Singaraja, koranbuleleng.com| Jajaran Pejabat Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Negeri Mpu Kuturan Singaraja melaksanakan upacara yadnya Mendem Dasar untuk pembangunan Pura Agung Mpu Kuturan di kampus setempat, Minggu 12 September 2021. Pura tersebut nantinya akan dimanfaatkan pula sebagai laboratorium praktek keagamaan bagi civitas STAHN Mpu Kuturan serta pelestarian budaya khas Buleleng.
Sebelum pelaksanaan mendem dasar, telah dilakukan upacara mapuining di Pura Silayukti, yang merupakan tempat berstananya Ida Bhatara Mpu Kuturan.
Pelaksanaan upacara mendem dasar ini dipimpin langsung oleh Ida Pedanda Masnawa dari Griya Liligundi, Singaraja.
Manggala Karya Upacara Pura Agung Mpu Kuturan, Ida Bagus Wika Krishna menjelaskan, ada sejumlah sarana yang digunakan untuk mendem dasar di masing-masing pelinggih. Yakni sarana bata merah yang sudah berisi gambar Padma Anglayang dan rerajahan dasa aksara, kemudian batu bulitan berwarna hitam yang berisi gambar bedawang nala dengan rerajahan tri aksara.
Selain itu, ada pula Klungah Nyuh Gading yang telah dikasturi kemudian didalamnya diisi sebuah kewangen. Klungah tersebut kemudian dibungkus kain putih diikat dengan benang tridatu dengan rerajahan aksara Om Kara. kemudian sarana peras merah dan ayam biying.
“Filosofi bata merah dan peras adalah untuk mewujudkan ‘utpeti’ atau mencipta kehidupan yang bahagia dan sejahtra. Gambar Bedawang Nala sebagai Sanghyang Agni sebagai dasar inti bhumi/pertiwi,” jelasnya.
Ida Bagus Wika Krishna yang juga Wakil Ketua III STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja ini mengatakan, upacara mendem dasar ini sudah tersurat dalam Reg Weda I.59.2 dan Reg Weda VIII.102.9.
Sedangkan rerajahan suci ‘dasaksara dan tri aksara’ sebagai simbol kekuatan Ida Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam memberi kekuatan kehidupan di dunia.
“Itu merupakan pondasi spiritual dari Pembangunan Pura, sebelum nantinya akan menghadirkan kekuatan suci Beliau pada saat distanakan di pura tersebut. Esensinya secara simbolis kita bisa pahami dalam mitologi yang menyangga dunia itu adalah Kurma Gni, kemudian terdapat rajah aksara simbol arah mata angin, dasa bayu simbol kekuatan spiritualitas itu sendiri,” ujarnya.
Pembangunan Pura Agung Mpu Kuturan didesain mengusung kearifan lokal Bali Utara. Seluruh bangunan Pelinggih dan juga tembok Pura serta seluruh ukiran, dibangun dengan bahan batu alam dari Banjar Abasan, Desa Sangsit.
Dengan mengusung arsitektur lokal khas Buleleng, Pura Agung Mpu Kuturan ini bisa menjadi museum kecil tentang peradaban Bali Utara khususnya arsitektur dalam parahyangan. Terlebih batu alam yang langka, ukirannya khusus.
“Suatu saat, parahyangan ini akan menjadi contoh, ketika nanti suatu saat orang melihat Pura dengan gaya Buleleng. Bukan dalam tataran membedakan Bali Utara dan Selatan, tetapi setidakanya bisa menjadi museum kecil,” pungkas Pria yang akrab disapa Gus Wika ini. |ET|