Gaya arsitektur klasik dari inna Bali Heritage yang dulu bernama Bali Hotel. Hoel ini disebut-sebut dalam buku Revolusi di Nusa Damai |FOTO : Wayan Artika|
Tentu terjadi motivasi penuh makna ketika mengunjungi suatu tempat yang mana sebelumnya telah dibaca dalam sebuah buku. Entah kapan hal itu. Kunjungan ke suatu tempat yang pernah dibaca, membuncahkan sedemikian banyak ingatan dan kenangan tekstual.
Kalimat-kalimat dalam buku jadi nyata di depan pada objek yang sedang dikunjungi. Banyak tempat telah “dikunjungi” dalam sebuah buku sebelum tempat ini dikunungi secara nyata. Jika hal ini terjadi pada diri seseorang maka sensasi sebuah kunjungan akan sangat luar biasa. Maka salah satu indikator literasi seseorang adalah ketika ia mengunjungi suatu tempat di dunia yang mana tempat tersebut telah diketahui dalam buku.
Bali Hotel adalah sebuah hotel tua, berdiri sejak 1927 di jantung Kota Denpasar, tepatnya di jalan Veteran dan jalan ini membagi dua bagian hotel yang kini ditetapkan sebagai hotel Heritage atau cagar budaya oleh pemerintah kota setempat. Hotel ini sudah ada sejak Belanda berkuasa, dibangun di atas puing-puing kehancuran puri semasa Perang Puputan.
Hotel ini dibangun untuk mengemas Bali dalam industri pariwisata dunia pada masa itu dan sebagai salah satu bentuk eksplorasi keindahan alam dan budaya Bali. Bali tidak seperti pulau besar di Hindia Belanda dengan segala kekayaan perkebunan dan tambangnya. Karena itu, Bali tidak memberi kekayaan apa-apa. Maka dasar kelicikan dan dorongan perut lapar kolonialisme itu, Belanda mengesplorasi potensi pariwisata Bali atas nama jargon “eksotisme”. Inilah cikal-bakal industri pariwisata Bali yang telah mendunia yang diwarisi sampai saat ini.
Di Bali Hotel, pada suatu senja seorang wanita berkebangsaan Amerika duduk setelah memasuki Denpasar dengan berkendara mobil menempuh perjalanan dari Batavia ke Ujung Timur Jawa sejauh lebih dari 1000 KM, lalu menyeberang Selat Bali bersama Pito (bocah Jawa yang menjadi teman seperjalanannya hingga di Ketapang karena Pito tidak sudi ke Bali, takut leak) dan melanjutkan perjalanan di “tanah impiannya” Bali sebagaimana ia telah saksikan dalam film Bali The Last Paradise di Holywood.
Film inilah yang menjadi titik awal K’Tut Tantri untuk pergi ke Bali dan (di luar rencananya) menetap selama 15 tahun; terlibat dalam perang kemerdekaan, melewati siksaan dan hinaan penjajah Jepang, dengan julukan nista Soerabaja Soe.
Suatu malam di Bali Hotel K’tut Tantri mengalami penolakan secara halus dari penguasa setempat. Tapi K,Tut Tantri bergeming walaupun dituduh sebagai mata-mata karena ia tidak bisa menjelaskan kemana tujuannya di Bali karena memang ia tidak tahu. K’Tut Tantri hanya bisa menyatakan bahwa ia akan berkendara dengan mobilnya dan ketika bensin habis maka di tempat inilah ia tinggal. Inilah tujuan hidupnya di Bali.
Literasi historis seseorang membuka rahasia atau informasi di balik objek sejarah seperti sebuah hotel yang dibangun di tengah tengah kota Denpasar, kini berdekatan dengan Puri Agung Denpasar, patung Catur Muka, Kawasan Jalan Gajah Mada, Pasar Badung dan Kumbasari, dan Lapangan Puputan. Bagi yang awam, kehadiran Bali Hotel di jalan Veteran ini tidak akan bernilai lebih. Jadi, tidak ada makna yang diekspresikan yang dipantik dari wawasan literasi. Lain halnya bagi yang literat, akan mampu mengungkap teks-teks di balik segala objek.
Maka saat berada di suatu senja di di dekat kolam renang, tepatnya Jumat 2 Juli 2021 ketika juga Denpasar menyongsong PPKM Darurat, melewati lobi dan menyaksikan restoran terbuka di dua tepi jalan Veteran, tentu kisah K’tut Tantri dalam buku Revolusi di Nusa Damai akan bangkit. Terbayangkan K’tut Tantri dikelilingi oleh para pejabat Belanda yang angkuh dan ingin aman agar niat busuknya di Bali tidak diketahui oleh orang dari Bangsa lain.
Mereka mengintrogasi K’tut Tantri dan membujuk untuk keluar dari Bali. Tapi K’tut Tantri tetap menolak karena ia tidak ada urusan dengan mata-mata. Ke Bali karena ia ingin mengejar tanah impiannya. Kini sudah berada di Bali dan tinggal selangkah akan menemukan tempat dimana akan tinggal. Walau dia tidak tahu dimana pastinya. Namun yang jelas ia hanya meyakini bahwa dimana nanti bensin kendaraannya habis di situlah berhenti dan tinggal. Tetapi pejabat Belanda yang menginterogasinya di Bali Hotel ketika ia singgah untuk satu malam melepas lelah dan penat dari debu perjalanan melintasi Pantura hingga ke ujung pulau Jawa di Ketapang; sama sekali tidak percaya.
Karena itu, para petugas pemerintah Belanda yang bertugas di Denpasar terus melakukan interogasi dan mendesak K’tut Tantri agar ia mengatakan ke mana tujuannya di Bali sehingga mudah untuk memata-matai dirinya. K’tut Tantri tidak bisa mengatakannya karena memang ia tidak tahu di mana harus tinggal.
Singkat kata dan singkat cerita ia pun harus meninggalkan Bali Hotel. Berkendara ke arah timur. Benar akhirnya bensin mobilnya habis di suatu tempat namun K’tut Tantri tidak menjelaskan apa nama tempat itu.
Bung Karno Bersama K'Tut Tantri
Dalam buku Revolusi di Nusa Damai yang merupakan terjemahan dari Revolt in Paradise, K’tut Tantri melihat tangga yang menjulang ke “langit berawan” dan samar-samar telinganya mendengar alunan musik yang masih asing baginya. Ia sebenarnya sampai di suatu tempat yang belum ia kenal. Ia melihat gadis-gadis mengenakan pakaian yang sangat mewah ditenun dari benang-benang emas. Kaum laki-laki juga demikian dengan keris di pundaknya adalah para pangeran yang sangat gagah. Seseorang pemimpin upacara duduk di ketinggian altar. Asap mengepul harum. Tetabuhan begitu indah di telinganya. K’tut Tantri berpikir bahwa ini adalah surga atau alam dewa-dewa dan ia berpikir atau ragu bahwa dirinya telah mati.
K’tut Tantri bertambah bingung ketika secara tiba-tiba seorang laki-laki mengetuk pundaknya dan menyapanya dalam bahasa Inggris. K’tut Tantri lebih bingung lagi: di suatu pulau kecil, disebut hanya sebuah titik oleh Miguel Covarrubias dalam buku Island of Bali, yang jauh dari Inggris Raya; ada orang yang bisa berbahasa Inggris. Tapi laki-laki itu adalah Anak Agung Nura, kelak menjadi saudara angkatnya dan sekaligus mungkin kekasihnya, menjelaskan bahwa K’tut Tantri tidak boleh heran karena lelaki yang mengetuk pundaknya itu adalah pangeran dari sebuah puri dimana ia tengah terdampar. Anak Agung Nura menjelaskan bahwa selaku putra raja ia bersekolah di Belanda dan inilah awal mula K’tut Tantri menemukan tanah impiannya. Anak Agung Nura melarang K’tut Tantri tinggal di rumah penduduk. Anak Agung Nura mempersilakan K’tut Tantri tetap tinggal di Puri ayahnya dan nama puri pun tidak pernah tertulis di dalam buku Revolusi di Nusa Damai.
Ketika membaca petualangan K’tut Tantri di Bali, maka pertanyaan yang menggoda adalah “di puri atau kerajaan mana ia diangkat sebagai anak keempat?” Menurut Nengah Sudarsi, seorang karyawan yang telah 35 tahun bekerja di Bali Hotel, K’tut Tantri terdampar di sebuah puri di Bangli.
Alasan K’tut Tantri merahasiakan nama purinya sangat jelas, demi menghormati orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi di Pulau Bali. Dari peristiwa inilah publik pembaca di seluruh dunia tahu K’tut Tantri adalah nama pemberian seorang raja di Bali yang mengangkatnya menjadi anak ke-4 (k;tut). Nama aslinya yang jarang digunakan adalah Muriel Stuart Walker. (*)
Penulis : Dr. I Wayan Artika, S.Pd., .Hum. (Dosen Undiksha, Pegiat Gerakan Literasi Akar Rumput pada Komunitas Desa Belajar Bali, Redaktur koranbuleleng.com)