sementara varian arak nangka dan mangga, menyesuaikan dengan musim buahnya. Pembuatan arak di dua varian ini dengan mencampurkan sari buah tersebut secara langsung mulai saat penyulingan. “Dicampur saja, dengan sari buah yang alami,” terang Jro Yudiawan.
Jro Yudiawan mengaku proses produksi wajib bersih. Mulai dari proses fermentasi, penyulingan hingga dapur tempat memproduksi arak harus bersih. Itu sangat berpengaruh terhadap kualitas rasa arak.
Suhu dalam perapian juga harus dijaga dengan baik. Memang tidak ada aturan baku tentang kepastian suhu sampai harus menggunakan alat pengukur suhu. Tetapi itu diyakini bisa dilakukan oleh orang yang sudah terbiasa. Naluri mereka membuat arak sudah terasah. “Jadi kalau yang tidak biasa, bisa jadi arak seperti ada aroma arang. Sebenarnya suhu yang rendah akan membuat rasa arak lebih bagus,jadi sangat diatur,” ucapnya.
Di Desa Les, Jro Yudawan sebenarnya sebelumnya membentuk paguyuban yang anggotanya terdiri dari petani aren dan pembuat arak dan pembuat gula juruh. Petani aren biasanya kaum lelaki yang punya tugas mengiris tuak, sementara pembuat arak dan gula juruh dari kaum perempuan. Dari paguyuban itu, Jro Yudiawan lantas membentuk Koperasi Bali Sejahtera Bali Mula untuk mewadahi mereka yang menggantungkan hidupnya dari pohon aren.
“Lebih tepat membentuk koperasi. Karena di dalamnya kami bisa bergotong royong, saling menolong dan sama sama untung dalam tata kelola ekonomi arak ini,” ujarnya.
Muaranya, Koperasi Bali Sejahtera Bali Mula berusaha memberikan manfaat kesejahteraan bagi anggotanya. Petani aren sebagai anggota koperasi bisa menjual tuak ke Koperasi dengan harga terjangkau. Tidak ada yang dirugikan, semua berdasarkan kesepakatan bersama antara anggota koperasi dan pengurus koperasi, jadi harga tidak diatur oleh pihak tertentu tetapi oleh koperasi saja.
“Araknya juga dihargai, dari sekian liter tuak, akan menjadi berapa liter arak. Itu juga dibayar kepada petani araknya, harganya juga sama sesuai kesepakatan,”ujanrya.
Begitupun dengan produksi gula juruh, hal yang sama berlaku.
Koperasi Bali Sejahtera Bali Mula sebenarnya telah bekerjasama dengan perusahaan lain yang membeli arak dari Dapur Bali Mula. Namun karena masih pandemi, kontrak kerjasama belum bisa dimaksimalkan.
Hal yang sangat unik dari produksi arak di Dapur Bali Mula ini, seluruh produksi arak di Dapur Bali mula mengalami proses penyimpanan lanjutan. Sebagian besar arak di Dapur Bali Mula kembali disimpan dalam guci dan ditutup rapat dengan durasi waktu satu tahun hingga 2 tahun. “Saya tidak bisa mengutarakan seperti apa rasanya, hanya yang menikmati langsung yang bisa mengungkapkan rasa arak dengan penyimpanan lama di guci-guci ini,. Tetapi yang jelas sangat berbeda rasa dan nikmatnya.” tuturnya.
Koperasi Bali Mula juga tidak sekedar memproduksi arak dan gula juruh saja, namun justru memelihara alam dengan terus melakukan pembibitan pohon aren. Nantinya, bibit-bibit aren akan diberikan kepada warga untuk ditanam kembali di lahan agar ada peremajaan pohon aren. Konsepsi penghijauan dilakukan karena aren ini memiliki manfaat ekonomi berkepanjangan.
“Kami juga memikirkan cara untuk melestarikan alam. Konsep penghijauan akan kami lakukan secara berkelanjutan,” katanya.
Secara tradisi, warga Desa Les juga terbiasa menghaturkan sesajen atau banten saat tumpek sebagai bentuk anugerah yang telah diberikan oleh alam kepada manusia.
Rumah Bali Mula
Dapur Bali Mula awalnya dibentuk oleh Jro Gede Yudiawan menjadi salah satu tempat untuk mengembangkan potensi Desa Les. Mulai dari potensi kuliner dan budaya.
Desa ini mempunyai makanan dan minuman khas yang menjadi warisan tetua warga Desa Les. Misalnya gula Juruh, atau makanan dengan bumbu-bumbu khas desa setempat. Bahannya bisa dari laut maupun dari tanaman lokal skeitar yang digunakan untuk sayur mayor. Sayur khas Desa Les seperti sayur blook.
“Sayur blook seperti bubur tetapi tidak menggunakan beras. Ada campuran sayur dan ikan yang digoreng. Itu namanya sayur blook. Ada juga makanan khas lain seperti ketupat yang ditaburi dengan kuah dari bubur mengguh. Itu khas disini,” jelas Jro Yudiawan.
Makanan dan minuman khas ini tentu dimasak di dapur. Dari situ, Jro Yudiawan juga berfikir untuk melanggengkan warisan tradisi secara lengkap tentang konsep rumah adat khas Desa Les, rumah dan dapur. Akhirnya dia membentuk miniatur tata ruang rumah adat Desa Les sebagai upaya pelestarian.
Tata ruang rumah adat desa Les, ada hulu dan teben. Di hulu, kata Jro Yudiawan harus ada sanggah kemulan. Di Desa Les, Sanggah kemulan menggunakan kayu Dadap Sakti. setelah Sanggah Kemulan, ada yang dinamakan bangunan Rumah Meten dengan saka hulu.
“Rumah meten ini biasanya berbeda-beda saka atau tiangnya. Itu sesuai dengan tingkat kemapanan masyarakat. Kalau ada delapan tiang berarti warga kelas atas, kalau saka enem menengah ke bawah. Ada juga rumah dengan saka empat.” terangnya.
Lalu dibawahnya ada saka enam pengambeng. Setelah itu baru dibangun dapur lalu dibawahnya kamar mandi. Yang paling bawah biasanya digunakan sebagai glogor atau kandang hewan ternak untuk beternak.
Jro Yudiawan mengaku dia membentuk tata ruang rumah adat yang baru di area rumahnya karena khawatir, suatu saat nanti generasi lanjutannya tidak mengenal konsepsi tata letak rumah ada khas Desa Les dan sekitarnya.
“Akhirnya, ketika ada yang memugar rumah tua, saya tanya, apakah bahan-bahannya dijual, kalau dijual langsung saya beli. Jadi ini adalah lokasi edukasi budaya bagi masyarakat juga,” katanya.
Ciri khas dari rumah adat Desa Les sebagian besar berbahan kayu dan bambu sementara pondasinya dari batu. “Kayu kayu dari rumah ini, sebagian besar asli. Termasuk strukturnya seratus persen asli bali mula,” ujarnya. |NP|